![]() |
| ilustrasi. sumber: indofaktual.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Belum lama ini, saya mengunjungi sebuah pusat
buku di Jalan Matraman Raya, Jakarta Pusat. Usai menyusuri rak-rak buku
kategori filsafat, ekonomi, sosial dan politik, saya bergegas menuju rak kategori self-empowerment atau motivasi. Kategori
genre buku ini boleh dikata paling banyak dikunjungi pembeli ketimbang genre lainnya.
Saya tidak tahu persis kenapa demikian, meski itu adalah kenyataan yang kerap
saya saksikan bila berkunjung ke toko-toko buku, selain tentu saja rak buku
berisi panduan atau kunci sukses menempuh Tes CPNS.
Salah satu buku segera menyita perhatian
saya adalah karya Simon Sinek berjudul Leaders Eat Last (terjemahan, 2022). Selain
buku tersebut, karya Simon terkenal lainnya adalah
Start with Why dan The Infinite Game. Saya pun memilih
membacanya sembari duduk-tunak di lantai toko di sela rak-rak buku.
Judul karya penulis Amerika dan pembicara inspiratif tentang kepemimpinan
bisnis ini sederhana
atau dari jauh dari kesan berat-untuk menyebut biar tampak lebih intelektual. Walakin
justru itulah yang memantik saya untuk mengetahui lebih lanjut apa gerangan
isinya. Saya menjadi tahu bahwa judul buku ini terinspirasi dari kebiasaan para
pemimpin Korps Marinir AS yang makan paling akhir, setelah memastikan seluruh
anggota tim mereka sudah makan terlebih dahulu.
Sepintas tidak ada yang baru dengan gagasan demikian
itu, tapi sulit menyangkal bahwa sikap terpuji tersebut, terutama dalam kepemimpinan
sebuah organisasi, baik itu birokrasi pemerintah daerah maupun perusahaan,
masih jauh panggang dari api. Di era organisasi modern sekarang, gagasan
kepemimpinan dalam buku ini relevan dibaca oleh para pejabat pada level apapun.
Bukan tanpa sebab, karena Simon Sinek berhasil menggabungkan teori kepemimpinan dengan ilmu biologi dan psikologi, sehingga
mengetengahkan penjelasan lebih mendalam dan ilmiah.
![]() |
| karya Simon Sinek (terjemahan) |
Selanjutnya, konsep kepemimpinan yang
dianggait oleh Simon Sinek mengembangkan ide bahwa pemimpin
terbaik menciptakan “lingkaran keamanan” (Circle of Safety) di mana
anggota tim merasa dilindungi, dihargai, dan dimanusiakan. Dalam budaya
organisasi demikian itu, loyalitas, kerja keras, dan kolaborasi akan tumbuh subur
sehingga memberi pengaruhi positif bagi pencapaian visi-misi dan program
prioritas yang ditetapkan.
Sinek juga mengaitkan hal ini dengan ilmu
biologi—terutama empat hormon utama yang memengaruhi perilaku manusia dalam
konteks kepemimpinan dan kerja tim yaitu endorfin dan dopamin (mendorong
pencapaian dan kesenangan pribadi) dan serotonin dan oksitosin (mendorong
kepercayaan, kepedulian, dan koneksi antar manusia). Dengan kata lain, pemimpin
yang berhasil menggerakkan roda sebuah organisasi adalah mereka yang mengelola
keseimbangan hormon ini dalam organisasi melalui budaya dan keteladanan, bukan
sekadar perintah.
Sejurus hal
itu, gagasan di atas mensyaratkan kepemimpinan adalah tentang tanggung jawab
terhadap orang lain, bukan soal kekuasaan. Lalu, keteladanan dan empati yaitu
pemimpin yang turun langsung, menunjukkan empati, dan mengutamakan
kesejahteraan tim akan mendapatkan loyalitas dan semangat luar biasa. Selain dari
dua hal itu, yang tak kalah penting yaitu pemimpin yang menyadari bahaya terlalu fokus berlebihan pada angka (keuntungan). Apa
sebab? Organisasi yang hanya mengejar keuntungan (apalagi harus korupsi) tanpa
memperhatikan manusia cenderung menciptakan budaya kerja yang rapuh dan penuh
stres. Maka, pemimpin yang baik adalah juga sosok yang mampu memahami stres
kronis, ketidakamanan kerja, dan ketidakterlibatan emosional dalam kinerja.
Pada akhirnya, buku Simon Sinek ini memuat pesan
penting bahwa pemimpin besar tidak hanya dilihat dari hasil
akhir, tapi dari bagaimana ia memperlakukan orang-orang di sekitarnya. Ketika
pemimpin makan terakhir, seluruh tim akan siap berjuang bersama-sama. Begitulah
benang merah di balik judul “Leaders eat last”.
*Jakarta, 2 Oktober 2025.
*Tulisan-tulisan saya lainnya dapat dibaca di link berikut ini:
1) APBD Anjlok: Meneroka Kebijakan Dana Transfer 2026
2) Quo Vadis BUMD PT Jambi Indoguna Internasional (JII) ?
3) Asta Cita dan Beban Berat APBD Jambi 2025
4) Menavigasi Visi APBD Jambi Pasca Efisiensi
5) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?
6) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan
8) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi
9) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023
10) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024
11) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023
12) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023
13) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024
14) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023
15) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan
16) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan
17) Palu Godam Hakim Artidjo Alkostar
18) Duh Gusti, Makin Astaga Saja Negeri Ini
19) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi
20) Surat Terbuka Untuk Anggota DPR RI Dapil Jambi
21) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi
22) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai
23) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Autokritik
24) Nada Sumbang di Balik Pembangunan Puteri Pinang Masak Park
25) Kode Keras "Palu Godam" KPK di Jambi
26) Menguji Kebijakan Anti Korupsi Al Haris-Sani



0 Komentar