Masjid Terapung Gedebage, Eksotika Bumi “Parijs van Java”

Masjid Al Jabbar

Oleh: Jumardi Putra*

Langit kota Bandung berawan cerah. Usai merampungkan tugas kedinasan, Jumat, 3 Mei 2024, sekira pukul 11.30 WIB, saya bersama sejawat dan beberapa anggota DPRD Provinsi Jambi melawat ke Masjid Raya Al Jabbar di Cimincrang, Gedebage, berjarak sekitar 17,5 km dari hotel Golden Flower, tempat kami menginap, di Jalan Asia Afrika Nomor 15-17, Braga, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung.

Niat berkunjung ke Masjid Raya Al-Jabbar sejatinya sudah lama, seiring peresmiannya pada 30 Desember 2022 oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat Ridwan Kamil, yang tak lain adalah juga sosok arsitek yang merancang perpaduan bangunan itu antara arsitektur modern kontemporer dengan aksentuasi Masjid Turki yang dihiasi seni dekoratif khas Jawa Barat. Sebelum ada Masjid Al Jabbar, Bumi Pasundan (Jawa Barat) yang oleh fenomenolog, psikolog, dan budayawan M.A.W. Brouwer katakan "lahir ketika Tuhan sedang tersenyum" ini memiliki Masjid Raya Bandung, berlokasi tidak jauh dari gedung Merdeka, tempat diselenggarakan Konferensi Asia Afrika 1955 yang melegenda itu.

Merujuk pelbagai warta media, pembangunan Masjid Al Jabbar menelan biaya sebesar kurang lebih 1 triliun yang bersumber dari APBD Provinsi Jawa Barat. Lantaran berbiaya tinggi itu, di awal pembangunnya pada 2017 yang ditandai dengan upacara peletakan batu pertama oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, menyulut polemik. Pembangunannya sempat terhenti karena pandemi Covid-19 pada 2021, tapi setengah tahun kemudian dilanjutkan lagi hingga selesai pembangunannya jelang tutup 2022 masa kepemimpinan Ridwan Kamil.

Alhamdulillah, sekira pukul 12.32 WIB, saya benar-benar menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kawasan Masjid Al Jabbar setelah sebelumnya melewati Jalan Tol Padalarang–Cileunyi atau Padaleunyi menggunakan mobil Toyota HIACE. Warga di kawasan ini juga menyebutnya Masjid Terapung Gedebage. Sebutan itu karena pantulan bentuk masjid yang menawan di air danau (empat sisi bangunan) sehingga mendukung kesan terapung. Di luar soal itu, di masa lalu kawasan Gedebage merupakan rawa-rawa bekas peninggalan Danau Purba yang mengering setelah kurun waktu yang lama dan kemudian beralih menjadi area persawahan dan diikuti selanjutnya pembangunan banyak perumahan. Keberadaan danau yang mengelilingi sisi Masjid selain berfungsi sebagai retensi banjir juga penyimpan air.

Masjid Al Jabbar malam hari. Sumber: Radarbandung.id

Saya benar-benar dibuat takjub melihat kemegahan arsitektur Masjid Al Jabbar-salah satu Asmaul Husna yang artinya Maha Perkasa- dari jarak sangat dekat. Saya perhatikan bangunan utama Masjid ini tidak memisahkan dinding, atap, dan kubah, tetapi justru ketiganya dibuat melebur menjadi satu bentuk laksana setengah bola raksasa. 

Di lahan Masjid seluas 26 Ha ini juga terdapat taman-taman tematik kenabian, sebut saja seperti taman Nabi Adam, taman Nabi Nuh, taman Nabi Ibrahim, kemudian ada juga taman Nabi Yunus. Kesemua taman itu menjadi ruang perenungan bagi para pengunjung tentang perjalanan hidup para Nabi. Di sisi timur Masjid, saya melihat sebuah patung kaligrafi “Al Jabbar” berwarna emas yang dipelintir. Patung itu berdiri di atas tapak bundar yang permukaannya dilapisi alas lantai buatan tangan dengan motif wadasan berwarna biru dan kuning cerah yang memberikan kesan mewah. 

Melihat patung Al Jabbar itu, meski tidak persis sama, saya teringat bundaran dengan ukiran sepasang angsa berbalutkan warna emas setinggi 8 meter di RTH Puteri Pinang Masak, yang dibangun Pemerintah Provinsi Jambi di area bekas pasar tradisional Angso Duo di Kota Jambi. Sayangnya, RTH itu kini belum difungsikan sebagaimana mestinya lantaran memunculkan anomali dalam proses pembangunannya.   

Kemudian, di sisi timur Masjid Al Jabbar juga terdapat beberapa sentuhan khas masjid Turki yaitu pelataran besar dikelilingi koridor dengan naungan dihiasi kaca patri warna-warni, serta paviliun wudu dengan keran air bertempat duduk. Begitu juga lahan parkir luas dipenuhi oleh kendaraan para pengunjung yang ingin beribadah atau sekadar melihat langsung keindahan dan kemegahan Masjid tersebut. Fenomena yang terakhir itu familiar disebut sebagai wisata atau rekreasi religi.

Bagian monumental dalam Masjid Al Jabbar

Setiba di Kawasan Masjid Al Jabbar terik matahari menyilaukan mata sekaligus menyengat kulit saya. Sumuk. Saya pun melangkahkan kaki dengan cepat menuju bangunan utama Masjid. Selain warga yang lalu lalang di jalan masuk ke arah masjid, saya melihat beberapa lelaki dan wanita berpakaian seragam resmi dan sigap mengatur keluar-masuk Masjid bagi warga yang ingin menunaikan shalat maupun sekadar berkunjung untuk wisata dan menikmati pelbagai sajian informasi di Museum Rasulullah Muhammad SAW di lantai dasar Masjid.

Saya segera berwudu di tempat yang dikhususkan bagi kamu lelaki di lantai dasar. Kamar mandi dan tempat berwudu di masjid ini luas dan bersih. Begitu juga fasilitas wudu dilengkapi tempat duduk dengan air yang jernih. Tidak hanya itu, Masjid Raya Al Jabbar juga didesain ramah bagi kaum lansia dan disabilitas melalui akses ramp dan dua lift yang memadai serta ruang wudhu dan toilet khusus difabel.

Dari situ saya menuju lantai utama masjid di atasnya melalui salah satu tangga di bagian dalam. Baru beberapa langkah menginjak lantai utama Masjid, saya benar-benar dibuat terperangah, lagi dan lagi, karena melihat langsung desain interior Masjid Al Jabbar, apatahlagi tanpa tiang tengah. Terbayang oleh saya kerumitan dalam proses pembangunan Masjid tersebut. Saat yang sama saya membayangkan kerlip cahaya di malam hari akan menambah keindahan Masjid ini. Selain nyala lampu yang silih berganti warna di koridor maupun makara di atas bangunan Masjid-elemen tusuk sate-khas Kantor Gubernur Jawa Barat-lima bola pada tusuk sate melambangkan lima rukun Islam-juga semburat cahaya lampu yang muncul dari kulit minaret berwarna biru, kuning, dan ungu (senada dengan kaca bangunan masjid) pada empat menara yang menjulang setinggi 99 meter di luar bangunan Masjid membuatnya terlihat seperti tiang dengan tekukan-tekukan.

Usai menunaikan shalat zuhur dilanjutkan zikir barang sejenak dan dipungkasi dengan doa, saya mengadah ke langit dan melihat royal crown yang berada di puncak plafon area salat Masjid. “Mahkota” itu berupa kaligrafi lafaz “Allah” yang berukuran sangat besar dan menggantung ke bawah. Sungguh menakjubkan, dan karenanya ikonik. 

Penulis di Masjid Al Jabbar

Setelahnya saya melihat puluhan relung yang terbuat dari relief tembaga yang ditempa dengan baik oleh tangan-tangan terampil pastinya. Relief berupa motif batik itu mewakili tiap kota dan kabupaten yang sekaligus mengekspresikan kekayaan seni masyarakat Jawa Barat. Sedangkan lantai di bawah mezanin diterangi lampu kuningan Cianjur, dengan warna keemasannya yang mampu memberi rasa mewah, tapi elegan. Lalu di bagian dinding sisi barat, terdapat mihrab yang terhubung hingga mahkota di pucuk langit-langit Masjid. Itu semacam pengingat bahwa hanya kepada Allah SWT kita meminta hidayah maupun pertolongan.

Sebelum meninggalkan Masjid Al Jabbar, saya sempat menyusuri lantai dasar yang berisi museum sejarah Rasulullah Muhammad SAW, sejarah perkembangan Islam di tanah air, dan sejarah Islam di Provinsi Jawa Barat. Kehadiran ruang-ruang demikian itu menjadikan Masjid Raya Al Jabbar sebagai satu-satunya Masjid di Indonesia yang memiliki pusat edukasi berupa museum dengan penggunaan teknologi digital mutakhir.

Demikian pengamatan saya usai melihat langsung kemegahan dan keindahan (eksotika) Masjid kebanggaan masyarakat Provinsi Jawa Barat. Eksotika Masjid Al Jabbar menjadi salah satu dari sekian banyak kemasyhuran dari Bumi berjuluk ”Parijs van Java” itu. Agaknya tidak berlebihan bila saya berharap bisa ke sini lagi di lain kesempatan, tidak hanya untuk mencecap aneka keindahan Jawa Barat, tapi juga menuliskannya.

*Kota Bandung, 3 Mei 2024. Data pembangunan Masjid Raya Al Jabbar merujuk sumber pelbagai media.

0 Komentar