ilustrasi. Anak-anak saat ramadan |
Oleh: Jumardi Putra*
“Mereka yang
punya kampung halaman adalah mereka yang pantas merayakan kenangan.” Begitu
seloroh saya disambut senyum tipis beberapa kawan.
Bisa jadi anggapan saya itu benar adanya, sekalipun di era “global village” sekarang kenangan tidak lagi murni tercipta hanya bersandar pada kampung halaman dalam makna teritorial seperti familiar kita kenal sebagai Desa, Kecamatan, Kabupaten hingga provinsi. Dengan kata lain, kesalingterhubungan antar warga di kampung global sekarang melampaui sekat-sekat tradisional-kultural sebuah wilayah yang dulu kita kenal jauh sebelum internet merubah semuanya seperti yang kita jalani sekarang.
Kenangan yang saya maksud di awal tulisan spesifik berkaitan dengan kebiasaan saya dan teman-teman sebaya saat masih di bangku sekolah dasar hingga menengah pertama yakni mengisi buku agenda kegiatan selama ramadan di Masjid Al Falah, Desa Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, berjarak hampir 30 kilometer dari pusat kota Kabupaten Bungo, Bumi Langkah Serentak Limbai Seayun.
Generasi
sebaya saya hampir dipastikan pernah berurusan dengan buku bertabur kesan sekaligus
cukup merepotkan itu. Disebut berkesan lantaran buku itu menyisakan jejak kenangan dan sintemental baik dengan guru agama di sekolah, penceramah dan
rekan-rekan sebaya serta jamaah shalat tarawih dan witir di masjid.
Kenangan
saya pada peristiwa demikian itu tetiba menyeruak saat menyaksikan sebagian
anak-anak di tempat saya tinggal sekarang di Kelurahan Beliung, Kota
Jambi, antusias membawa buku tersebut dan mengisi kolom-kolom di dalamnya. Setidaknya
hingga malam tarawih berjalan ke 16, bersama dua anak saya, Kaindra dan Renda, kami
masih menjumpai beberapa anak setia membawa buku tersebut ke masjid Al Amin.
Raut wajah anak-anak
itu kulihat menyiratkan kebingungan mencermati isi tausiah, gerak jemari
tampak gagap mencatat rangkuman tausiah seorang ustad yang kadang-kadang cepat
dan tak berpola (baik segi isi, intonasi maupun ekspresi), sementara di saat yang
sama teman-teman sebayanya mengajak bercanda. Sekalipun tidak persis, yang
terlihat oleh saya sekarang pernah saya alami hampir 30 tahun yang lalu di
kampung halaman.
Setidaknya,
berikut beberapa peristiwa yang saya anggap berkesan berhubungan dengan buku jadul tersebut. Mungkin saja ada gunanya, selain nostalgia.
Pertama,
buku itu mendisiplinkan saya mengikuti jalannya ibadah shalawat tarawih
berjamaah sekaligus mendengar tausiah ustad sampai selesai. Setiap masjid
mungkin berbeda-beda waktu pelaksanaan tausiah, ada yang dilakukan usai Isya
sebelum tarawih. Ada juga di sela tarawih dan witir. Durasi ceramahanya pun
bervariasi.
Mengisi buku
tersebut boleh dibilang cukup merepotkan. Apa sebab? Jika saya tidak mendengar
secara seksama, maka bisa dipastikan sulit bagi saya menulis ikhtisar ceramah
ustad ke dalam buku agenda ramadan. Betapa tidak, di saat kita ingin fokus
mendengar tausiah, ada saja kawan yang ngajak bercanda. Itu bahkan, tidak
hanya berlangsung saat tausiah, juga ketika shalat berlangsung.
Saya beruntung
memiliki orang tua yang mensiasati memisahkan saya dengan umumnya teman-teman seusia
saya ketika itu. Saya biasa mengambil shof
shalat di sela orang-orang dewasa. Strategi itu sedikit membantu saya agar
tidak terbawa riuh rendah teman-teman sebaya. Terkadang
jamaah dewasa mengingatkan anak-anak agar tidak membuat keributan di shaf belakang. Bahkan, tidak jarang ada
yang memarahi mereka.
Meskipun sudah
berulangkali diingatkan oleh pegawai syara’ dan tuo tengganai sebelum shalat dilaksanakan, anak-anak tetap saja bikin
ramai. Namun demikian, galibnya keinginan orang-orang dewasa shalat berjamaah di
masjid dengan tenang, tidak lantas dibenarkan melarang kehadiran anak-anak di masjid.
Mengingatkan anak-anak sebaya saya dengan
cara yang tepat dan penuh kelembutan sembari berharap kelak kamilah yang
memakmurkan masjid adalah pandangan sekaligus sikap yang diperlukan.
Kini,
sebagai orang tua saya merasakan langsung betapa dunia kami semasa kanak-kanak
dulu wajar adanya. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Bahkan, dua anak
lelaki saya sendiri, utamanya saat kami shalat berjamaah di rumah, terkadang mereka berdua masih bercandaan
di tengah shalat berlangsung. Begitulah, sekalipun demikian saya kerap
mengingatkan mereka dengan bahasa yang mudah dimengerti.
Kedua, sekalipun
merepotkan, mengisi buku kegiatan ramadan adalah juga tantangan. Saya dan
teman-teman sebaya begitu antusias di awal ketika penceramah menyebut tajuk ceramah.
Sebelum penceramah memulai tausiah, kami sudah menyiapkan buku dan pulpen di
atas sejadah masing-masing. Biasanya kami duduk bergerombolan di sesi tausiah. Kerapkali
antara kami saling mencotek isi buku, lebih-lebih saat tertinggal dari
penyampaian tausiah. Singkatnya, teman-teman sebaya yang lebih dulu kehilangan
fokus acapkali tak tahan ingin ngobrol, bermain dan bercanda, dan
bertanya-tanya isi kandungan tausiah.
Ketiga, imbas poin kedua itu, terkadang antara kami menyalin catatan teman atau senior ketika salat tarawih berjamaah sedang berlangsung. Namanya juga menyalin di sela waktu yang sempit, maka bisa dipastikan hasilnya jauh dari ideal, di sana-sana sini penuh coretan dan tidak memikirkan lagi keteraturan paragraf maupun spasi (untuk menyebut amburadul).
Berebutan tandatangan penceramah. sumber dok: kempek-online.com |
Keempat, bila shalat tarawih plus witir selesai dilaksanakan, saya bersama teman-teman berebut minta tanda tangan penceramah. Sang penceramah mendadak bak artis ternama yang dikerumuni para fansnya. Tidak jarang jamaah dewasa dibuat tersenyum melihat tingkah pola kami yang berebutan itu. Ketika itu, sang ustad tidak lantas menandatangani buku yang kami suguhkan kepadanya, melainkan bertanya-tanya terlebih dahulu hal-ihwal sepanjang shalat tarawih berjalan. Pada momen itu kerapkali seisi ruangan masjid menjadi ramai oleh suara anak-anak saling bersahutan.
Kelima, melihat
isi buku agenda kegiatan ramadan kami bermacam ragam, terutama karena disinyalir
saling contek, guru agama kerap menanyakan ulang isi tausiah yang kami ikuti di masjid. Terkadang kami berhasil menjawab, tetapi kali lain jawaban kami belum memuaskan
sang guru agama. Namun begitu, bapak guru agama bersikap melayani dan memberi nilai baik.
Jelas kami bahagia karenanya.
Keenam, kondisi
fisik buku agenda itu sendiri. Lantaran kerap dibawa setiap malam shalat tarawih
sepanjang ramadan, sehingga bentuk bukunya bermacam ragam pula. Kadang basah kena cipratan air saat kami wudhu
bersama-sama. Lebih-lebih kolam air tempat kami wudhu di Masjid Al-Falah Desa
Empelu itu berukuran besar, airnya jernih dan dipenuhi jamaah shalat. Kadang buku
tersebut sudah tidak berbentuk rapi seperti semula lantaran kerap digulung dan
dilipat, bersamaan jatuh dan terinjak saat bersendagurau dengan teman-teman
sebaya.
Demikian sekelumit pengalaman saya puluhan tahun yang lalu di pelosok dusun. Mungkin pengalaman tersebut juga dialami tuan dan puan semasa kecil dulu. Aktivitas mengisi buku agenda kegiatan ramadan memberi nilai positif karena membiasakan kami ikut shalat berjamaah di masjid dan mendengarkan tausiah, lebih-lebih di bulan ramadan, bulan di mana seluruh umat Islam sedunia melaksanakannya penuh sukacita disertai ibadah lainnya maupun ekpresi budaya lokal yang makin membuat bulan penuh berkah ini acapkali dirindukan kehadirannnya dan ditangisi saat kepergiannya saban tahun.
*Kota Jambi.
0 Komentar