Dilarang Belok Kiri!

Karl Marx
Oleh: Jumardi Putra*

Suatu siang, sekira empat tahun lalu, seorang lelaki paruh baya membantu mengangkat sebuah rak buku dari bak mobil ke dalam rumah kontrakanku. Rak itu saya beli di sebuah tokoh mebel yang berlokasi tak jauh dari pertigaan pasar Mama, jalan ke arah RSUD Abdul Manaf, Kota Jambi.

Belum rapi benar posisi rak buku itu, tetiba ia bertanya sekaligus mengarahkan jari telunjuknya ke sudut rak buku lainnya di ruang tamu, “Mas, itu buku Mao Tse-tung”? “Iya,” balasku tak panjang lebar.

Lantaran hampir seribu halaman, buku itu mudah dilihat dari jarak sekira 3 meteran. Apatahlagi buku Mao (Gramedia, Terjemahan dari Mao: The Unknown Story, 2005) berada satu rak dengan biografi tokoh-tokoh lainnya, seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Muso, Njoto, Che Guevara, Lenin, Stallin, Hitler, Pramoedya Ananta Toer, Ali Syri’ati, Hasan Hanafi, Nurcholis Madjid (Cak Nur), dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta puluhan biografi tokoh gerakan politik-intelektual publik dari masa awal kemerdekaan hingga reformasi.

“Wah, buku itu berbahaya, Mas. Tokoh kiri. Komunis. Ateis pula. Ajarannya sesat,” imbuhnya dengan suara agak tergesa.

Terang saja, keinginan saya segera merapikan buku-buku sedikit tertunda. Oleh istri kami dihidangkan dua gelas air putih plus beberapa biji gorengan ubi. Hari itu langit berawan cerah. Alhamdulillah, suasana di dalam rumah tak sumuk seperti galibnya.

“Mas, sudah baca buku itu,” kilahku pada pria berusia kepala tiga itu memulai percakapan agak serius.

“Belum,” jawabnya.

“Dari mana Mas tahu jika isinya menyebarluaskan paham komunisme,” sambung saya.

“Saya mendengar cerita dari teman-teman,” imbuhnya enteng.

“Buku ini ditulis melalui riset serius dan memakan waktu satu dekade. Buku yang memotret perjalanan sebuah tirani, penghilangan hak hidup secara massal (38 juta orang dalam bencana kelaparan dan ribuan lainnya di masa damai), dan pandangan-pandangan radikal hingga membawa Mao ke puncak kekuasaan. Ini biografi Mao dan kisah pasang surut hubungannya dengan orang-orang di luar China, seperti hubungannya yang rumit dengan Stalin sejak tahun 1920-an. Sekalipun kita tidak setuju, membaca Mao dapat menjelaskan pada kita mengenai pertarungan ideologi dan gejolak ekonomi politik masa itu,” ungkapku sembari melap buku yang diselimuti debu.

“Sesuatu yang jelas keliru perlu kita hindari,” ungkapnya berlagak bijak.

“Begini saja, saya pinjamkan buku ini untuk dibaca. Kita bisa berbagi cerita isi buku tersebut di lain hari,” tawaranku.

“Wah, gak mas. Gak berani saya,” tukasnya.

Mafhum bila membaca buku setebal ukuran bantal menjadi persoalan (kalau bukan buang-buang waktu) di tengah keberadaan media sosial (facebook, twitter, dan instagram) sekarang ini. Tapi yang membuat saya kaget justru ketidakberaniannya membaca sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Demikianlah hari-hari kita. Orang-orang dengan begitu mudah melabeli ‘kiri’ itu otomatis PKI-komunis-ateis dan seabrek stigmatisasi lainnya. 

Akankah situasi demikian sebagai gejala tunabaca, galibnya negara berkesedaran literasi yang masih rendah? Atau pengalaman traumatis masa lalu, sebut saja peristiwa 1965, yang sengaja dirawat oleh kekuasaan demi ‘status quo’?

Gayung pun bersambut, dalam diskusi bertajuk “Dilarang Belok Kiri!”: Menyoal Pelarangan Buku di Indonesia, di kafe Etalase Kopi, berlokasi di belakang kampus STIMIK NH, Kota Jambi (8/9/19), peristiwa empat tahun itu kini menemukan konteksnya.

Tajuk Dilarang Belok Kiri!, dikatakan aliansi penggiat literasi Jambi, merespon maraknya aksi penyitaan (razia) buku-buku berhaluan kiri di beberapa daerah di tanah air, seperti yang baru-baru ini dilakukan oleh beberapa orang dari Brigade Muslim Indonet (BMI) di toko buku Gramedia di sebuah Mall di Makasar (3/8/2019).

Di antara buku-buku yang disita, tak luput dua karya Profesor Franz Magnis Suseno, Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, yang berjudul Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme dan Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Fatalnya (untuk menyebut ironi), selain karena caver buku itu berwajahkan Karl Marx dan Lenin, juga hanya bermodalkan membaca sinopsis di kaver belakang buku, disimpulkan bahwa buku milik Franz telah menyebarkan ajaran komunisme dan marxisme. Padahal, isi karya Prof Magnis itu justru mengkritik komunisme dan marxisme.

Aksi serupa jelas terus berulang. Ambil misal, tiga tahun setelah reformasi, tepatnya 19 April 2001, terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap berhaluan kiri. Lagi, aksi tersebut tidak hanya pada beberapa jenis buku yang menitikberatkan gagasan Marxisme atau yang dianggap mengganggu ‘status quo’ kekuasaan dominan, tetapi juga buku-buku yang memuat pemikiran-pemikiran yang mengkritik komunisme dan marxisme.

Tindakan penyitaan buku-buku yang dianggap menyebarkan ajaran komunisme, leninisme dan marxisme (dengan alasan merujuk Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966) selama ini ternyata lebih didasarkan pada asumsi tanpa data, opini tanpa argumentasi yang kuat, serta mekanisme penilaian yang tidak terukur (kalau bukan serampangan). Dengan kata lain, serangkaian bentuk pelarangan terhadap buku telah mengingkari logika kritisisme terhadap produk literasi dan kerja-kerja pemikiran.

Setakat hal itu, jelas Mahkamah Konstitusi pada 2010 telah mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Pada putusan tersebut lantang ditegaskan tidak boleh ada lagi pelarangan buku, kecuali melalui proses peradilan.

Sebenarnya, bila kita sedikit bersabar sehingga berkesempatan membaca literatur, memaknai “kiri” sebagai semata komunis, ateis, dan bahkan menyepadankannya dengan Karl Marx, adalah problematis. Istilah kiri sudah muncul jauh sebelum Karl Marx hidup (1818-1883), tepatnya saat Revolusi Perancis pada ujung abad ke-18, di masa sekitar Raja Louis XVI dipancung guillotine pada 1792.

Di Prancis, abad ke-17 dan 18, saat di sidang-sidang Kerajaan, kelompok yang melawan dan anti pada para bangsawan dan tuan tanah serta mereka yang mendapat hak istimewa dari Raja memosisikan diri di sebelah kiri persidangan. Posisi di sebelah kiri ternyata tidak semata menunjukkan tempat mereka duduk (place), tetapi lebih dari itu bersemai cita-cita perlawanan yang disimbolkan melalui istilah “Kiri” ini.

Dalam perjalanannya paham “Kiri” tidak berhenti pada persoalan monarki/feodalisme/kerajaan semata, sebagaimana revolusi Prancis yang terkenal dengan semboyan liberté, egalité, dan fraternité, tetapi juga mulai bersemai ke dalam pergerakan komunisme dan sosialisme, sehingga gagasan utama yang kerap kita baca sekaligus dengar adalah pertarungan kelas. Di mana buruh dan tani merepresentasikan kaum “Kiri” dan kaum borjuis sebagai kekuatan penindas baru menggantikan kaum feodal/kerajaan dan tuan tanah.

Sebagai ideologi perlawanan terhadap monopoli kapitalisme masa itu, gagasan “Kiri” terus meluas, menginspirasi tokoh di banyak negara, tidak terkecuali di Indonesia. Bahkan, kita dapat melacak gagasan "kiri" justru berakar jauh dalam tubuh sejarah bangsa, yakni dari pergumulan Islamisme, Komunisme, Nasionalisme, di awal-awal kemerdekaan perihal gagasan besar mengenai falsafah negara.

Merujuk buku Cindy Adams berjudul Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams (1965), tertulis sebuah ungkapan bernas Pemimpin Besr Revolusi (PBR), Soekarno: “Orang Kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan (kapitalisme dan imperialisme) yang ada sekarang. Kehendak untuk menyebarkan keadilan sosial adalah Kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang Kiri bahkan dapat bercekcok dengan orang Komunis. Kiriphobi (penyakit takut akan cita-cita kiri) adalah penyakit yang kutentang habis-habisan seperti Islamophobi. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilism.”

Itu artinya, nasionalisme yang dikaitkan dengan prinsip “kiri” itu telah menjadi bagian penting dari pemikiran para pendiri bangsa Indonesia, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan tokoh bangsa semasa. Meski terdapat perbedaan pemikiran secara tajam di antara mereka, tapi mereka memiliki titik singgung bersama pada penolakan terhadap borjuisme dan mendorong terwujudnyanya keadilan sosial sebagai cita-cita utama sebagai sebuah bangsa merdeka. Tentu banyak literatur yang membentang dialektika pemikiran "kiri" di antara tokoh bangsa kita di masa itu. Dan itu perlu kita baca-pelajari. Bukan dirazia, apalagi dibakar!

Sayangnya, sekalipun pasca reformasi sampai sekarang terus bermunculan buku-buku (karya ilmiah) yang terus menjelaskan (untuk menyebut membuka tabir gelap) peristiwa kelam yang pernah terjadi dalam sejarah perjalanan republik ini, pengertian “kiri”, sebagaimana cerita di awal tulisan, mengandung bias di masyarakat yang seolah sengaja dirawat dari rezim ke rezim kekuasaan.

Bias tersebut, salah satu kemungkinan, bisa jadi buah dari politik pengendalian ingatan kolektif sepanjang Orde Baru (32 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto), yang membatasi ingatan warga hanya seputar peristiwa dinihari  1 Oktober 1965, yang berujung terbunuhnya enam Jenderal dan berakhir di lubang buaya. Apatahlagi tayangan film G.30 S PKI besutan Arifin C. Noer, yang wajib ditonton warga masa itu menjadikannya seolah abadi.

Akibatnya, aksi massa pemberangusan massal sepanjang sisa 1965 dan berlanjut hingga era setelahnya, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri sehingga menjadi orang terbuang (eksil), pembuangan paksa ke Pulau Buru, stigma dan diskriminasi terhadap keluarga korban 65, yang dianggap anggota dan simpatisan PKI beserta keluarga dan kerabatnya, dan termasuk rentetan sejarah lainnya yang hingga sekarang terus menjadi kontroversi, menjadi noktah hitam yang seolah menapalbatas terwujudnya rekonsiliasi.

Belum lagi, wacana seolah kebangkitan PKI (dengan diembeli isu-isu populisme: politik identitas keagamaan) di republik ini senantiasa muncul ke publik secara musiman, seperti jelang September tiap tahun dan jelang momentum politik elektoral, baik pemilihan Presiden maupun kepala daerah. Tak syak, delusi akan PKI-Komunisme dan kelompok yang tergolong ke dalam gerakan ‘kiri’, datang seolah sebagai “Hantu” yang tujuannya sengaja menciptakan rasa takut.

Akhirnya, pertanyaan yang segera muncul di pikiran saya, siapa sesungguhnya yang berkepentingan terhadap maraknya aksi pembodohan dalam bentuk pelarangan, sweeping atau razia dan bahkan pembakaran buku-buku berhaluan kiri sebagai sumber pengetahuan sekaligus menjaga asa untuk senantiasa kritis terhadap kekuasaan dan realitas sosial yang timpang di sekeliling kita? Laiak sebagai renungan akhir pekan kita jelang lebaran Idul Adha.

*Tulisan ini pernah terbit di portal kajanglako.com pada 10 Agustus 2019.

0 Komentar