Jantung Malam di Jalan Braga

 

Jalan Braga Bandung

 

Oleh: Jumardi Putra*

Hari mulai gelap. Fisik terasa penat usai melewati perjalanan panjang dengan kereta cepat Whoos dari stasiun Halim Perdana Kusuma, Jakarta, ke Padalarang, Jawa Barat, dan dilanjutkan dengan kereta Feedar hingga berakhir di stasiun Bandung (23/5). Gocar yang membawa saya dan kawan-kawan dari stasiun Bandung ke Jalan Braga piawai memecah kecametan jalanan Ibu kota kembang ini. Lega rasanya, sehingga saya lekas rebahan setiba di hotel tempat saya menginap.

Selama tiga hari saya menginap di hotel Gino Feruci di jalan Braga. Ini kali pertama saya menginap di Kawasan yang terkenal sebagai pusat hiburan dan perbelanjaan di malam hari. Tak syak, dalam sejarahnya yang panjang, jalan Braga dijuluki sebagai De meest Eropeesche winkelstraat van Indie atau kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda. Benar saja, sepanjang jalan Braga kini masih berdiri bangunan-bangunan bersejarah, kafe, tempat hiburan karaoke, butik, galeri senirupa, dan restoran yang menciptakan suasana mirip dengan Paris, suatu tempat yang instagramable bagi para wisatawan yang sengaja datang ke kota berjuluk Paris van Java itu.

Pilihan tempat menginap kali ini memang berbeda dari biasanya ketika saya mengunjungi kota Bandung sebelum-sebelumnya, galibnya di hotel sekitar kawasan Gedung Sate dan bahkan kerapkali di jalan Asia Afrika. Tak dinyana, kunjungan saya ke Kota Bandung kali ini bertepatan genap 70 tahun usia penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tanggal 14 hingga 24 April 1955-24 April 2025), dimana Indonesia-di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno-saat itu memegang peran strateis sekaligus menandai tonggak solidaritas dan kerja sama antar negara-negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika. KAA berhasil memperkuat gerakan non-blok, menegaskan prinsip kedaulatan negara, dan mendorong perdamaian dunia dengan menolak kolonialisme dan neokolonialisme kala itu. “Saya tidak tahu pasti, apakah nilai sejarah itu masih diketahui oleh generasi sekarang yang saban hari, bahkan malam, memenuhi sepanjang jalan Asia Afrika,” batin saya.

Penulis di Jalan Braga, Bandung.

Di luar urusan kedinasan selama di Bandung, saya mengisi waktu dengan napak tilas ke rumah peninggalan Bung Karno bersama Inggit Garnasih, lalu ziarah ke Pusara Inggit Garnasih dan Dewi Sartika, berburu buku di salah satu pusat perbukuan Kota Bandung dan berakhir di Pasar Baru Heritage. Di sela itu, di bawah rinai hujan, selama tiga malam saya menyusuri jalan Braga hingga Asia Afrika, kadang sendiri, tapi kadang bersama sejawat kantor.

Keberadaan gedung-gedung dengan arsitektur Eropa zaman dahulu membuat kawasan Jalan Braga ini menjadi magnet bagi wisatawan tanah air maupun luar negeri. Buktinya, sepanjang jalannya dihiasi tempat komersial dan hiburan. Sebagai pusat kehidupan sosial dan ekonomi Bandung, jalan Braga memiliki kedudukannya tersendiri dalam perjalanan panjang sejarah Kota Bandung. Gedung-gedung indah seperti Hotel Savoy Homann, Grand Hotel Preanger, dan Gedung Merdeka menjadi saksi bisu kemegahan arsitektur pada masa itu.

Sepengamatan saya, jalan Braga yang dihiasi lampu-lampu temaram memberikan sentuhan romantis pada malam harinya. Wisatawan dapat menikmati jalan-jalan di trotoar yang ramai atau mencoba kuliner khas Bandung di restoran dan kafe yang kental dengan nuansa nostalgia. Perpaduan antara gemerlap masa lalu dan dinamika kehidupan modern, membuat Jalan Braga menjadi jantung kota Bandung yang menyimpan sejuta cerita maupun kenangan bagi mereka yang pernah menginjakkan kakinya di sini. Belum lagi deru kendaraan bermotor bersautan dengan lengking suara musisi jalanan yang bernyanyi untuk pengunjung di sudut-sudut emperan toko. Dari dalam sebuah bangunan, musisi kafe tak kalah apik. Dengan format alat musik yang lebih lengkap beserta pengeras suara, mereka membawakan lagu-lagu cinta untuk muda-mudi Bandung yang sedang jatuh cinta.

Sebagai warisan bersejarah yang hidup, Jalan Braga terus menjadi saksi bisu perkembangan kota dan tempat bagi para pengunjung untuk merasakan pesona nostalgia yang sulit dilupakan. Walakin, Bandung sebagai sebuah kota ternama, dengan segala julukan yang ditabalkan padanya, keberadaan para pengemis mudah saya jumpai di sepanjang jalan Braga. Terbesit di hati saya, “Apa di tengah semua ini?

 

*Kota Bandung, 26 April 2025.

*Catatan saya lainnya seputar Bandung dengan segala pernak-perniknya:

0 Komentar