Oleh: Jumardi Putra*
Mengawali Desember tahun ini, saya mendapat undangan dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Tanjung Jabung Timur untuk membedah karya jurnalis Wenri Wanhar berjudul Bangsa Pelaut: Kisah Setua Waktu. Buku reportase sejarah ini merupakan salah satu koleksi yang dimiliki Dinas Perpustakaan tersebut dan dapat diakses oleh khalayak luas, khususnya warga Kota Sabak.
Jarak
tempuh dari Kota Jambi menuju Kota Sabak kurang lebih sekitar dua jam perjalanan mobil. Saya
menikmati perjalanan pagi itu dari kawasan Tanggo Rajo (Rumah Dinas Gubernur
Jambi) menuju Sabak bersama beberapa Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah
Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Mereka memang sehari-hari bolak-balik
Jambi-Sabak karena bermukim di Tanah Pilih Pusako Betuah—julukan Kota
Jambi.
Bagi
saya, perjalanan mengisi diskusi kali ini terasa nostalgik. Saya pernah diundang oleh perangkat daerah yang sama
pada tahun 2016 untuk membedah buku tentang sejarah Kabupaten Tanjung Jabung
Timur.
Dalam kegiatan literasi kali ini, saya tidak sendirian. Saya bertindak sebagai narasumber bersama sejarawan Wiwin Eko Santoso. Pilihan untuk mendiskusikan buku Bangsa Pelaut sangat tepat karena bersinggungan langsung dengan sejarah daerah berkultur tua tersebut. Karya Wenri Wanhar ini membawa warna baru, berbeda dari umumnya karya sejarawan kampus, yakni berupa reportase sejarah--sebuah karya yang menggabungkan antara observasi lapangan secara mendalam dengan sumber literatur dan bukti arkeologis yang relevan, disajikan dengan bahasa yang renyah dan mengalir. Bagi tuan dan puan yang tertarik membaca ulasan lengkap saya tentang buku Bangsa Pelaut, silakan baca di link berikut ini: Menyingkap Tabir Sejarah Sabak.
| Bedah Buku Bangsa Pelaut: Kisah Setua Waktu |
Di tengah acara berlangsung, Wakil Bupati Tanjung Jabung Timur, Muslimin Tanja, tiba-tiba datang lantas nimbrung. Kehadirannya sempat mengejutkan panitia, namun seluruh peserta di ruangan diskusi merasa gembira dan antusias mengikutinya hingga akhir pada pukul 13.30 WIB. Bahkan Wakil Bupati—yang merupakan lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Indonesia—sempat memberikan testimoni positif terhadap kegiatan yang ditaja Dinas Perpustakaan dan Arsip sekaligus menaruh harapan agar kegiatan serupa berlanjut dengan intensitas yang terjaga.
Usai acara di gedung pertemuan Hotel Ratu di Kota Sabak, panitia mengajak saya dan mas Wiwin santap siang di Jihan Seafood & Resto, Talang Babat. Saya memilih menyantap sop daging sapi ditemani jus buah naga. Tak disangka, Wakil Bupati Tanjung Jabung Timur juga sedang makan siang di sana bersama pejabat teras lainnya. Kami pun sempat berbincang santai di warung makan tersebut.
Obrolan pun
berlanjut. Saya dan mas Wiwin kemudian diundang untuk mengobrol lebih lanjut di
Rumah Dinas sang Wakil Bupati. Mas Wiwin yang semula mengendarai motor,
akhirnya bergabung semobil dengan saya dan Wakil Bupati, sementara motor
Jupiter-nya dibawa oleh salah satu staf.
Ini
adalah kunjungan pertama saya dan mas Wiwin ke rumah dinas Wakil Bupati Tanjung
Jabung Timur. Di sana, saya dan mas Wiwin menunaikan salat zuhur berjamaah dan
melanjutkan obrolan santai yang menyentuh banyak topik. Selain sang Wakil
Bupati, hadir juga salah satu Anggota DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Muhammad Samin. Sebagai sesama alumni
kampus di Yogyakarta, obrolan kami berlangsung cair, jauh dari kesan
protokoler rumah dinas pejabat.
***
Setelah
satu setengah jam di rumah dinas Wakil Bupati, saya dan Mas Wiwin pamit menuju Pesantren Jari Nabi, yang berlokasi
tidak jauh dari sana, tepatnya di jalan RA Kartini, Kelurahan Rano, Kecamatan Muara Sabak Barat. Niat saya berkunjung ke pesantren pimpinan KH. Muhammad Syukron
Maksum ini untuk bersilaturahmi sesama sahabat, setelah hampir delapan tahun tidak pernah ke
sini lagi. Kunjungan pertama kali saya ke pesantren ini pada 9 Agustus 2017 (bersamaan memoderatori
sebuah diskusi di aula Kantor Bupati Tanjung Jabung Timur), dan ketika itu jumlah serta kondisi bangunan Jari Nabi belum seperti sekarang. Begitu juga kondisi jalan berbukit
menuju pesantren belum dicor beton seperti saat ini.
| kiri-kanan: Deni, Wiwin dan saya bersama istri KH. Syuron |
Sayangnya, empu pesantren, Kiai Syukron Maksum, sedang berada di Yogyakarta. Saya akhirnya hanya bertemu dan bercakap-cakap dengan istrinya, yang kebetulan pernah sekampus—beda kelas—di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, kampus yang sama ketika Kiai Syukron Maksum menyelesaikan sarjana S1nya. Kunjungan ke Jari Nabi kali ini juga dibarengi Pak Deni, pegawai Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yang juga sealmamater dengan kami saat kuliah di Yogyakarta.
Sepenelusuran saya, Kiai Syukron Maksum adalah anak bungsu dari enam bersaudara KH. Maksum Abdullah Mas’ud (1934-2016), pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Al-Ishlah di Tanjung Jabung Timur. Ayah dari Kiai Syukron Maksum ini adalah lulusan Pesantren Al-Munawwir Krapyak binaan KH. Ali Maksum, dan pernah pula nyantri sekaligus mengajar di Pesantren Tremas. Ketika itu, pimpinan Tremas adalah teman dekat beliau, yakni KH. Habib Dimyati, yang memimpin pesantren Tremas Pacitan tahun 1952. Pesantren Tremas sangat diperhitungkan, berkat kaitannya dengan nama Syaikh Mahfuzh at-Tarmasi (wafat di Makkah 1918 M), ulama berkaliber internasional asal tanah air, penulis produktif, dan guru besar hadis Shahih Bukhari di Masjidil Haram, Makkah.
Seiring berjalannya waktu, Pesantren Al-Ishlah yang didirikan KH. Maksum Abdullah Mas’ud menjadi cikal bakal berdirinya pondok-pondok pesantren lain di Tanjung Jabung Timur. Bahkan, tiga dari enam putra KH. Maksum Abdullah Mas’ud melanjutkan perjuangannya dalam bidang pendidikan, yaitu: KH. Ahmad Muzani Maksum (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Ishlah), KH. Ahmad Hizbulloh Maksum (Pimpinan Pondok Pesantren Barakatul Ishlah), dan KH. Muhammad Syukron Maksum (Pimpinan Pondok Pesantren Jari Nabi). Sebagaimana ayahnya, Kiai Syukron Maksum juga lulusan pesantren Al Munawir Krapyak Yogayakarta.
Saya terkesan dengan suasana asri di Pesantren Jari Nabi, karena dibangun di atas perpaduan bukit dan lembah, pemandangan alamnya terasa sangat menyegarkan. Sebagai pecinta karya sastra, suasana seperti ini cocok untuk mengasah imajinasi dalam berkarya. Tidak hanya itu, menurut penuturan Mas Wiwin, warga di sekitar pesantren kerap menemukan pecahan piring, vas, dan guci kuno saat menggali kolam ikan untuk pengembangan. Dalam amatannya, penemuan benda bersejarah semacam itu menunjukkan bahwa lokasi tersebut pernah dihuni sejak lama sekaligus penanda masa lalu Sabak yang luar biasa.
| Penulis dan mas Wiwin saat di Pesantren Jari Nabi tahun 2017 |
Tidak kurang dari satu jam saya berada di Pesantren Jari Nabi. Saya melihat langsung bangunan asrama santri laki-laki. Suasana yang saya jumpai mengingatkan kembali kenangan saya saat masih menjadi santri di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, sekitar 25 tahun yang lalu. Santri-santri tampak bersendagurau dengan sesama kawan usai melaksanakan salat ashar berjamaah lalu berzikir di masjid. Sebelumnya, hari itu juga para santri baru saja melaksanakan ujian.
Lembaga
pendidikan dengan konsep eco-pesantren
ini masih terbilang muda, tetapi geliatnya cukup meyakinkan dan menunjukkan
progres positif. Semoga pesantren ini konsisten menjadi tempat bagi anak-anak
yang ingin belajar ilmu agama tanpa kehilangan kesempatan mempelajari ilmu-ilmu
umum, seraya mengakrabi konsep pembangunan ramah lingkungan. Yang membedakannya
dengan kebanyakan lembaga pendidikan berbiaya mahal, Pesantren Jari Nabi
menegaskan posisinya sebagai kawah candradimuka bagi anak-anak dari
keluarga ekonomi rendah.
Masih
segar dalam ingatan saya, ketika Kiai Muhammad Syukron, di awal pesantren ini
berdiri, mengatakan kepada saya bahwa salah satu tujuan mendirikan pesantren adalah memberikan jalan bagi
warga miskin kurang mampu dan anak-anak yatim piatu untuk dapat menimba ilmu. Pilihan mulia ini tentu tidak lantas tanpa aral, tetapi
berkat pertolongan Allah melalui tangan para dermawan, program tersebut terus
berjalan hingga menjadi pesantren seperti sekarang.
Gagasan
ini menempel kuat di balik penamaan pesantren, yaitu Jari Nabi. Nama ini diambil dari potongan hadis yang berbunyi, "....antara aku dan anak yatim nanti di
akhirat bagaikan dua jari ini (sembari menunjuk jari telunjuk dan jari tengah)
yang artinya berdampingan." Begitu kira-kira yang saya tangkap dari
penjelasan kiai muda ini.
| Suasana pesantren Jari Nabi |
Inginnya berlama-lama di Pesantren Jari Nabi, tetapi kesibukan membuat saya harus menunda keinginan tersebut. Saya pun bersama Pak Deni pamit meninggalkan Jari Nabi, dan itu artinya juga meninggalkan kota Sabak menuju Kota Jambi. Sedangkan mas Wiwin masih tinggal di Jari Nabi. Belum lama ini, ia diamanahi menjadi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Jari Nabi. Mas Wiwin sendiri diketahui sering bolak-balik Kota Jambi-Sabak, selain sesekali mengajar di kampus UIN STS Jambi, di Mandalo. Saya berharap kehadiran Mas Wiwin membawa angin segar sekaligus warna baru di ranah akademik sekolah tinggi keislaman itu.
Perlahan-lahan
Jari Nabi menjauh dari pandangan saya, tetapi tidak dengan kenangan saya
terhadap pesantren ini. Jarum jam menunjukkan pukul 17.10 WIB. Sepanjang jalan,
dari dalam mobil Perpustakaan Keliling yang membawa kami menuju Kota
Jambi—meski separuh jalan diguyur hujan lebat plus petir menggelegar—kenangan saya yang berkelebat
menjelma sebagai doa, semoga Jari Nabi
terus tumbuh dan berkembang, menjadi pembawa suluh peradaban berakar keislaman
di masa depan, sebagaimana sejarah kebesaran Sabak nun jauh di kelampauan. amin.
*Kota Jambi, 13 Desember 2025.

0 Komentar