Kiai As’ad, Desa Empelu, dan Pilihan Ke Ujung Timur Pulau Jawa

almarhumah Jumarnis Putri (1985-2001)

Oleh: Jumardi Putra*

Tokoh karismatik Kiai Haji Raden (K.H.R) As’ad Syamsul Arifin pertama kali saya ketahui tahun 1997, persis saat saudari sulung saya mulai menempuh pendidikan tsanawiyah (SLTP sederajat) di pesantren Salafiyah Syafi’iah Situbondo yang dipimpin K.H.R. Achmad Fawaid As’ad (1990-2012), anak pertama dari K.H.R. As’ad.

Di kampung halaman saya, Desa Empelu, berjarak sekira 30 kilometer dari pusat kota Bungo, ia adalah satu-satunya perempuan tamatan sekolah dasar yang memilih melanjutkan sekolah ke daerah kawasan tapal kuda di ujung timur bagian utara pulau Jawa itu.

Tahun 2001 untuk pertama kalinya saya mengunjungi pesantren Salafiyah Syafi’iah bersama bapak, setelah sebelumnya kami mengunjungi pesantren modern Darussalam Gontor, pesantren Ar-Risalah (keduanya di kabupaten Ponorogo) dan akhirnya berlabuh di pesantren Tebuireng kabupaten Jombang-Jawa Timur.

Pesantren Salafiyah Syafi’iah berjarak sekira 34 Km dari arah Kabupaten Situbondo dan 55 Km dari pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Persisnya terletak di Dusun Sukorejo, Desa Sumberejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Perjalanan darat kami ketika itu menggunakan bus Akas, salah satu moda transportasi yang cukup familiar di provinsi Jawa Timur selain Sumber Kencono, Eka dan Pahala Kencana.

Berselang beberapa bulan setelahnya saya kembali mengunjungi pesantren Salafiyah Syafi’iah. Jarak  tempuh dari pesantren Tebuireng menuju pesantren Salafiyah Syafi’iah sekira 5 jam 21 menit (305,2 km) lewat Jalan Raya Pantura.

Sejak itu saya mendengar cerita dari santri dan para ustadz tentang Kiai As’ad. Pada momen itu pula saya menziarahi makam Kiai As'ad yang berada satu lokasi dengan ayahnya yaitu K.H.R. Syamsul Arifin sekeluarga di belakang masjid Jami’ pesantren Salafiyah Syafi’iah.

(Mekah 1897 -  Situbondo1990)

K.H.R. As'ad memimpin pesantren tersebut dari tahun 1951 sampai 1990. Beliau melanjutkan tongkat estapet kepemimpinan ayahnya yaitu K.H.R. Syamsul Arifin yang merupakan pendiri dan pengasuh pertama pesantren Salafiyah Syafi’iah pada tahun 1908 sampai 1951.

K.H.R. As’ad hidupnya zuhud. Pesantrennya tergolong besar dan megah tapi rumah pribadi beliau sederhana. Sekarang kita butuh lebih banyak lagi teladan Kiai yang zuhud dan ikhlas seperti Kiai As’ad. Tidak heran di kalangan pesantren di tanah air, sosok Kiai As’ad dihormati baik karena ilmu maupun akhlaknya.

Dalam sejarah organisasi Nahdatul Ulama (NU), K.H.R. As'ad adalah sosok penting bersama Syaikhona K.H. Khalil Bangkalan dan Khadratussyaikh K.H. Hasyim Asy'ari pada masa awal pendirian NU tahun 1926. Begitu juga pada masa perjuangan kemerdekaan, pesantren yang dipimpinnya tidak hanya menjadi pusat belajar, tapi juga sebagai pusat perjuangan kemerdekaan. Para pejuang banyak ditampung di pesantren ini, sekaligus sebagai markas penyusunan strategi perjuangan melawan penjajah.

Berkat dedikasi tersebut K.H.R. As'ad Syamsul Arifin dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November tahun 2016 oleh presiden Jokowi berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016. Kiai kelahiran Mekah tahun 1897 ini tutup usia pada tanggal 4 Agustus tahun 1990 di Situbondo dalam usia 93 tahun.

Meski tidak nyantri secara formal di Pesantren Salafiyah Syafi’iah, saya bersyukur mengenal dan pernah mengunjungi langsung pesantren ini, terlebih saya pernah ikut ngaji di "Ndalem" (rumah) pengasuh pesantren yaitu K.H.R. Achmad Fawaid As'ad, anak sulung dari K.H.R. As’ad. Pada tahun 2012 K.H.R. Achmad Fawaid tutup usia dan tampuk kepemimpinan pesantren Salafiyah Syafi’iah dilanjutkan oleh K.H.R. Achmad Azaim Ibrahimy (2012 – sekarang).

Terakhir kali saya melihat K.H.R. Achmad Fawaid di pesantren Tebuireng tahun 2001, jelang Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan. Saya masih ingat ketika itu beberapa Kiai sepuh di pulau Jawa kumpul di kediaman K.H. Yusuf Hasyim, paman dari Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) atau anak bungsu dari Khadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Rumah yang dijadikan tempat pertemuan para kiai sepuh tersebut adalah kediaman awal Khadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari, sang pendiri pesantren Tebuireng pada tahun 1889.

Para Kiai sepuh tersebut berkumpul membicarakan situasi mutakhir tanah air, terutama geliat politik di ibukota Jakarta dan puncaknya rencana sidang istimewa MPR yang dimotori oleh Amien Rais serta beberapa elit politik dan kelompok organisasi yang ingin menurunkan Gus Dur dari kursi presiden. Selain K.H.R. Achmad Fawaid, saya juga melihat K.H. Abdullah Faqih Langitan dan K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus.  

Salah satu buku yang sempat ramai dibicarakan hampir tiga tahun lalu yaitu berjudul Menjerat Gus Dur karya Virdika Rizky Utama (NUmedia Digital Indonesia, 2019). Buku tersebut menyingkap tabir gelap skenario pihak-pihak yang ingin melengserkan Gus Dur dari kursi presiden Republik Indonesia 21 tahun yang lalu (26 Juli 2001).  

Pesantren dan Sang Kakak

Mengingat kembali pesantren Salafiyah Syafi’iah otomatis menghubungkan saya pada kakak perempuan saya yaitu Jumarnis Putri. Beliaulah yang menjadi perantara buat saya sehingga mengenal dan akhirnya berkesempatan mengunjungi salah satu pesantren terbesar di pulau Jawa tersebut pada tahun 2001. Bagi saya ia sosok kakak yang baik, gigih, pecinta buku dan pembelajar yang tekun.

Usai menamatkan bangku sekolah dasar tahun 1997 di SDN 2 Desa Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo, ia begitu kekeh ingin melanjutkan sekolah ke pesantren Salafiyah Syafi’iah Situbondo, di saat teman sebayanya di kampung halaman masih ingin tinggal bersama orang tua mereka.  

Sebelum kakak saya sudah ada seorang lelaki dari Desa Empelu yang nyantri di pesantren tersebut. Saya biasa memanggilnya Bang Khaidir. Bedanya kakak saya baru memulai jenjang pendidikan tsanawiyah (SLTP sederajat) tahun 1997, sedangkan bang Khaidir di tahun yang sama sedang menempuh tahun terakhir madrasah Aliyah (SMA sederajat).

Sebagai perempuan tamatan sekolah dasar yang memilih sekolah jauh dari kampung jelas merupakan keputusan sulit bagi orangtua saya, dan karenanya memerlukan pertimbangan secara matang. Lebih-lebih sang kakak adalah anak perempuan semata wayang dari pasangan Yudisman-Muslinar, orang tua kami.

Tekad sang kakak yang begitu kuat mampu meyakinkan kedua orangtua saya, dan akhirnya ia berangkat untuk pertama kalinya ke pulau Jawa pada tahun 1997 bersama putra-putri dari desa Tanah Bekali, Tanah Periuk, Sungai Gambir, dan Sungai Embacang (semuanya berada dalam satu kecamatan Tanah Sepenggal).

Saya masih ingat momen keberangkatan sang kakak bersama teman-temannya menggunakan bus antar provinsi. Saya lupa nama busnya. Para orang tua dan pihak keluarga masing-masing ikut menyaksikan keberangkatan mereka menuju Situbondo. Momen haru buat saya maupun orangtua saat itu lantaran harus berpisah sementara dengan sang kakak.

Keinginan kakak saya bersekolah di pesantren Salafiyah Syafi’iah agaknya didorong oleh informasi yang disampaikan seorang penceramah yaitu Utadz Ishaq. Warga di kecamatan Tanah Sepenggal biasa menyebut beliau Sahak Beton. Saya tidak tahu persis cerita di balik panggilan atau sebutan demikian. Yang saya tahu beliau kerap dipanggil mengisi ceramah dari satu mesjid ke mesjid lainnya, dan juga dari satu sekolah ke sekolah lainnya, terutama pada momen peringatan Hari Besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW dan Isra’ Mikraj.  Bapak saya sendiri juga mendapat informasi mengenai pesantren Salafiyah Syafi’iah dari beliau.

Tidak hanya itu saja, dua anak sang penceramah tersebut yaitu Irwansyah dan Musnaini juga nyantri di pesantren Salafiyah Syafi’iah. Sependek yang saya tahu, Bang Irwansyah boleh dikata generasi awal santri Pesantren Salafiyah Syafi’iah yang berasal dari kecamatan Tanah Sepenggal kisaran tahun 1995. Baru setelahnya perlahan muncul generasi baru yang mengikuti jejaknya. Mereka umumnya tinggal di Desa Lubuk Landai, Sungai Embacang, Tanah Periuk, Sungai Gambir (semuanya berada di Kabupaten Bungo).

Pesantren Salafiyah Syafi'iah Situbondo

Pesantren Salafiyah Syafi’iah kini terus melakukan pengembangan kualitas pendidikan baik dari sisi sumber daya manusia, kelembagaan maupun dukungan infarastruktur dimulai dari jenjang ibtidaiyah (sekolah dasar), tsanawiyah (SLTP sederajat), Aliyah (SMA sederajat) hingga perguruan tinggi universitas Ibrahimy. Dari rahim pesantren ini telah lahir para ahli ilmu maupun para profesional sesuai bidang keahliannya dan telah tersebar di segala penjuru tanah air.

Saya ikut senang mengetahui bertambahnya santri pesantren Salafiyah Syafi’iah asal Kabupaten Bungo-Jambi. Bahkan tanggal 16 Februari tahun 2019 pengasuh pensantren Salafiyah Syafi’iah yaitu K.H.R. Achmad Azaim Ibrahimy (2012 – sekarang) diundang berkunjung ke Kabupaten Bungo dalam acara silaturahmi para santri Salafiyah Syafi’iah yang mukim di kabupaten Bungo.

Tidak hanya itu, kehadiran K.H.R. Achmad Azaim ikut meletakkan batu pertama pembangunan pesantren Salafiyah Syafi’iyah Al Ishaaqy di Desa Tanah Bekali, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo, yang didirikan oleh santri lulusan Pesantren Salafiyah Syafi’iah Situbondo.

Kepergian Sang Kakak

Tiada satu pun orang yang bisa mengelak dari ketetapan Allah SWT. Sabtu, 15 September tahun 2001, kakak saya berpulang ke haribaan-Nya. Ia menghembuskan nafas untuk terakhir kali di sela rehat waktu belajar, tidak lama usai dirinya mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat duha.

Menurut informasi dari pengurus pesantren, kakak saya didiagnosis mengalami radang tenggorokan. Atas informasi tersebut baik saya maupun keluarga tidak banyak mencari tahu kebenarannya selain menaruh kepercayaan kepada pihak puskesmas pesantren Salafiyah Syafi’iah melalu surat keterangan dokter yang diserahkan kepada pihak keluarga.

Kakak saya tutup usia saat dirinya baru menjalani caturwulan satu kelas dua Aliyah (SMA sederajat) tahun 2001, sedangkan saya masih berstatus kelas satu Aliyah di Pesantren Tebuireng.

Menerima kabar wafat sang kakak  sempat membuat saya tidak percaya, lebih-lebih orang tua di kampung halaman. Bukan tanpa sebab, sehari sebelum itu kami berdua sempat bercakap-cakap melalui telepon, dan saya berjanji kepadanya beberapa waktu ke depan saat liburan pesantren, saya akan mengunjunginya.

Kepergiannya yang mendadak jelas pukulan berat buat orangtua saya di kampung. Saya secara pribadi bingung dan hanya menunggu kabar dari pihak pesantren Salafiyah Syafi’iah mengenai teknis pemulangan jenazah almarhumah dari pesantren menuju kampung halaman.

Saya membayangkan ketika itu bakal menemani jenazah almarhumah melewati ribuan kilo meter jalan, tiga hari tiga malam perjalanan darat untuk sampai ke kampung halaman. Keputusan memilih jalan darat saat itu lebih karena biaya transportasi udara sangat mahal.

Jenazah almarhumah diberangkatkan pada hari Sabtu, 15 September tahun 2001, setelah sebelumnya dishalatkan di masjid Jami’ secara berjamaah oleh kiai dan ribuan santri di pesantren Salafiyah Syafi’iah.

Saya sendiri menunggu kedatangan mobil yang membawa almarhumah di Pesantren Tebuireng. Sungguh berat hati saya selama menunggu kedatangan almarhumah. Jarak  tempuh dari pesantren Salafiyah Syafi’iah menuju pesantren Tebuireng sekira 5 jam 29 mnt (304,5 km). Waktu yang tidak sebentar. Hanya doa, doa, dan doa untuk almarhumah yang bisa saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Penyayang. Selebihnya saya berusaha menata hati dan pikiran.

Alhamdulillah mobil ambulance pembawa jenazah almarhumah tiba di halaman pesantren Tebuireng malam hari. Saya lupa pukul berapa saat itu. Kami pun bergegas berangkat menuju kampung halaman.  Tidak ada sejumlah pakaian yang saya bawa ketika itu selain sarung dan baju-celana yang menempel di badan.

Saat itu saya tidak sendirian. Selain sopir juga ada seorang ustadz beserta istrinya dan bang Mukhlis, santri senior Salafiyah Syafi’iah yang berasal dari Desa Sungai Embacang. Keberadaan mereka sangat membantu selama perjalanan saya dan almarhumah.

Orangtua saya, keluarga dan sebagian warga Desa Empelu menunggu kedatangan almarhumah. Tiga hari tiga malam perjalanan harus kami lalui melintasi pulau Jawa-Sumatera. Sepanjang perjalanan saya membaca surat yasin dan kalimat tayyibah tepat di samping almarhumah. Selebihnya pikiran saya dibaluti kesedihan dan kenangan saya akan sosok kakak semasa hidup, tidak terkecuali gurauan maupun pertengkaran kecil antara kami berdua.

Kami pun sampai di kabupaten Bungo senin malam, 17 September 2001. Almarhumah sudah dinanti-nanti pihak keluarga sedari perbatasan antara kota Bangko dan Bungo. Dari situ kami diiringi mobil maupun motor hingga sampai rumah. Jika tak keliru kami sampai di rumah sekira pukul 3 malam dini hari. Rumah kami sudah dipenuhi para petakziyah yang sengaja menunggu sejak mendapat infomasi wafatnya sang kakak. Kalimat tayyibah bergema baik di dalam maupun di luar rumah kami.

Suara tangisan pecah setiba jenazah di rumah. Emak saya menangis dan bapak saya sendiri berusaha tegar, meski tidak bisa menutupi kesedihannya yang teramat dalam. Begitu juga keluarga baik dari pihak bapak maupun emak serta warga yang mengenal almarhumah semasa hidup.

Selasa, 18 September 2001, sekira puku 07.30 WIB, almarhumah dihantar oleh keluarga besar kami maupun warga dan teman-teman sejawatnya hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman umum desa Empelu.

Meski berat menerima kenyataan kepergian sang kakak untuk selamanya, kami pihak keluarga berkeyakinan penuh bahwa Allah SWT menetapkan yang terbaik buat hambanya. Ustadz perwakilan dari pesantren Salafiyah Syafi’iah ikut menyampaikan ucapan belasungkawa sekaligus doa serta menceritakan sosok almarhumah saat nyantri di Salafiyah Syafi’iah. Hari itu juga, selepas mengantar almarhumah ke peristirahatan terakhirnya, sang ustadz beserta istrinya memulai perjalanan kembali pulang ke pesantren.

Hari-hari kami kembali seperti biasa. Kami merasa sang kakak masih ada. Ia tidak pernah pergi meninggalkan kami. Anggapan tersebut lebih karena sejak pilihan sang kakak melanjutkan sekolah hingga ke ujung timur bagian utara pulau jawa itu, kami harus menerima keadaan untuk berpisah sementara. Kami baru bisa kumpul bersama bila kakak libur di bulan Ramadan sampai Hari Raya Idul Fitri.

Ketika itu jarak memang memisahkan kami secara fisik, tetapi tidak dengan rasa cinta sebagai sebuah keluarga. Hal itu insyallah mengabadi sampai kelak kami sekeluarga mendapatkan rahmat Allah SWT dapat kumpul bersama-sama di jannahNya. Amin.

Emak-bapak bercerita kepada saya momen-momen mereka tiap bulan mengirimkan biaya sekolah untuk kakak melalui wesel via kantor pos di kabupaten Bungo. Selain itu, percakapan antara bapak-emak dengan sang kakak masa itu masih menggunakan pesawat telepon biasa. Saat itu keluarga kami belum memiliki telepon, apatahlagi handpone. Saya masih ingat, selain sesekali via telepon rumah milik adik bapak yaitu di rumah Ngah Yumismar di kota Bungo, orangtua saya mesti mencari warung telekomunikasi umum di Kota Bungo, berjarak sekira 30 kilometer dari kampung halaman.  Selebihnya sesekali kami berkirim surat melalui kantor pos.

Pilihan kakak saya melanjutkan sekolah ke pesantren Salafiyah Syafi’iah membuat orangtua saya lega. Ia wafat saat menuntut ilmu, dan karena itu tergolong mereka yang sedang berjihad di jalan Allah. Begitulah keyakinan orangtua kami sampai saat ini. Insyallah.

Saya senantiasa mendoakan semoga almarhumah mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, kumpul bersama orang-orang saleh, tidak terkecuali bisa berjumpa dengan K.H.R. Syamsul Arifin, K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, dan K.H.R. Achmad Fawaid As’ad, yang ketiganya merupakan pengasuh pesantren dimana almarhumah bersungguh-sungguh menuntut ilmu selama hampir lima tahun di pesantren tersebut.

Berselang 16 tahun setelah kepergian sang kakak, giliran bapak saya dipanggil Allah SWT. Tinggal lagi emak dan kami tiga bersaudara. Tiada lain kecuali doa terbaik yang bisa saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Pengasih buat bapak dan sang kakak. Semoga keduanya husnul khatimah. Amin.

*Kota Jambi, 19 Juni 2022.

0 Komentar