Nyala: 200 Tahun Perang Diponegoro

Penulis di depan lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh


Oleh: Jumardi Putra

Terik matahari begitu menyegat, suasana jalan juga padat. Sekira pukul 14.35 WIB, dari arah jalan Matraman Raya saya bergegas memakai Maxim menuju Galeri Nasional di Jalan Merdeka. Perjalanan saya kali ini bertujuan menyaksikan pameran bertajuk Nyala: 200 Tahun Perang Diponegoro, yang digelar sejak 22 Juli sampai 15 September dan bahkan diperpanjang hingga saat ini.

Sebagai bagian dari peringatan 200 tahun Perang Diponegoro (1825–1830), Pameran ini menghadirkan 33 karya dari 26 perupa yang dipilih dari berbagai daerah berupa lukisan, patung, instalasi, sketsa dan seni media serta artefak berupa arsip, naskah, koin dan buku-buku terkait Perang Diponegoro. Karya yang dihadirkan yaitu perupa Raden Saleh, Basoeki Abdullah, Adrian Adinugraha x Fahira Herniman, Aliansyah Caniago, Arafura, Ugo Untoro, Jompet Kuswidananto, Irene agrivina.

Pameran yang dikuratori oleh Citra Smara Dewi, Dio Pamola Chandra dan Putra Hidayatullah ini mengangkat beragam tema seputar Diponegoro melalui perspektif visual dengan karya-karya berbasis praktik interdisipliner. Terang bahwa pameran ini mengajak publik untuk menelisik kembali warisan Diponegoro serta relevansinya dengan kehidupan masa kini.

Perang Diponegoro yang terjadi dua abad lalu merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah perlawanan di Nusantara terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, berlangsung selama lima tahun dan menewaskan hingga ratusan ribu nyawa.

Bertolak dari telisik atas peristiwa perang dan sosok Pangeran Diponegoro, pelbagai bentuk karya visual dalam pameran "Nyala" berupaya menawarkan ragam perspektif tentang memori, narasi, dan tafsir yang diterjemahkan para seniman lintas generasi ke dalam karya-karyanya.

Saya menyambut baik pameran ini, apatahlagi selama ini saya mengenal nama Pangeran Diponegoro melalui Babad Dipanegara yang ditulis oleh pangeran Diponegoro sendiri pada tahun 1831-1832 ketika berada di pengasingan di Manado, Sulawesi Utara. Begitu juga lewat tiga jilid buku karya sejarahwan Pater Carey berjudul Kuasa Ramalan. Nah, salah satu yang menarik bagi saya pribadi dalam kesempatan ini adalah untuk pertama kalinya saya melihat langsung lukisan asli karya Raden Saleh yang mengabadikan momen penangkapan Pangeran Diponegoro yang sering kali disalahartikan sebagai kekalahan, seperti yang dilukiskan oleh pelukis asal Belanda benama Nicolas Pieneman. Melalui sorot mata menantang dan detail batik Jawa, Raden Saleh melalui lukisannya secara cerdas menyindir kolonialisme Belanda kala itu.

Karya lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro menggambarkan visualisasi peristiwa penting yang terjadi pada 28 Maret 1830, ketika Pangeran Diponegoro, salah satu pahlawan bangsa, ditangkap oleh Belanda di Magelang. Lukisan tersebut dibuat pada 1857 atau 27 tahun setelah peristiwa penangkapan berlangsung. Sebelum akhirnya kembali ke Indonesia pada tahun 1978, lukisan ini sempat tersimpan di Belanda.

Lukisan karya Raden Saleh ini biasanya disimpan di Istana Kepresidenan dan tidak bisa diihat bebas oleh masyarakat umum. Kini, para pengunjung bisa melihat lukisan asli tersebut dengan jelas dalam Pameran NYALA: 200 Tahun Perang Diponegoro yang digelar di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.

 

*Jakarta, 3 Oktober 2025.

0 Komentar