Google Doodle, Sapardi Djoko Damono dan Hujan Bulan Juni

Sapardi Djoko Damono. sumber: Gramedia

Oleh: Jumardi Putra*

Riang hati saya mengetahui mendiang Sapardi Djoko Damono tampil di halaman muka Google hari ini dengan desain doodle yang spesial, Senin (20/3/2023). Google Doodle tersebut dibuat khusus untuk merayakan hari ulang tahun ke 83 Sapardi Djoko Damono, salah satu sosok penting dalam jagad kesusastraan Indonesia.

Pria yang akrab dipanggil SDD ini lahir di Surakarta pada tanggal 20 Maret tahun 1940. Tepat hari ini, Senin, 20 Maret 2023 menandai HUT ke 83 Sapardi Djoko Damono. Guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia ini wafat pada tanggal 19 Juli tahun 2020 di usia 80 tahun.

Semasa hidup ia ini dikenal sebagai penyair, dosen, pengamat sastra, dan kritikus sastra. Merujuk Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi digolongkan ke dalam kelompok pengarang angkatan 1970-an. Sedangkan dalam Sastra Indonesia Modern II (1989) karya Prof. A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar tahun 1960.

Google Doodle merupakan perubahan logo khusus dan bersifat sementara di beranda Google yang dimaksudkan untuk merayakan momen penting, peristiwa unik maupun riwayat hidup para tokoh ternama dunia, seperti juga memperingati kehidupan para seniman, pelopor dan ilmuwan hebat.

Selain Sapardi, sebelumnya terdapat 16 tokoh Indonesia yang dibuat desain khusus menghiasi laman Google yaitu seniman Betawi Benyamin Sueb (lahir 5 Maret 1939), Penyanyi dangdut dan aktris Ellya Khadam (lahir 23 Oktober 1928), pahlawan nasional Maria Walanda Maramis (lahir 1 Desember 1872- ), Sastrawan Pramoedya Ananta Toer (lahir 6 Februari 1925), sutradara film dan sastrawan Usmar Ismail (lahir 20 Maret 1921), tokoh pers dan wartawan senior Herawati Diah (lahir 3 April 1917), atlet/tokoh olahraga panahan Donald Pandiangan (lahir 12 Desember 1945), Wartawati pertama Indonesia Roehana Koeddoes (lahir 20 Desember 1884), Penari, pelukis dan koreografer Bagong Kussudiardja (lahir 9 Oktober 1928), pemusik, guru musik dan pencipta lagu Saridjah Niung atau lebih dikenal dengan nama Ibu Soed (lahir 26 Maret 1908), bapak pendidikan nasional Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara (lahir 2 Mei 1889), ilmuwan/ Bapak Mikroelektronika Samaun Samadikun (lahir 15 April 1931), pahlawan nasional/tokoh perjuangan wanita Raden Adjeng Kartini  (lahir 21 April 1879), pahlawan nasional/pelopon Pendidikan perempuan Dewi Sartika (lahir 4 Desember 1884), komponis terkemua tanah air Ismail Marzuki (lahir 11 Mei 1914), penyanyi dan pencipta lagu campursari dan dangdut Didik Prasetyo atau akrab disapa Didi Kempot (31 Desember 1966).

Desain Google Doole Sapardi Djoko Damono

Ilustrasi doodle sosok Sapardi yang tengah berdiri di tengah rintik hujan sambil membawa sebuah buku dan payung mengingatkan saya pada salah satu kumpulan puisinya yang terkenal pada tahun 1994 berjudul Hujan Bulan Juni. Penggambaran demikian itu terasa pas bagi sosok yang kerap disebut penyair romantis. Tak pelak, banyak puisi-puisi romantisnya dijadikan bacaan masyarakat, tidak terkecuali kaum remaja.

Salah satu puisi yang familiar adalah "Aku Ingin", puisi tahun 1989 yang SSD masukkan ke dalam buku kumpulan puisi berjudul "Hujan Bulan Juni" berikut ini:  "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada.”

Begitu juga puisi hujan bulan juni berikut ini:

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

 

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

 

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

 

Karya Hujan Bulan Juni tak berhenti sebagai puisi, tetapi juga diadaptasi menjadi novel, komik, lagu, hingga film. Diakui Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni bermula dari kumpulan puisi yang kemudian berkembang menjadi sebuah novel trilogi. Sapardi menulis puisi tersebut medio 1964-1994. Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni telah dialihbahasakan ke dalam 4 bahasa yakni Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin.

Sebagai penulis puisi, saya termasuk pembaca sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Tak pelak, sajak-sajaknya turut menjadi sumber ide bagi saya untuk menulis sepilihan sajak berikut ini:

1/

Tetiba aku ingat sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan Bulan Juni. Sajak yang benar-benar memikat. Sajak yang berhasil memungut saripati ketabahan, kebijaksanaan, kearifan, dan puncaknya cinta yang melampaui konvensi.

Kita tahu, hujan sekarang pada medio Oktober. Sapardi menyadari baik Juni maupun Oktober hanya dipisahkan oleh karena manusia menubuhkan tanda-tanda untuk merengkuh makna dari segala peristiwa dan suasana.

Di atas itu semua, cinta adalah cinta. Tidak disekati oleh nama bulan seisinya. Ia menyusup ke dalam segala suasana dengan cara sederhana, bahkan terkadang tiba tak terduga.

2/

Bila saya dipertemukan dengan Sapardi Djoko Damono, sekalipun dalam mimpi, saya bertanya apa resep keberhasilan dirinya menulis sajak semenarik Hujan Bulan Juni?

Aku ingin belajar menuliskannya dengan cara sederhana. Bukan sajak laksana bunga-bunga yang layu sebelum berkembang, dan gagal meruapkan wewangian rona.

Karena Sapardi telah tiada, dan mimpi itu tak kunjung tiba, maka tugas saya menyelami sajak-sajaknya, yang bila jasad tak ada lagi, tetap tidak akan pernah sendiri karena mengabadi dalam bait-bait sajak bergelimang arti.

3/

Hujan sudah berhenti. Aku khawatir kau juga akan begitu. Makin jauh dari penglihatanku. Pada setiap hujan kusediakan payung. Tidak untuk menolak kehadirannya. Melainkan aku ingin melihat dari jarak terdekat saat rerintik hujan jatuh perlahan di bucunya, lalu berlabuh di pipimu. Sanggupkah aku menjumlahkan rintik hujan di sabana pipimu? Bukan itu yang kutuju, karena jernih hujan tidak lain adalah bening matamu.

4/

Hutan senang bila kau menjelajahinya dengan kaki telanjang. Begitu juga pepohonan riang tak kepalang melihat rambut panjangmu terurai disaksikan riuh dedaunan. Bersamaan rinai hujan, angin meliuk-liuk tak tergapai mengabadikan sepotong bibirmu yang piawai merapalkan tembang rindu dalam balutan kenangan.

5/

Hujan bukan perlambangan dari kesedihan mahapanjang. Samasekali bukan. Hujan adalah bahasa paling purba tentang kesemestian mengasihi. Ia hadir tidak lantas menggantikan senja maupun malam yang disertai purnama. Hujan, sebagaimana takdirnya jatuh berkali-kali, dan tidak pernah mengeluh karenanya.

***

Sebagai peristiwa metafor, apa yang bisa dipetik dari hujan? Jernih air hujan yang turun dari langit tidak melulu dalam makna tunggal yaitu bening sebagaimana umumnya kita ketahui, dan demikian itu disebut sebagai semata putih-bersih, tetapi sejatinya air hujan juga datang dari mendung hitam yang tebal. Karenanya bening melampaui makna harfiahnya.

Tidak saja pada hujan, bahkan pada mendung hitam dan petir yang menggelegar kita bisa memetik pelajaran bahwa hidup ini tidak untuk jatuh tersungkur pada satu manifesto, melainkan menempatkan diri secara terbuka pada yang beragam, selain dengan tujuan untuk menemukan sudut yang tepat untuk mengartikannya, juga menemukan kemungkinan-kemungkinan keberartian.

Demikian parenungan saya tentang hujan baik sebagai peristiwa faktual maupun metafor adalah perlambang dari kedermawanan langit. Maka, masuk dan masyuklah ke dalam hujan itu sendiri. Tidak hanya untuk membasuh pikiran yang dangkal, tetapi juga untuk melepas tubuh dari lilitan aktivisme yang seolah-olah telah menemukan jawaban terhadap persoalan kehidupan yang bersegi banyak.

*Kota Jambi.

0 Komentar