Djamaluddin Tambunan dan Jambi Yang Menanti Jamahan (1974-1979)

Djamaluddin Tambunan bersama istri sekitar 1978 (tengah-kanan)

Oeh: Jumardi Putra*

Tidak banyak pejabat, apatah lagi setingkat Gubernur, menulis buku. Dari yang sedikit itu saya membaca buku berjudul Jambi Yang Menanti Jamahan karya Gubernur Jambi, Djamaluddin Tambunan berangka tahun 1979. Buku setebal 364 halaman ini memuat dinamika pembangunan daerah Jambi di bawah kepemimpinannya periode 1974-1979.

Buku karya pria kelahiran 4 Februari 1922 ini boleh dikata kaya data dan bersifat umum. Selain minus analisis, buka ini juga terasa garing dikarenakan tidak ditulis laiaknya esai populer. Akan tetapi, buku ini boleh disebut tradisi baru bagi seorang kepala daerah era 70an, dan tentu saja penting bagi peneliti melakukan pendalaman, seperti harapan Djamaluddin dalam pengantarnya yang saya sertakan berikut ini:

“Dokumen yang terkodifikasi ini tidak hanya penting bagi pejabat yang bersangkutan, tetapi sangat berguna bagi kepentingan masyarakat luas, para pengamat (peneliti) dalam berbagai disiplin dan lebih-lebih lagi bagi generasi penerus. Berdasarkan dokumen ini, sejarah akan menilai secara jujur tentang hasil karya seseorang dan yang lebih penting lagi bahwa pejabat yang bersangkutan merupakan penulis sejarah dari pelaksanaan fungsinya”. 

Pada bagian pendahuluan buku tersebut saya menangkap kekaguman sekaligus kegelisahan mendalam seorang Djamaluddin Tambunan melihat kenyataan objektif daerah Jambi. Daerah yang memiliki areal yang cukup luas, kemampuan tanah yang tinggi, permukaan air yang terhampar luas serta nilai-nilai sejarah yang belum banyak tersingkap. Belum lagi sebagai daerah yang telah lama terlibat dalam hubungan internasional melalui perdagangan.

Buku karya Djamaluddin Tambunan (1979)

Bahkan, jauh sebelum daerah Jambi menghasilkan karet daerah ini telah memperdagangkan lada dan hasil hutan. Bahkan masa itu masih dikenal adanya varitas lada Jambi hingga berlanjut setelahnya dengan karet sehingga menempatkan Jambi sebagai daerah yang memiliki luas areal perkebunan karet rakyat nomor dua setelah Provinsi Sumatera Selatan. Puncaknya, Jambi sekira 1930 an pernah mengalami zaman keemasan yang ditandai dengan "Zaman Coupon".

Dalam konteks sejarah, peranan daerah Jambi tidak hanya pada masa Kesultanan Jambi ketika melawan dan diobok-obok oleh kekuatan picik pihak Belanda, melainkan terus berlangsung hingga perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu bukti yang mungkin luput oleh umumnya warga Indonesia sekarang yaitu sumbangan karet rakyat dalam penyediaan devisa, pembelian senjata dan mesiu, pembelian 4 (empat) buah pesawat Dakota yang terjadi pada Agustus 1948 seharga 1.500 ton karet kering sebagai sumbangan rakyat Jambi serta pemberangkatan Diplomat pertama ke PBB dalam rangkaian penembusan blokade diplomatik.

Berkat bantuan itu, pada Juni 1948 Presiden Soekarno mengatakan "Bahwa Jambi adalah satu daerah Republik Indonesia yang teristimewa yang daerahnya aman, makmur dan ekonominya berjalan dengan baik dan satu daerah pula yang dapat mengekspor hasil buminya (karet) dan mengimpor barang-barang dari luar negeri".

Bertolak dari kegemilangan Jambi jauh sebelum itu, Djamaluddin Tambunan tidak bisa menutupi kegelisahannya melihat Jambi dewasa ini (pada masanya) justru berada di persimpangan jalan pembangunan sehingga memerlukan terobosan program dan kegiatan yang dapat mendorong percepatan pembanguan daerah. Apa sebab? Dalam kaca mata Djamaluddin Tambunan yaitu karet sebagai penghasilan utama masyarakat provinsi Jambi berada dalam keadaan pelik akibat kecenderungan merosotnya harga di pasaran sejak tahun 1950-an. Di samping itu juga dibarengi semakin buruknya kultur di ranah perkebunan dan semakin kompleksnya tata niaga hasil hutan maupun perkebunan. 

Djamaluddin Tambunan menyadari bahwa rekan-rekan sebelumnya (Gubernur Jambi terdahulu) telah berbuat banyak, namun belum tuntas sehingga nyaris membuat Jambi terjebak dan terkurung oleh kekayaan sumber daya alamnya sendiri. Menurutnya Jambi tidak saja lepas dari jangkauan dan gapaian dari daerah lain, tapi juga akan tersudut karena kemiskinan warganya masa itu. Kondisi demikian itu dalam pandanganya membawa implikasi yang amat luas seperti ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai aspek kehidupan.

Periode 1974-1979 sebagai medan kerja Djamaluddin Tambunan selaku Gubernur Jambi bersamaan dengan upaya serius rezim pembangunisme Orde Baru yaitu ketika lingkungan atau sumber daya alam ditarik masuk lebih jauh ke dalam agenda ekonomi politik global. Itu kenapa penanaman modal dan kehadiran Bank Dunia, misalnya pada program PELITA di daerah-daerah di tanah air terus digenjot. Dan, Jambi adalah salah satu daerah yang menjadi lapangan pelaksanaan program pemerintah pusat saat itu.

Kunjungan Tim Bank Dunia ke Jambi (1978)

Makna "Jamahan" seperti judul buku Djamaluddin Tambunan pun menemukan titik relevansi sekaligus memberi kesempatan kepada kita generasi setelahnya mencermati dinamika pembangunan di Jambi kurun waktu 1974-1979 sebagai bagian integral dari kebijakan secara nasional. Kemudian, menjadi penting pula kita mencermati ekses yang ditimbulkannya, di luar keberhasilan-keberhasilan yang dieufemismekan dengan atas nama mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain di Indonesia. Bukan hal aneh pula bila kesuksesan program pemerintah pusat melalui program Pelita II di Jambi termuat jelas dalam buku ini plus didukung dokumentasi foto-foto berwarna kegiatan pembangunan, tidak saja pada sektor ekonomi, tapi juga merambah pada pembangunan wilayah (tranmigrasi), pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan agama.

Dalam buku ini, merujuk hasil penelitian perhitungan pendapatan regional di Indonesia 1968-1976 dari kelompok pendapatan regional Indonesia, 1978, Provinsi Jambi termasuk dalam kelompok Provinsi-provinsi maju di Indonesia dengan pendapatan per kapita lebih besar dan pertumbuhan lebih tinggi dari pada rata-rata Nasional. Begitu juga pendapatan per kapita Daerah Jambi atas dasar harga berlaku dalam tahun 1976 menempati urutan ketujuh di Indonesia yaitu sebesar Rp.128.148 dan urutan kedua di Sumatera setelah Riau (termasuk minyak ). Urutan ketiga di Sumatera tanpa minyak bumi setelah Riau dan Sumatera Selatan. Begitu juga tanpa minyak pendapatan per kapita Daerah Jambi atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 121.935 berada pada urutan ketujuh di Indonesia.

Laju pertumbuhan ekonomi termasuk minyak bumi selama periode 1968-1976 sebesar 8,5%, merupakan angka tertinggi di Sumatera dan 8,3% tanpa minyak bumi, menempati urutan kedua di Sumatera. Selama Repelita II (1973/1976) geliat pertumbuhan ekonomi daerah Jambi rata-rata sebesar 8.20% dibandingkan 6,22% dalam Repelita 1 (1969/1973).

Pertanyaan segera muncul, bagaimana pengaruhnya terhadap Pembangunan Provinsi Jambi dewasa ini, jauh setelah Djamaluddin Tambunan berupaya keras agar Jambi segera “dijamah” selama periode 1974-1979 sampai beberapa kepala daerah yang melanjutkan kemudian hingga Gubernur Al-Haris menjabat sekarang, sehingga Jambi benar-benar tidak tertinggal (lagi) dibandingkan daerah-daerah lainnya di pulau Sumatra dan Indonesia secara nasional? Pertanyaan yang tidak mudah ini tentu belum dapat dibentangkan dalam kesempatan ini.

Pelantikan Djamaluddin Tambunan (1974)*

Siapa H. Djamaluddin Tambunan bagi rakyat Provinsi Jambi hari ini? Saya kira tidak banyak lagi generasi sekarang yang mengetahui sosok purnawiran mayor tituler era revolusi kelahiran Tapanuli itu. Sebelum dipercaya menjabat sebagai Gubernur Jambi periode 1974–1979, ia sudah malang melintang dalam dunia birokrasi pemerintahan maupun jagad politik nasional. Beberapa jabatan strategis pernah ia emban yaitu antara lain Wedana Tanjung Balai (1946), Patih di Asahan (1947), kemudian menjadi Bupati Asahan (1947), Bupati Labuhanbatu (1949), Wali Kota Pematang Siantar (1957), Bupati Simalungun (1959), Gubernur Muda Sumatra Utara (1960), Sekwilda Sumatra Utara (1973), dan Kepala bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Depdagri (1980). Di ranah politik ia pernah menjadi Anggota DPR dan MPR (1982–1987) dan Wakil Ketua Fraksi Karya Pembangunan DPD/MPR (1987).

Djamaluddin Tambunan menyelesaikan pendidikan strata satu di Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara pada 1974. Ia memulai karirnya sebagai seorang Guru Sekolah Rendah Umum Pemerintah di Tanjung Balai 1942- 1946. Periode 1974-1979, ia pernah dipercaya sebagai ketua Presidium Universitas Negeri Jambi dan juga Ketua Presidium IKIP Jambi tahun 1974. Semasa berkiprah di ranah pemerintahan ia telah menerima pelbagai penghargaan yaitu tanda jasa Satya Lencana Peristiwa Aksi Militer ke-I dan ke-II. Selain itu, ia menerima tanda Jasa Pahlawan seperti Satya Lencana Sapta Marga, Satya Lencana Kemerdekaan dan Satya Lencana Karya Setya Kelas II.

Tersebab sakit melanda Djamaluddin Tambunan di akhir masa tugasnya selaku Gubernur KDH Propinsi Dati I Jambi, ditunjuklah Saudara Eddy Sabara sebagai Pejabat sementara Gubernur Kepala Daerah Propinsi Daerah Tingkat (Dati) I Jambi berdasarkan Kepres Nomor 160/M/79 tertanggal 22 September 1979 untuk menjalankan tugas Gubernur. Tugas yang dilaksanakan oleh Eddy Sabara adalah, di samping tugas beliau selaku Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri, ia juga Pjs Gubernur Jambi yang memiliki tanggungjawab menjalankan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, dan yang tidak kalah penting yaitu bertugas menyelenggarakan pemilihan calon Gubernur Kepala Daerah Provinsi Dati I Jambi yang baru.

Tepat 25 Oktober 1979 pemilihan kepala daerah Daerah Tingkat I Jambi berlangsung sukses. Berdasarkan Surat Keputusan DPRD Tingkat I Jambi No.05/ KPTS/DPRD/1979 telah terpilih calon Gubernur KDH Tingkat I Jambi masing-masing Masjchun Sofwan S.H. dengan perolehan 24 suara, Rosman Laman S.H. 15 suara dan H. Madjid Umar 1 suara.

Sebagai Gubernur Jambi terpilih, pada 10 November 1979 saudara Masjchun Sofwan S.H. diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai Gubernur Propinsi Dati I Jambi berdasarkan Kepres No. 191/M/79 dan sekaligus memberhentikan dengan hormat Saudara Eddy Sabara dengan Kepres Nomor 192/M/79. Maka, awal Desember 1979 dilaksanakan serah terima jabatan Gubernur dari Eddy Sabara kepada Djamaluddin Tambunan dan selanjutnya diberikan kepada såudara Masjchun Sofwan.

 

*Kota Jambi, 11 Agustus 2023. Tulisan ini terbit pertama kali di portal tribunjambi.com

*Menteri Dalam Negeri Bapak Amir Machmud tengah menyematkan tanda jabatan Gubernur KDH Tingkat 1 Jambi 30 Oktober 1974.

0 Komentar