![]() |
Rumah Uya Kuya, salah satu pejabat yang dijarah massa. Foto: ntv/inews.id |
Oleh: Jumardi Putra*
Rumah-rumah mewah itu tanpa buku-buku--tanpa "isi kepala"--tanpa dasar berpikir buat mereka bekerja --Hanya ada harta-harta mewah dengan harga fantastis--dan acapkali dipertontonkan di linimasa media sosial milik mereka.
Penjarahan isi rumah milik anggota DPR RI seperti Ahmad Sahroini, Uya Kuya dan Eko Patrio di wilayah Jakarta oleh sekelompok massa tak dikenal belum lama ini, meninggalkan perkara yang mungkin dipandang sederhana, tetapi penting untuk kita refleksikan bersama yaitu tidak ditemukan buku-buku bacaan di rumah orang-orang terpandang itu. Yang tampak justru koleksi kendaraan dan barang-barang mewah dengan harga yang membuat publik, terutama masyarakat di akar rumput menggeleng-gelengkan kepala, mulai dari harga ratusan juta hingga miliaran rupiah. Kalau pun dikatakan ada satu-dua buku, keberadaanya jelas tertimbun oleh barang-barang branded yang membelalakkan mata sesiapa saja melihatnya, sebut saja seperti sebuah jam tangan milik seorang politisi yang katanya berharga 11 Miliar Rupiah. Fantastis bukan? Bayangkan bila uang segitu dibelikan buku-buku bermutu dan dibagikan ke Dapil mereka masing-masing.
Ketiadaan barang seperti buku-buku membuat para nitizen masygul,
kalau bukan merujaknya. Betapa tidak, imbas seisi rumah para politisi itu dijarah
massa, bersamaan dengan maraknya aksi demonstrasi di Jakarta belum lama ini,
publik bertanya-tanya, jika tanpa buku-buku, dengan cara apa mereka bekerja
sebagai wakil rakyat, yang bertugas membahas anggaran, menyusun peraturan perundang-undangan
dan mengawasi jalannya program dan kegiatan Kementerian/Lembaga saban tahun? Sungguh
tidak mudah bukan?
Sebenarnya, bukan sesuatu yang sukar bagi para pejabat
terpandang itu untuk membeli dan mengoleksi buku-buku bermutu di rumahnya, tapi nyatanya
di rumah mewah mereka tak dijumpai nutrisi pengetahuan tersebut. Berbeda halnya
dengan kediaman Sri Mulyani yang juga dijarah massa. Buku-buku begitu mudah dijumpai di rumah Menteri Keuangan itu, tapi nyatanya buku-buku itu tidak
menarik bagi para penjarah. Aksi penjarahan jelas tindakan kriminal, karena itu tidak
dibenarkan.
Walakin, dari peristiwa tersebut muncul pertanyaan bagaimana
kerja para politisi dan pengambil kebijakan di negeri ini bila isi kepala mereka
kosong dari asupan pengetahuan yang memadai, yang bersumber dari buku-buku dan
bentuk dokumentasi pengetahuan lainnya.
Di era internet sekarang memang buku tidak lagi melulu diukur
secara fisik, seperti yang di jual di toko-toko buku. Namun, mencermati
keberadaan politisi yang rumahnya dijarah massa, itu umumnya generasi kertas
atau media cetak. Artinya, buku-buku telah hadir bersamaan dengan zaman tumbuh
dan kembang mereka sebagai individu, apatahlagi saat ini mereka bekerja sebagai
Wakil Rakyat di lembaga parlemen DPR RI, yang seharusnya menunjukkan usaha
serius mereka menjadikan buku-buku sebagai patner dalam menjalankan tugas
kedewanannya.
Di sini saya tidak akan membenturkan antar buku fisik dengan
buku-buku elektronik (e-book). Keduanya sama-sama penting sejauh dibaca dan
memberi pengaruh positif bagi optimalisasi tugas dan fungsi mereka sebagai
wakil rakyat maupun birokrat yang melaksanakan program dan kegiatan pemerintah
yang sumber pembiayaan berasal dari APBN/APBD.
Saya pribadi kerap membayangkan para wakil rakyat, dengan
sumber daya yang dimilikinya, adalah pencinta buku, seperti para Founding Father’s bangsa ini, sebut saja
seperti Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Muhammad Natsir, Haji
Agus Salim, Buya Hamka, dan Soedjatmoko. Mereka yang saya sebut
itu menjadikan buku sebagai teman dalam perjuangan mereka merebut kemerdekaan
dari tangan penjajah. Buku tentu saja bukan semata memuat wacana, tapi isinya
menjadi bekal penting untuk memandu para wakil rakyat mendalami seluk-beluk
kebijakan yang dibuat kalangan eksekelutif atau pemerintah, di level apapun.
Zaman telah berubah. Akses terhadap sumber pengetahuan tidak
sesulit zaman pra kemerdekaan. Buku-buku
juga mudah diakses hari ini. Namun faktanya satu per satu toko-toko buku di tanah air mulai gulung
tikar, telah berganti bersamaan dengan massifnya pelbagai kanal media sosial, yang dari media itu sukar bagi publik mendapatkan asupan pengetahuan yang memadai. Yang menyeruap justru kian kaburnya batas antara opini dengan gosip, antara ulasan dengan sumpah serapah dan caci maki, antara analisa kritis dengan pikiran dangkal-konspiratif dan tidak selarasnya antara proses berpikir kritis dengan kecepatan jari jemari membagikan informasi yang belum sepenuhnya terkonfirmasi kebenaran dan atau validitasnya.
Kebedaan buku yang saya maksud di sini lebih kepada kecintaan terhadap
pengetahuan yang semestinya juga dimiliki oleh para wakil rakyat atau pejabat publik di negeri ini. Harapan jangka
panjangnya tentu dengan mengakrabi buku-buku, maka kerja-kerja jangka pendek-menengah
dan panjang mereka sebagai wakil rakyat ikut mewarnai sekaligus memastikan arah
perjalanan bangsa ini dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Setidaknya, tiap-tiap dari para wakil rakyat, dimulai dari keluarga kecil mereka di rumah masing-masing, lalu selanjutnya menjalar ke lingkungan sosial yang lebih luas untuk menjadikan buku-buku sebagai teman sehari-sehari dalam rangka menciptakan lingkungan pembelajar (learning community based), dan itu artinya turut meningkatkan kualitas SDM negeri ini.
Segendang sepenarian dengan hal itu, saya berharap ke depan para
wakil rakyat turut mendukung pendirian rumah baca di daerah pemilihan masing-masing,
bisa melalui dana aspirasi mereka sendiri sekaligus memastikan dukungan program dan
pembiayaan melalui Kementerian/Lembaga hingga ke level daerah-daerah di tanah air,
sesuai tugas dan fungsi lembaga perangkat daerah yang memiliki kewenangan
mengurusi hal itu. Dengan cara ini, saya membayangkan konstituen-konstituen
mereka di Dapil masing-masing menjadi insan-insan politik yang tercerahkan,
yang kelak bisa jadi sebagian dari mereka menjadi Wakil Rakyat yang cerdas sekaligus
berintegritas.
*Kota Jambi, 7 September 2025.
0 Komentar