![]() |
ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra*
Sebelum buku Bangsa Pelaut terbit pada Maret 2025, saya lebih dahulu berjumpa sang penulis sekaligus mendengarkan secara langsung gagasan di balik buku tersebut saat pertama kali disekapur-sirihkan sekitar tujuh tahun yang lalu, tepatnya 23 September 2018 di Candi Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi, lebih kurang berjarak 20 kilometer dari pusat Kota Jambi melalui jembatan Batanghari II.
Hanya
ketika itu, gagasan Wenri Wanhar tentang Bangsa Pelaut (bersama buku pasanganya
yaitu Sri Buddha)—menyibak sebuah peradaban unggul nun jauh di masa kelampauan—pertemuan
empat tali air dunia—titik pertemuan angin ditandai migrasi burung-burung
migran yang datang dari Alaska, China, Rusia dan sebagainya di pantai
Cemara—seraya merujuk beberapa sumber berita Arab menyebutkan seorang Maharaja
Sabak yang dihormati karena wilayah kekuasaan dan kekayaan berlimpah yang
dimilikinya—plus keramaian perairan yang masyhur pada masanya ditandai penemuan
perahu kuno Lambur yang menunjukkan kronologinya sekitar 770-1010 Masehi serta
adanya Gunung Berapi--yaitu adalah Sabak (Ibu Negeri Hindia) yang hari ini
diketahui termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tanjung Jabung
Timur-belum sepenuhnya terang benderang, untuk menyebut masih menimbulkan keraguan.[1]
Apatahlagi saat itu buku utuhnya juga belum terbit alias baru sebatas selayang
pandang seorang Wenri Wanhar.
Tidak
hanya itu, bahkan melalui dua buku yang dicanangkannya ketika itu, Wenri Wanhar
seolah menabuh genderang perang yaitu mengkritik produk pengetahuan sejarah di
kampus-kampus di tanah air maupun kurukulum pengetahuan yang dipelajari di
sekolah-sekolah, karena masih mewarisi cara pandang kolonial (untuk menyebut
Europe sentris) tentang sejarah Indonesia, termasuk penulisan sejarah lokal
dalam arus sejarah modern, terutama karena menafikan sumber-sumber lisan yang
hidup di tengah masyarakat. Wenri Wanhar dalam ta’limatnya kerap menyebut Bataviaasch Genootschap (kini menjelma
jadi Museum Nasional, Jakarta)—lembaga tempat berhimpunnya para ilmuwan kolonial-adalah
simbol sekaligus muasal tempat bagi beranak-pinaknya pengetahuan berbau
kolonial di republik ini.
Muncul pertanyaan, apakah kritik tersebut ia
ketengahkan melalui kehadiran buku Bangsa Pelaut? Sependek pembacaan saya, hal
itu belum terlihat secara jelas atau mungkin kontra-wacana itu baru akan dihidangkan
dalam buku Sri Buddha-yang diklaim berasal dari hasil pembacaan ulangnya
terhadap pelbagai literatur ilmuwan kolonial maupun bukti lapangan yang ia
temukan merespon laporan seputar prasasti-prasasti yang selama ini melegitimasi
keberadaan Kerajaan Sriwijaya, untuk menyebut salah satu contoh krusial, buah
dari produksi pengetahuan kolonial.
Dugaan saya hal itu bertolak dari gagasan
yang pernah ia ucapkan tujuh tahun yang lalu di Candi Kedaton dan sempat ia
singgung lagi saat musyawarah buku ini pada 29 Maret yang lalu. Bagi Wenri
Wanhar Sriwijaya bukanlah kerajaan, juga bukan nama seorang Raja. Kesimpulan
ini jelas berbeda dengan penemu teori kerajaan Sriwijaya selama ini seperti George Coedes lewat karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya (1918), Jean
Philippe Vogel membuat tulisan bertajuk Het
Koninkrijk Crivijaya (1871-1958), Nicolaas Johannes Krom dalam pidato
pengukuhannya sebagai Guru Besar di Universitas Leiden, Belanda, berjudul De Sumatraansche Periode der Javaansche
Geschiedenis (1883-1945), dan Gabriel Ferrand lewat bukunya berjudul L’Empire Sumatranais de Criwijaya
(1864-1935).[2]
Buku Bangsa Pelaut setebal 390 halaman ini
dibagi ke dalam tiga bagian yaitu Satu Babak Sejarah Sabak, Serat Dua Samudra,
dan Tuah Negara Ketiga. Meski ketiga bagian dalam buku ini saling terhubung
dalam konteks muatan gagasan sebagai negara kepulauan, sejatinya dua bagian
terakhir tidak terkait langsung dengan sejarah Sabak. Oleh karena itu, selain menaruh
perhatian pada bagian awal, karena Wenri berupaya membongkar fakta tentang
Sabak—yang diyakininya sebagai pusat peradaban Hindia Kuno di Muaro Sabak,
Jambi, saya juga menyinggung aspek lainnya terkait penulisan buku ini.
Sedari awal perlu saya tegaskan bahwa catatan ini merupakan pembacaan dari seorang penggila buku-buku (Bibliofil), bukan ahli sejarah dengan sekeranjang teori yang ndakik-ndakik. Mungkin saja catatan saya ini bisa menjadi pemantik bagi pikiran-pikiran kreatif selanjutnya, terutama kalangan akademisi UIN STS Jambi, untuk meneroka muatan dalam buku Bangsa Pelaut secara lebih mendalam.
![]() |
Buku Bangsa Pelaut Karya Wenri Wanhar |
Pertama, linimasa pengerjaan buku ini bersamaan dengan kerja-kerja intensif Seloko Institute—tempat saya bersama beberapa kawan lainnya di Jambi--yang lebih dahulu dan sedang berapi-api mengumpulkan pelbagai literatur Jambi yang terserak sejak 2012-sekarang, tak terkecuali menganggit kembali hal ihwal sejarah Jambi nun jauh di kelampauan, mulai dalam bentuk diskusi, seminar, workshop penulisan jurnal, penerbitan jurnal Seloko dan puncaknya penyelenggaraan Konferensi Internasional Studi Jambi (International Conference on Jambi Studies/ICJS) pada tanggal 23-25 November 2013.
Dalam masa itu, nama Wenri Wanhar sama sekali
belum terdengar kiprahnya meneliti dan menulis sejarah Jambi. Hal itu
terkonfirmasi setelah saya membaca riwayat penulisan buku ini dimulai 7 bulan
sebelum digelanggangkan di Candi Kedaton yaitu tepatnya bermula pada Januari[3]
dan berlanjut secara intensif Februari 2018 ditemani beberapa jurnalis di Jambi
dan sumber informan lokal sesuai wilayah penelusurannya di beberapa lokasi baik
di Tanjung Jabung Timur, Kerinci dan Sumatera Barat hingga September di tahun
yang sama dan bahkan terus berlanjut dengan segala dinamikanya pada tahun 2023
(halaman 86, paragraf ketiga, meski akhirnya buku itu terbit dua tahun
setelahnya yaitu Maret 2025—dengan segala cerita kerap tak terduga
membersamainya).
Linimasa ini sengaja saya ketengahkan untuk
menunjukkan kontribusi Wenri Wanhar pada lapangan “Jambi Studies” dalam rentang
7 tahun terakhir (2018-2025). Nah, pada masa yang sama, kita bisa mencermati
buku atau hasil penelitian apa saja tentang Jambi yang muncul baik berasal dari
kampus maupun di luarnya? Ini tugas kita semua untuk melacak pelbagai literatur
yang terserak dan mengumpulkannya ke dalam satu pangkalan data "Jambi
Studies" atau apapun istilah lainnya, sehingga bisa diakses dengan mudah
oleh publik Jambi khususnya.[4]
Weni Wanhar boleh dikata wajah baru di
lapangan “Jambi Studies” (istilah yang dipakai oleh Seloko Institute untuk menerangkan kerja intelektual orang per
orang yang bertolak dari penelitian tentang Jambi, sejarah dan budaya adalah
salah duanya), tetapi putra kelahiran Kerinci ini adalah jurnalis yang telah
menulis sejarah melalui buku Pasukan M (2012),
satu di antara tiga buku lainnya yaitu Gedoran Depok, Jejak Intel
Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi,
dan Semangat Sirnagalih. Bahkan, ia juga merambah ke dalam sastra melalui
debut novel perdananya berjudul Lelaki di Tengah Hujan (Milleston, 2019)
Kedua, reportase
sejarah sangat mewarnai buku ini. Dengan kata lain, buku ini ditulis
menggunakan pendekatan jurnalistik yaitu menyajikan
fakta dan interpretasi tentang peristiwa sejarah, memberikan konteks dan makna
dari peristiwa tersebut, serta menginspirasi pemahaman yang lebih mendalam
tentang sejarah yang melingkupinya. Metode penulisan yang dipakai Wenri
dalam buku ini mengingatkan saya pada Historia:
sebuah portal media online yang
memuat sejarah populer (sebelumnya pernah terbit dalam bentuk edisi cetak
majalah)—sebuah pilihan media yang menggawangi gagasan "sejarah
publik"-ditulis secara populer--mengisi celah kosong yang abai dikerjakan
oleh para sejarahwan di kampus. Bukan kebetulan, Wenri Wanhar pernah bekerja di
media ternama itu. Menurut Bonnie Triyana, salah satu founder Historia mengatakan bahwa pilihan memuat tulisan-tulisan
sejarah dalam bentuk populer adalah upaya membangun jembatan bagi pembaca agar
lebih dekat dan mencintai sejarah-dengan harapan kelak tertarik menekuni studi
sejarah lebih serius.[5]
Ketiga, karena ditulis menggunakan pendekatan
jurnalistik, maka gaya tulisan dalam buku ini renyah dan mengalir, jauh dari
kesan kaku seperti buku-buku diktat sejarah di kampus ataupun tulisan sejarah
yang dimuat dalam jurnal dan makalah. Setelah membaca buku ini saya mendapati
sebuah keadaan yakni apa yang dituliskan oleh Wenri Wanhar, itu pulalah yang
dilisankannya saat menjelaskan isi buku ini kepada khalayak dalam sebuah forum
diskusi, seperti saya saksikan sendiri saat musyawarah buku Bangsa Pelaut belum
lama ini, 29 Maret 2025. Wenri seperti sedang berkisah tentang suatu masa
ketika sungai dan lautan menjadi jalan raya dan gelanggang kehidupan bagi orang
Sabak nun jauh di kelampauan. Tak syak, orang-orang yang notabene bukan dari
latar belakang akademisi (jauh dari tradisi berpikir kritis), mudah terbawa hanyut
dalam dongeng yang ia tuturkan dengan apik.
Kendati terasa serba tanggung lantaran
pilihan medium untuk membentangkan gagasan sejarah tentang Sabak berdasarkan
hasil reportase, pembaca akan mudah menjumpai narasi-narasi yang menyentuh hati
dalam buku ini seperti halnya membaca esai-esai sejarah, catatan perjalanan
(travel journalism) dan karya sastra berupa novel atau cerita pendek. Sebagai
pembaca esai populer dan karya sastra saya bisa memahami hal itu, meski saat
yang sama terbesit di pikiran yaitu jangan pula strategi penulisan demikian itu
malah menggiring pembaca keluar dari substansi gagasan dari buku ini, lantaran
terbawa arus oleh sihir kata-kata maupun kalimat yang dibumbui hiperbola
laiknya sebuah karya novel fiksi, seperti saya temukan penggalan kalimat
berikut ini:
“…..obrolan
langit tak bertiang dan bumi yang tak terbatas mengalir begitu saja melewati
rindu dalam pertemuan di “kota yang tidak biasa”.
Belum lagi, pemuatan laman Mulaksara (mantra)
yang ditulis atau setidaknya perlu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sehingga hal
ini membuat tanda tanya, kalau bukan membingungkan bagi pembaca dari latar
belakang non sejarah atau bahasa (hal xx).[6]
Begitu juga saya menemukan dugaan sang penulis tidak berdasar menyikapi
informasi dari tokoh bernama Bang Jamal yang mengatakan suatu waktu pernah ada
patung gajah di sini (Sungai Air Hitam dalam kawasan Taman Nasional Berbak).
“Apakah yang dimaksud Arca Ganesha? Entahlah!” begitu tulis Wenri (baca hal:
58), yang bisa dikategorikan sikap menggantung--sesuatu yang sebenarnya sedari
awal tidak perlu dimasukkan ke dalam buku.
Keempat, selain nekad, Wenri Wanhar juga
sungguh-sungguh menyusuri banyak tempat yang belum pernah ia kunjungi
sebelumnya. Ia tidak hanya mengandalkan literatur klasik dan laporan arkeologi
(meski dalam pandangan saya masih minim), Wenri juga menelusuri secara langsung
tapak-tapak peradaban di sekitar Muaro Sabak hingga Muaro Jambi dengan cara
yang khas, kalau bukan unik.
Keuletannya di lapangan perlu menjadi contoh
bagi para peneliti kampus. Selain berhari-hari, siang-malam-masuk ke luar hutan
guna menjumpai orang-orang yang diharapkan bisa membantunya menyibak sejarah
tentang Sabak nun jauh di masa kelampauan--kurun waktu yang terpaut amat jauh
dari penulis sendiri. Berdasarkan hasil penelusuran itu, Wenri mencatat
sedetail mungkin, meski pada beberapa bagian juga tidak diceritakan secara
memadai. Saat yang sama, ia memasukkan narasi-narasi bersifat deskriptif selama
di lapangan yang tidak selalu berhubungan langsung dengan gagasan dalam buku
yang dituliskannya, seperti menerangkan momen perpindahan dari satu lokasi ke lokasi
yang lain, yang secara waktu berjarak cukup jauh untuk aktivitas yang berbeda.
Ringkasnya, hal-hal irrelevan dengan substansi pokok tulisan dalam buku
mestinya disunting sedari awal.
Kelima, bukti pendukung hasil penelaahan
Wenri Wanhar tentang Sabak yang saat ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Tanjung Jabung Timur (pemekaran dari Kabupaten Tanjung Jabung era 1990an)
adalah Sabak (juga bernama Sri Buddha)—sebuah negeri paling masyhur di dunia berdasarkan
sumber berita Arab (berdasarkan sekian dialek, ketika dibunyikan menjadi Zabaj, Zabadj, Zabedj, Zabdj, Zapetch,
Zabag, Zabak, Sabah, Sabak) seperti Sulaiman al Tajjir al-Sirafi pada 851
Masehi menerbitkan catatan hariannya berjudul Rihlah As-Sirafy. Penggambarannya tentang letak atau posisi Negeri
Sabak, keberadaan Gunung Berapi, Maharaja Sabak memerintah beberapa pulau,
posisi Istana Raja Sabak, dan hubungan Raja Sabak dengan Raja Khmer (Kamboja) bisa dibaca lebih lanjut pada halaman 4
sampai 6, lalu merujuk catatan Abu Hasan Al-Mas’udi (896-956 Masehi), yang
dikenal sebagai ahli geografi. Ternyata ia berkawan dengan Abu Zayd Hasan (ahli
bumi yang aktif menulis pada 916 M, sang pengembara yang juga menulis cerita
Maharaja Sabak). Dalam teks berjudul Muruj
Adz-Dzahab wa Ma’adin Al-Jawahir merekam kisah Maraja Sabak dan Raja Muda
Khmer (baca halaman 7-10).
Selanjutnya, Wenri juga merujuk
catatan Abu Ali Ahmad bin Umar bin Rusta, ilmuwan muslim akhir abad ketiga
hijriah atau awal abad ke 10 Masehi, yang karya-karyanya diakui sebagai
ensklopedia singkat tentang sejarah dan geografi, salah satunya yang melaporkan
perihal Maharaja Sabak termuat di dalam kitab Al-Alaq An-Nafisa yang ditulis
antara tahun 903-913 Masehi (baca lebih lanjut nukilannya pada hal: 12)[7],
kitab al-Djughrafoyah karya Ibnu Said
al-Maghribi--satu diantara bapak Geografi--dimana melalui karya tersebut Wenri
Wanhar menyimpulkan bahwa Sribuza selaku Ibukota Sabak tepat dibaca Sri Buddha
(baca pertimbangannya pada halaman 13-14) dan secuil narasi tentang Sabak yang
dilansir dari karya al-Idrisi pada 1154 Masehi berjudul Nuzhatul al-Mushtag, dalam latin menjadi Opus Geographicum, diterjemahkan menjadi Hiburan untuk Manusia Yang Rindu Mengembara Ke Tempat-Tempat Jauh,
dimana di dalamnya menyebutkan Muaro Sabak adalah kampung Cina, dan memang
terdapat jejak ama orang Cina di Sabak nun jauh di masa kelampauan. Menurut
Wenri, satu di antaranya makam-makam tua di Bukit Naga Ukir hingga abad 21 ini
masih diziarahi orang Cina entah dari mana-mana (hal: 15).
Selain sumber berita Arab di atas,
Wenri juga memakai laporan hasil eskavasi perahu kuno situs Lambur yang
dilakukan oleh arkeolog Agus Widiatmoko cs dari Balai Pelestarian
Cagar Budaya (BPCB) tahun 1995, jauh sebelum arkeolog Ali Akbar melakukan penggalian
terhadap subjek yang sama pada tahun 2019. Pada bagian ini Wenri mencatat cukup
detail hal ihwal penelusuran lapangannya, terutama perjumpaan dengan penemu
papan perahu kuno di Lambur hingga usahanya meramu pelbagai informasi yang ia
dapatkan dari orang-orang tua di kampung baik di Sumatera Barat (hal 61-63),
Batanghari (hal 77-79), Kampar-Riau (hal 79-80) dan bahkan termasuk
gambar-gambar perahu kuno yang hadir dalam mimpi-mimpi Guru Darta, dan juga
hasil pembacaannya terhadap naskah berjudul Silsilah
Raja-raja Jambi, Undang-Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jawa, sehingga
atas dasar itu Wenri Wanhar memecah teka-teki sekaligus berkesimpulan perahu
kuno tersebut adalah Kapal Pincalang, yang juga disebut Pencalang.[8]
Hal menarik lainnya adalah penelusuran Wenri
Wanhar memastikan keberadaan Gunung Berapi seperti disebutkan dalam berita Arab
tersebut di atas. Selain ia masuk ke luar hutan di Air laut Hitam, ia juga
menyaksikan langsung ladang batu andesit di Muaro Sabak, yang pernah diteliti
oleh para ilmuwan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, seperti saya
sertakan nukilan Wenri berikut ini:
"Waktu itu kami bekerjasama dengan
Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung. Saya tidak ingat pasti itu tahun berapa.
Saya kira arsip laporan penelitiannya masih ada di Tungkal, yang pada waktu itu
ibukota Kabupaten Tanjung Jabung. Sekitar 1990-an-lah, saya tak ingat pasti
tahunnya. Yang pasti, berdasarkan hasil peneliian itu, di Sabak pada zaman
dahulu kala memang ada gunung berapi," begitu kata Akmaluddin, anak
Kerinci yang berkhidmat di UGM, melalui sambungan telepon usai dikonfirmasi
oleh Wenri Wanhar.
Nukilan hasil penelitian tersebut
sangat singkat (untuk menyebut kurang memadai), sehingga menimbulkan tanda
tanya, kalau bukan keraguan. Kendati begitu, Wenri menulis dalam bukunya
sebagai berikut “Nah, penelitian para akademisi UGM tadi berhasil memastikan
bahwa pada masa lampau di Tanjung Jabung-ujung tanah Jambi yang bersentuhan
dengan Selat Malaka--tepatnya di Muaro Sabak pernah ada gunung berapi (Hal 85).
Selanjutnya, Wenri mengajak pembaca
membayangkan, kira-kira apa yang terjadi ketika gunung berapi di ujung pulau
tepi laut meletus. Dan pecah! Logika sederhana, gunung meletus biasanya
disertai gempa. Dan teori orang sekolahan, gempa yang bersumber di laut dengan
kekuatan 7 sr, pasti menimbulkan tsunami. Nah, Gunung Sabak tidak hanya
meletus, tapi pecah. Lokasinya di tepi laut pula. Sebesar apa kira-kira gempa
bumi saat itu? Dan sedahsyat apa tsunaminya?
Menyadari hal itu tidak mudah untuk
menjelaskannya, Wenri mengakui tentang letusan, bahkan pecahnya gunung berapi
di Sabak, hingga buku ini diterbitkan belum ditemukan catatan tertulis
sezaman yang merekam peristiwa itu. Walakin Wenri tetap berupaya membaca
terjemahan Pustaka Raja Parwa, dimana Pararaton ketika menggambarkan letusan
Gunung Batuwara berkata, "Suara guntur menggelegar. Goncangan bum
menakutkan. Petir dan kilat bersahutan. Kemudian datanglah badai angin dan
hujan yang mengerikan, hingga menggelapkan dunia. Banjir besar datang dari
Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula (hal 85-86).
Masih dalam satu tarikan nafas, Wenri menukil
cerita letusan Gunung Thera antara abad 17-16 sebelum masehi yang menyebabkan
tsunami besar yang diduga menghancurkan peradaban Minoa di sekitar pulau Kreta,
Yunani (hal 86).
Puncaknya, seperti ditulis Wenri, hari-hari
berikutnya negeri itu menyuguhkan cerita semenjak Gunung Sabak pecah, sebagian
negeri tergenang air, lama kelamaan menjadi lahan gambut. Muncullah Siloka adat
orang hulu-yang dalam bahasa Wenri Wanhar adalah kode yaitu dahulu kala pernah
ada zaman; "katiko ayia basintak naik,
bumi basintak turun (ketika air bersentak naik, bumi bersentak
turun)". Negeri runtuh. Selapis peradaban tenggelam. Begitu Wenri tangkas
menuliskannya.
Perubahan menyeluruh merunut peristiwa alam
nun jauh di kelampauan di Sabak tidaklah mudah menemukan tapak-tapaknya kini, terlebih
bila bergantung sepenuhnya pada informasi penduduk setempat yang notabene
berasal dari kelompok tranmigrasi (datang dari daerah luar) dan bahkan
berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Oleh karena itu, selain mengubak
sumber-sumber berita Arab, temuan batu andesit baik di Muara Sabak Barat (Kelurahan Parit Culum) dan
di Situs Siti Hawa, keberadaan Gunung
Sabak masih diliputi tanda tanya, sehingga perlu mendapat pertimbangan para ahli, terutama beberapa disiplin keilmuan meliputi geologi, geomorfologi,
vulkanologi, klimatologi, meteorologi, hidrologi, dan ilmu lingkungan.
Demikian pembacaan saya atas buku Bangsa
Pelaut karya Wenri Wanhar yang diakui olehnya sendiri merupakan senarai tentang
Sabak--suatu masa nan gemilang nun jauh di masa kelampauan—seraya menyadari keterbatasannya
dalam sulaman kalimat indah berikut ini:
“Berjalan
lah sampai ke batas, berlayar lah sampai ke pulau. Bak siloka di Tanah Datuk,
ilmu sedikit pikiran singkat. Pendek tangan rendah menjangkau. Pendek kaki
dekat melangkah. Sementara rotan belum ada, gunakan akar. Sambil menanti elang
datang, biarlah bubut yang menari. Menjelang tiba orang pandai, baru sejumput
ini cerita yang didapat”. Itu artinya, buku ini diharapkan menjadi
pintu masuk bagi para akademisi maupun peneliti untuk mengkajinya lebih lanjut.
Memungkasi catatan ini, saya mengucapkan
selamat atas terbitnya buku Bangsa Pelaut ini, karena kehadirannya mengingatkan
kembali identitas kita, akar budaya kita, dan sejarah kita sebagai satu bangsa
yang hidup di perairan Kepulauan Indonesia. Kendati sulit menyangkal betapa lemahnya
kebijakan negara saat ini mengurusi maritim dari aspek infrastruktur, politik,
sosial-budaya, hukum, keamanan, dan ekonomi.
*Tulisan ini disampaikan pada acara Bedah Buku Bangsa Pelaut karya Wenri Wanhar (Keselatan, Maret 2025) yang diselenggarakan LPPM UIN STS Jambi pada Senin, 5 Mei 2025.
*Catatan kaki:
1. Teringat kalimat lengkap dari filusuf Rene Descrates yaitu “Dubito, ergo cogito, ergo sum" (Saya ragu, maka saya berpikir, maka saya ada).
2. Karya
Wenri Wanhar berjudul Sri Buddha (pasangan
dari Bangsa Pelaut) tentu sangat
dinanti kehadirannya, karena belum ada sarjana di Indonesia yang berhasil
menyanggah temuan para ahli ternama tentang Kerajaan Sriwijaya yang sampai saat
ini masih menjadi rujukan para sarjana dalam kurun waktu yang panjang.
3. Januari 2018 Wenri Wanhar bersama dua sahabatnya yaitu Budi dan Hen naik ke
puncak Gunung Kerinci, juga disebut puncak Swanradvipa
dan puncak Indra Pura. Demikian itu jejak alam raya membawanya menyusuri sejarah
Jambi (dalam hal ini tentang Sabak) setelah sebelumnya lama melanglang di pulau
Jawa dengan segala aktivitas dan karya tulis yang telah ditorehkan sebelumnya
(baca hal 68-69). Dalam bahasa Wenri Wanhar, alam raya (Angin Tualang) dengan
caranya sendiri mempertemukannya dengan banyak orang di pelbagai tempat,
sehingga mempermudah dirinya menuntaskan buku ini hingga sampai di hadapan
pembaca. Pola kerja demikian itu memuat kesan “mistis”, kalau bukan dorongan
spiritual. Dan, ini pula yang menjadi khas seorang Wenri Wanhar.
4. Upaya semacam itu tentu perlu disokong banyak
pihak, terutama kampus atau pusat kajian, seperti telah dirintis oleh pengelola
kanal: www.jambistudies.blogspot.com.
Begitu juga portal www.kajanglako.com
pernah secara rutin menerbitkan terjemahan serial "Midden Sumatra
Expedition" atau Ekspedisi Sumatera Tengah, sebuah ekspedisi ilmiah yang
dilakukan menjelajahi Minangkabau, Jambi, dan Sumatra Selatan pada tahun
1877-1879. Ekspedisi ini dilaksanakan oleh sebuah tim yang terdiri dari Arend
Ludolf van Hasselt, Daniël David Veth, Johannes François Snelleman, serta
Johannes Schouw Santvoort, dengan ditemani pendamping lokal.
5. Cerita di Balik Historia, Media Sejarah Populer Pertama di Indonesia, bisa dibaca lebih lanjut melalui link berikut ini: https://www.jumardiputra.com/2020/03/cerita-di-balik-historia-majalah.html
6. Jika hal itu dirasa penting oleh penulis, bisa
diantisipasi dengan menyertakan terjemahan agar pesannya benar-benar sampai ke sidang
pembaca.
7. "Tak ada raja di India yang lebih besar dibanding Raja Sabak. Tak ada yang
lebih kaya dan berkuasa dibanding raja itu. Raja besar Sabak disebut orang
Maharaja. Artinya raja daripada raja-raja," tulis Abu Ali Ahmad bin Umar
bin Rusta dalam Al Alaq an Nafisa,
pada rentang 903-913 M. (Hal. 12 buku Bangsa Pelaut.)
8. Pencalang adalah kapal dagang tradisional dari Nusantara Dalam sejarah ia disebut sebagai pantchiallang ata pantjalang. Pada awalnya, kapal jenis ini dibuat oleh orang orang Melayu, tetapi telah ditiru oleh pembuat kapal Jawa, tulis Liebner, Horst H dalam Perahu-Perahu Tradisional Nusantara, Jakarta (2002).
0 Komentar