Dari Hari Ke Hari: Fragmen X

ilsutrasi. sumber: serupa.id

Oleh: Jumardi Putra*

Terhadap buku-buku yang pernah saya baca, tempat-tempat yang saya kunjungi dan orang-orang yang pernah saya jumpai dan berdialog bersama mereka, saya berhutang budi dan karenanya saya menaruh hormat sekaligus berterima kasih. Melalui ruang-ruang demikian itulah, saya berkesempatan mencatat sekaligus menyerap saripati.

Berikut ini percikan permenungan saya sedari medio April hingga medio Mei 2024, meneruskan edisi sebelumnya (Dari Hari Ke Hari: Fragmen I sampai IX) yang saya tulis secara singkat sebagai status di aplikasi perpesanan Whatsapp. Mungkin saja ada gunanya.

***

Tidak semua akademisi layak disebut cendekiawan. Ia bukan hanya ditentukan pemegang kartu kredensial berlatar belakang kesarjanaan. Secara sosiologis ia bisa datang dari lapangan yang luas, melampaui sekat-sekat pagar perguruan tinggi. Kecendekiawanan bagi saya adalah tentang sikap (asketis), dedikasi, dan tentu saja keberpihakan pada nilai-nilai yang tumbuh sekaligus berkembang dalam tradisi kecendiakaan yang teruji di lintasan waktu yang panjang. Ia adalah makhluk praksis-menyejarah, bukan manusia "berumah" di atas awan. 

***

Saya kerap dibuat termenung saat berhadapan dengan buku-buku catatan perjalanan karya generasi terdahulu maupun beberapa penulis kontemporer, sebut saja seperti Eric Weiner dan Agustinus Wibowo. Betapa stamina dan kemampuan menulis saya tidak lebih tangguh dan sungguh-sungguh, sebut saja dibanding generasi intelektual muslim terdahulu, seperti penjelajah ulung Ibnu Batutah, ahli sejarah, geografi, sastra dan ulama besar Andalusia Ibnu Jubair, dan sosiolog kenamaan Ibnu Khaldun. Mereka menulis catatan perjalanan (rihlah) dengan begitu baik sehingga dapat dibaca dan menginspirasi generasi jauh setelah mereka wafat. 

Hari ini, didukung teknologi komunikasi dan informatika, justru membuat perjumpaan orang-orang sekaligus perpindahan secara fisik dari satu tempat ke tempat lainnya dalam tempo yang begitu cepat, menjadikan kemampuannya untuk memaknai lebih dalam tentang "space" dan "place" acapkali tersangkut pada lapisan yang serba dangkal dan sebatas kulit luar, padahal realitas itu berlapis-lapis. Jangankan menulis catatan perjalanan untuk rentang waktu maupun jarak yang panjang, sekadar menuliskannya secara detail, meski singkat, kerap dilanda kejumudan. Galibnya, pada setiap perjalanan berakhir hanya dengan swafoto untuk dipasang di insta-story dan beranda aplikasi media sosial lainnya.

***

Setiap hari kita hanya membaca berita Pilkada Jambi 2024 seputar kemungkinan koalisi atau trend elektabilitas beberapa figur bakal calon Gubernur maupun Bupati/Wali Kota, namun tidak pernah mendengar gagasan bernas mereka. Politik (tuna) gagasan akan membuat Pilkada hanya berisi sirkulasi kekuasaan di antara elite yang tidak ada sangkut pautnya dengan problem fundamental kaum akar rumput, pertumbuhan ekonomi semu, arah pembangunan daerah yang gelagapan menjawab dinamika politik global sekaligus glo(ka) lisasi yang serampangan, dan puncaknya Pilkada hanya menjadi ritus reproduksi oligarkis predatoris dan peradaban politik kita akan diliputi kegelapan jangka panjang. Sebagai cahaya penerang, etika dan politik gagasan sangat diperlukan, tapi itu ditanggalkan.

***

Publik kerap mendengar pantun dibacakan dalam acara-acara resmi pemerintah. Umumnya mereka dibuat larut seolah itu bentuk kepedulian pengambil kebijakan pada budaya daerah. Pangkal masalahnya bukan terletak di situ, melainkan itu tak lebih pada citra seolah ingin disebut peduli pada budaya. Nyatanya, makna yang di(lekat)kan pada setiap kepentingan (entah itu visi, misi dan program prioritas) melalui pantun adalah cara pandang kekuasaan secara tunggal terhadap realitas yang sejatinya berlapis-lapis. Dalam konteks itu, pantun tidak hadir dalam bentuknya sebagai kritik yang autentik, melainkan muncul sebagai instrumen yang dipakai untuk menutup topeng tipu muslihat. Apa pasal? Tafsirnya acapkali mewakili kekuasaan yang bertujuan merawat legitimasi kepentingan yang tidak ada sangkut pautnya dengan budaya daerah sendiri.

***

Menulis itu bukan semata bergantung pada data, sudut pandang dan argumentasi yang menopangnya, tetapi juga tentang bagaimana ia dirangkai sehingga enak dibaca dari sejak kalimat pembuka sampai penutup. Pada yang terakhir itu ia mensyarakatkan jam terbang dalam hal membaca pelbagai sumber literatur, membaca karya sastra sebagai pintu masuk untuk menemukan "rasa" berbahasa sebagai strategi literer dalam membuat sebuah tulisan yang renyah dengan tetap tidak kehilangan bobot kedalaman/substansi. Terakhir kudu aktif terlibat dalam diskusi sebagai salah satu cara untuk mengasah pemikiran sampai pada tahap menemukan perspektif yang terlewatkan oleh orang kebanyakan. Hal itu demikian itu adalah tradisi kepenulisan yang tidak bisa dibentuk dalam tempo instan.   

***

Sering-seringlah "berdialog" dengan kekuasaan. Saya pakai tanda kutip pada kata dialog itu untuk menegaskan dialog yang dilandasi adanya Tuhan, empati, kritisisme, ketulusan dan keberpihakan pada rakyat yang berada jauh dari pusat kekuasaan lantaran kerap terabaikan dalam setiap pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah yang bersumber dari APBN/APBD atau sumber keuangan sah lainnya.

Dialog dalam bingkai tersebut, dalam prosesnya tentu saja akan menjumpai onak duri karena kekuasaan acapkali membius siapa saja yang berusaha berdialog dengannya menjadi alfa. Hal itu bisa karena bujuk rayu dari kekuasaan yang menggiurkan. Berdialoglah dengan kekuasaan, sekalipun penuh kegetiran, untuk menyelamatkan pembangunan. 

***

Baru saja menerima kabar Mas Joko Pinurbo tutup usia di sebuah Rumah Sakit di Jogja. Meski sudah lama terbaring sakit, kabar wafatnya tetap menyembulkan rasa tidak percaya. Selamat jalan Mas Jokpin, sosok bersahaja. Terima kasih atas dedikasimu yang luar biasa dan karya sastra yang engkau tulis semasa hidup. Melalui jalan panjangmu itu, saya terus diyakinkan bahwa memilih hidup di lapangan kebudayaan adalah pilihan yang tidak mudah, tapi kau justru terus hidup dan menginspirasi banyak orang. Sajak-sajakmu, meski ditulis penuh homor, merespon pelbagai persoalan kehidupan, berhasil mengetuk dan bahkan menghardik sisi kemanusiaan manusia yang kerapkali abai oleh karena kepentingan politik jangka pendek, perilaku beragama eksklusif dan primordialisme sempit. Bahkan, melalui sajak-sajak pula, kau menunjukkan (di luar soal ajaran agama secara formal yang diyakini setiap pemeluk agama), bagaimana berhuhungan dengan sang Pencipta dengan penuh kebahagiaan dan cara-cara sederhana. #RIP

***

Jika meja yang berantakan adalah tanda dari pikiran yang berantakan, lalu apa yang dimaksud meja kosong? Begitu ujar Albert Einsten. Agaknya yang bercakap-cakap malam mini, di sini, bukan bagian dari pendukung meja kosong. Berantakan di sini dalam makna alternatif yaitu budaya tanding atas paradigma meja kosong yang kerap diasumsikan serba rapih, tapi sejatinyanya mereka selalu berada dalam kontrol politik dan bahasa kekuasaan sehingga tidak kreatif dan berujung stagnan. Berantakan selalu memberi ruang bagi kehadiran ide-ide bernas. Buktikanlah.

***

Sungguh, Juwita Melayu ini tidak saja digambarkan penuh senyum, tapi cantik sekaligus berbudi baik. Bagaimana dengan mereka yang datang dan pergi meninggalkan gedung wakil rakyat ini, berbilang hari dan bahkan bertahun-tahun, adakah terbesit di hati mereka bahwa "selamat datang" dari sang Puteri itu adalah juga tentang empati dan penghormatan. Penghormatan yang tidak berhenti pada semata protokolerian, tapi lebih dalam yaitu kemanusiaan. Karena itu, pada setiap yang datang maupun pergi, mesti diikat oleh tali kemanusiaan sehingga tidak mudah terputus oleh beragam kepentingan yang tidak sejalan dengannya. #patungselamatdatangdprdprovjambi

***

Suatu malam saya tadarus buku puisi Joko Pinurbo berjudul Selamat Menjalankan Ibadah Puisi. Itu bukan tanpa alasan. Joko Pinurbo dengan kerendahan hati, sekalipun tidak sedikit orang juga mengamini bahwa melalui karya puisinya ia belajar berdamai dengan dirinya sendiri. Karena itu ia tidak pernah berhenti bersyukur. Laksana burung, sebuah citraan yang indah, yang tertulis dalam kitab suci, yang itu amat disukai dan menginspirasi Joko Pinurbo yakni burung tidak pernah menanam dan menuai, tapi dipelihara Tuhan di Surga. Burung tidak pernah khawatir akan rezekinya, tapi ia terus ke sana kemari, terbang dan bernyanyi. 

Bagi Joko Pinurbo, begitulah indahnya kitab suci selalu mengajarkan hambanya agar bisa berdamai dengan dirinya sendiri dlm situasi apapun. Terlintas di pikiran saya, jika puisi mempertemukan sesiapa saja pada alasan-alasan sehingga bisa berdamai dengan diri sendiri, bagaimana sejatinya Puasa itu sendiri? Lebih dari itu, puasa tidak saja mengantarkan seorang hamba ke relung terdalam kedamaian diri, tapi kedamaian yang juga menjembataninya pada Tuhan yang diimani.

***

Nek Ayu Manit (82) belajar tari Kain Kromong sejak berusia belasan tahun. Kini, saat kakinya tak sanggup lagi berjalan, perempuan yang mempunyai delapan cicit itu masih setia melestarikan seni tradisi asal Mandiangin Tuo, Jambi.

Ia memang tak sanggup lagi berdiri. Walakin, ia masih mengingat setiap detail dari tari Kain Kromong. Maklum saja, lebih dari 70 tahun ia bersetia menarikannya.

Tari Kain Kromong diperkirakan telah diperkenalkan sejak 1.800-an sebagai ritual untuk menangkap tirau, makhluk jadi-jadian yang hidup di dua alam. Dikisahkan tirau itu berupa gadis cantik yang terjebak di dunia manusia.

Memaknai konsistensi Nek Ayu Manit ini mengingatkan saya pada perkataan budayawan UU Hamidy, "Bila saya sebagai seorang budayawan meninggal dunia, maka siapa yang akan menggantikan saya? Tetapi bila seorang pejabat pemerintah yang meninggal dunia, seketika itu juga orang akan berebut untuk menggantikan posisinya.

***

Uang dan sihir masa depan acapkali menjadikan masing-masing manusia kita berlaku serba tergesa. Tidak peduli orang lain selain memenuhi hasrat diri sendiri untuk memiliki apa saja yang ditawarkan oleh kemutaakhiran. Kalkulasi untung-rugi jadi fitur hari-hari. Efektifitas dan efisiensi seolah rumus ekonomi yg membuat kita tak kuasa lagi mengakrabi senggang, lengang, dan lapang. Semua bergerak dengan begitu cepat dan sigap.

***

Mendiang Mahbub Junaidi selain dikenal jurnalis terkemuka adalah juga esais hebat. la dijuluki pendekar pena pada masanya. Karya-karyanya (Kolom di majalah Tempo era 1971-1985) dan Asal-Usul di Kompas era 1985-1995) banyak menempel di kepala generasi seangkatan dan setelahnya. la berhasil menulis topik berat dengan gaya bertutur yang lincah, karikatural dan kritik pedas tersampaikan dengan santai, jauh dari gebyah ubyah. Begitu juga kepiawaiannya membuat perumpamaan untuk menjelaskan fenomena sosial, politik, hukum, ekonomi dan budaya yang terjadi. Pada novel Dari Hari Ke Hari, saya kembali menemukan gaya berkisahnya yang lincah, penuh kelakar, menganggit soal revolusi dalam kacamata seorang anak tanggung yang polos sehingga peristiwa pertumpahan darah tidak mengudarkan kengerian, melainkan justru menggelikan. Sebuah sindiran halus bagi tokoh-tokoh politik pada masanya yang sibuk gontok-gontokan sesamanya ketimbang serius mengurusi bangsa dan negaranya. Novel karya Mahbub ini boleh dikata salah satu kawan terbaik selama dalam perjalanan saya dari Jambi menuju Kota Padang.

 

 *Kota Jambi, Mei 2024.

*Catatan Fragmen I sampai IX dapat diakses di link berikut ini:

0 Komentar