Membaca Bangsa Pelaut: Membuka Tabir Sejarah Sabak

ilustrasi


Oleh: Jumardi Putra*

Sebelum buku Bangsa Pelaut terbit pada Maret 2025, saya lebih dahulu berjumpa sang penulis sekaligus mendengarkan secara langsung gagasan di balik buku tersebut saat pertama kali disekapur-sirihkan sekitar tujuh tahun yang lalu, tepatnya 23 September 2018 di Candi Kedaton, Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muaro Jambi, lebih kurang berjarak 20 kilometer dari pusat Kota Jambi melalui jembatan Batanghari II.   

Hanya ketika itu, gagasan Wenri Wanhar tentang Bangsa Pelaut (bersama buku pasanganya yaitu Sri Buddha)—menyibak sebuah peradaban unggul nun jauh di masa kelampauan—pertemuan empat tali air dunia—titik pertemuan angin ditandai migrasi burung-burung migran yang datang dari Alaska, China, Rusia dan sebagainya di pantai Cemara—seraya merujuk beberapa sumber berita Arab menyebutkan seorang Maharaja Sabak yang dihormati karena wilayah kekuasaan dan kekayaan berlimpah yang dimilikinya—plus keramaian perairan yang masyhur pada masanya ditandai penemuan perahu kuno Lambur yang menunjukkan kronologinya sekitar 770-1010 Masehi serta adanya Gunung Berapi--yaitu adalah Sabak (Ibu Negeri Hindia) yang hari ini diketahui termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur-belum sepenuhnya terang benderang, untuk menyebut masih menimbulkan keraguan.[1] Apatahlagi saat itu buku utuhnya juga belum terbit alias baru sebatas selayang pandang seorang Wenri Wanhar.

Tidak hanya itu, bahkan melalui dua buku yang dicanangkannya ketika itu, Wenri Wanhar seolah menabuh genderang perang yaitu mengkritik produk pengetahuan sejarah di kampus-kampus di tanah air maupun kurukulum pengetahuan yang dipelajari di sekolah-sekolah, karena masih mewarisi cara pandang kolonial (untuk menyebut Europe sentris) tentang sejarah Indonesia, termasuk penulisan sejarah lokal dalam arus sejarah modern, terutama karena menafikan sumber-sumber lisan yang hidup di tengah masyarakat. Wenri Wanhar dalam ta’limatnya kerap menyebut Bataviaasch Genootschap (kini menjelma jadi Museum Nasional, Jakarta)—lembaga tempat berhimpunnya para ilmuwan kolonial-adalah simbol sekaligus muasal tempat bagi beranak-pinaknya pengetahuan berbau kolonial di republik ini.   

Muncul pertanyaan, apakah kritik tersebut ia ketengahkan melalui kehadiran buku Bangsa Pelaut? Sependek pembacaan saya, hal itu belum terlihat secara jelas atau mungkin kontra-wacana itu baru akan dihidangkan dalam buku Sri Buddha-yang diklaim berasal dari hasil pembacaan ulangnya terhadap pelbagai literatur ilmuwan kolonial maupun bukti lapangan yang ia temukan merespon laporan seputar prasasti-prasasti yang selama ini melegitimasi keberadaan Kerajaan Sriwijaya, untuk menyebut salah satu contoh krusial, buah dari produksi pengetahuan kolonial.

Dugaan saya hal itu bertolak dari gagasan yang pernah ia ucapkan tujuh tahun yang lalu di Candi Kedaton dan sempat ia singgung lagi saat musyawarah buku ini pada 29 Maret yang lalu. Bagi Wenri Wanhar Sriwijaya bukanlah kerajaan, juga bukan nama seorang Raja. Kesimpulan ini jelas berbeda dengan penemu teori kerajaan Sriwijaya selama ini seperti George Coedes lewat karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya (1918), Jean Philippe Vogel membuat tulisan bertajuk Het Koninkrijk Crivijaya (1871-1958), Nicolaas Johannes Krom dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di Universitas Leiden, Belanda, berjudul De Sumatraansche Periode der Javaansche Geschiedenis (1883-1945), dan Gabriel Ferrand lewat bukunya berjudul L’Empire Sumatranais de Criwijaya (1864-1935).[2]

Buku Bangsa Pelaut setebal 390 halaman ini dibagi ke dalam tiga bagian yaitu Satu Babak Sejarah Sabak, Serat Dua Samudra, dan Tuah Negara Ketiga. Meski ketiga bagian dalam buku ini saling terhubung dalam konteks muatan gagasan sebagai negara kepulauan, sejatinya dua bagian terakhir tidak terkait langsung dengan sejarah Sabak. Oleh karena itu, selain menaruh perhatian pada bagian awal, karena Wenri berupaya membongkar fakta tentang Sabak—yang diyakininya sebagai pusat peradaban Hindia Kuno di Muaro Sabak, Jambi, saya juga menyinggung aspek lainnya terkait penulisan buku ini.

Sedari awal perlu saya tegaskan bahwa catatan ini merupakan pembacaan dari seorang penggila buku-buku (Bibliofil), bukan ahli sejarah dengan sekeranjang teori yang ndakik-ndakik. Mungkin saja catatan saya ini bisa menjadi pemantik bagi pikiran-pikiran kreatif selanjutnya, terutama kalangan akademisi UIN STS Jambi, untuk meneroka muatan dalam buku Bangsa Pelaut secara lebih mendalam.

Buku Bangsa Pelaut Karya Wenri Wanhar

Pertama, linimasa pengerjaan buku ini bersamaan dengan kerja-kerja intensif Seloko Institute—tempat saya bersama beberapa kawan lainnya di Jambi--yang lebih dahulu dan sedang berapi-api mengumpulkan pelbagai literatur Jambi yang terserak sejak 2012-sekarang, tak terkecuali menganggit kembali hal ihwal sejarah Jambi nun jauh di kelampauan, mulai dalam bentuk diskusi, seminar, workshop penulisan jurnal, penerbitan jurnal Seloko dan puncaknya penyelenggaraan Konferensi Internasional Studi Jambi (International Conference on Jambi Studies/ICJS) pada tanggal 23-25 November 2013.

Dalam masa itu, nama Wenri Wanhar sama sekali belum terdengar kiprahnya meneliti dan menulis sejarah Jambi. Hal itu terkonfirmasi setelah saya membaca riwayat penulisan buku ini dimulai 7 bulan sebelum digelanggangkan di Candi Kedaton yaitu tepatnya bermula pada Januari[3] dan berlanjut secara intensif Februari 2018 ditemani beberapa jurnalis di Jambi dan sumber informan lokal sesuai wilayah penelusurannya di beberapa lokasi baik di Tanjung Jabung Timur, Kerinci dan Sumatera Barat hingga September di tahun yang sama dan bahkan terus berlanjut dengan segala dinamikanya pada tahun 2023 (halaman 86, paragraf ketiga, meski akhirnya buku itu terbit dua tahun setelahnya yaitu Maret 2025—dengan segala cerita kerap tak terduga membersamainya).

Linimasa ini sengaja saya ketengahkan untuk menunjukkan kontribusi Wenri Wanhar pada lapangan “Jambi Studies” dalam rentang 7 tahun terakhir (2018-2025). Nah, pada masa yang sama, kita bisa mencermati buku atau hasil penelitian apa saja tentang Jambi yang muncul baik berasal dari kampus maupun di luarnya? Ini tugas kita semua untuk melacak pelbagai literatur yang terserak dan mengumpulkannya ke dalam satu pangkalan data "Jambi Studies" atau apapun istilah lainnya, sehingga bisa diakses dengan mudah oleh publik Jambi khususnya.[4]

Weni Wanhar boleh dikata wajah baru di lapangan “Jambi Studies” (istilah yang dipakai oleh Seloko Institute untuk menerangkan kerja intelektual orang per orang yang bertolak dari penelitian tentang Jambi, sejarah dan budaya adalah salah duanya), tetapi putra kelahiran Kerinci ini adalah jurnalis yang telah menulis sejarah melalui buku Pasukan M (2012), satu di antara tiga buku lainnya yaitu Gedoran Depok, Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi, dan Semangat Sirnagalih. Bahkan, ia juga merambah ke dalam sastra melalui debut novel perdananya berjudul Lelaki di Tengah Hujan (Milleston, 2019)

Kedua, reportase sejarah sangat mewarnai buku ini. Dengan kata lain, buku ini ditulis menggunakan pendekatan jurnalistik yaitu menyajikan fakta dan interpretasi tentang peristiwa sejarah, memberikan konteks dan makna dari peristiwa tersebut, serta menginspirasi pemahaman yang lebih mendalam tentang sejarah yang melingkupinya. Metode penulisan yang dipakai Wenri dalam buku ini mengingatkan saya pada Historia: sebuah portal media online yang memuat sejarah populer (sebelumnya pernah terbit dalam bentuk edisi cetak majalah)—sebuah pilihan media yang menggawangi gagasan "sejarah publik"-ditulis secara populer--mengisi celah kosong yang abai dikerjakan oleh para sejarahwan di kampus. Bukan kebetulan, Wenri Wanhar pernah bekerja di media ternama itu. Menurut Bonnie Triyana, salah satu founder Historia mengatakan bahwa pilihan memuat tulisan-tulisan sejarah dalam bentuk populer adalah upaya membangun jembatan bagi pembaca agar lebih dekat dan mencintai sejarah-dengan harapan kelak tertarik menekuni studi sejarah lebih serius.[5]

Ketiga, karena ditulis menggunakan pendekatan jurnalistik, maka gaya tulisan dalam buku ini renyah dan mengalir, jauh dari kesan kaku seperti buku-buku diktat sejarah di kampus ataupun tulisan sejarah yang dimuat dalam jurnal dan makalah. Setelah membaca buku ini saya mendapati sebuah keadaan yakni apa yang dituliskan oleh Wenri Wanhar, itu pulalah yang dilisankannya saat menjelaskan isi buku ini kepada khalayak dalam sebuah forum diskusi, seperti saya saksikan sendiri saat musyawarah buku Bangsa Pelaut belum lama ini, 29 Maret 2025. Wenri seperti sedang berkisah tentang suatu masa ketika sungai dan lautan menjadi jalan raya dan gelanggang kehidupan bagi orang Sabak nun jauh di kelampauan. Tak syak, orang-orang yang notabene bukan dari latar belakang akademisi (jauh dari tradisi berpikir kritis), mudah terbawa hanyut dalam dongeng yang ia tuturkan dengan apik.

Kendati terasa serba tanggung lantaran pilihan medium untuk membentangkan gagasan sejarah tentang Sabak berdasarkan hasil reportase, pembaca akan mudah menjumpai narasi-narasi yang menyentuh hati dalam buku ini seperti halnya membaca esai-esai sejarah, catatan perjalanan (travel journalism) dan karya sastra berupa novel atau cerita pendek. Sebagai pembaca esai populer dan karya sastra saya bisa memahami hal itu, meski saat yang sama terbesit di pikiran yaitu jangan pula strategi penulisan demikian itu malah menggiring pembaca keluar dari substansi gagasan dari buku ini, lantaran terbawa arus oleh sihir kata-kata maupun kalimat yang dibumbui hiperbola laiknya sebuah karya novel fiksi, seperti saya temukan penggalan kalimat berikut ini:

“…..obrolan langit tak bertiang dan bumi yang tak terbatas mengalir begitu saja melewati rindu dalam pertemuan di “kota yang tidak biasa”.

Belum lagi, pemuatan laman Mulaksara (mantra) yang ditulis atau setidaknya  perlu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sehingga hal ini membuat tanda tanya, kalau bukan membingungkan bagi pembaca dari latar belakang non sejarah atau bahasa (hal xx).[6] Begitu juga saya menemukan dugaan sang penulis tidak berdasar menyikapi informasi dari tokoh bernama Bang Jamal yang mengatakan suatu waktu pernah ada patung gajah di sini (Sungai Air Hitam dalam kawasan Taman Nasional Berbak). “Apakah yang dimaksud Arca Ganesha? Entahlah!” begitu tulis Wenri (baca hal: 58), yang bisa dikategorikan sikap menggantung--sesuatu yang sebenarnya sedari awal tidak perlu dimasukkan ke dalam buku.   

Keempat, selain nekad, Wenri Wanhar juga sungguh-sungguh menyusuri banyak tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Ia tidak hanya mengandalkan literatur klasik dan laporan arkeologi (meski dalam pandangan saya masih minim), Wenri juga menelusuri secara langsung tapak-tapak peradaban di sekitar Muaro Sabak hingga Muaro Jambi dengan cara yang khas, kalau bukan unik.

Keuletannya di lapangan perlu menjadi contoh bagi para peneliti kampus. Selain berhari-hari, siang-malam-masuk ke luar hutan guna menjumpai orang-orang yang diharapkan bisa membantunya menyibak sejarah tentang Sabak nun jauh di masa kelampauan--kurun waktu yang terpaut amat jauh dari penulis sendiri. Berdasarkan hasil penelusuran itu, Wenri mencatat sedetail mungkin, meski pada beberapa bagian juga tidak diceritakan secara memadai. Saat yang sama, ia memasukkan narasi-narasi bersifat deskriptif selama di lapangan yang tidak selalu berhubungan langsung dengan gagasan dalam buku yang dituliskannya, seperti menerangkan momen perpindahan dari satu lokasi ke lokasi yang lain, yang secara waktu berjarak cukup jauh untuk aktivitas yang berbeda. Ringkasnya, hal-hal irrelevan dengan substansi pokok tulisan dalam buku mestinya disunting sedari awal.

Kelima, bukti pendukung hasil penelaahan Wenri Wanhar tentang Sabak yang saat ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur (pemekaran dari Kabupaten Tanjung Jabung era 1990an) adalah Sabak (juga bernama Sri Buddha)—sebuah negeri paling masyhur di dunia berdasarkan sumber berita Arab (berdasarkan sekian dialek, ketika dibunyikan menjadi Zabaj, Zabadj, Zabedj, Zabdj, Zapetch, Zabag, Zabak, Sabah, Sabak) seperti Sulaiman al Tajjir al-Sirafi pada 851 Masehi menerbitkan catatan hariannya berjudul Rihlah As-Sirafy. Penggambarannya tentang letak atau posisi Negeri Sabak, keberadaan Gunung Berapi, Maharaja Sabak memerintah beberapa pulau, posisi Istana Raja Sabak, dan hubungan Raja Sabak dengan Raja Khmer (Kamboja) bisa dibaca lebih lanjut pada halaman 4 sampai 6, lalu merujuk catatan Abu Hasan Al-Mas’udi (896-956 Masehi), yang dikenal sebagai ahli geografi. Ternyata ia berkawan dengan Abu Zayd Hasan (ahli bumi yang aktif menulis pada 916 M, sang pengembara yang juga menulis cerita Maharaja Sabak). Dalam teks berjudul Muruj Adz-Dzahab wa Ma’adin Al-Jawahir merekam kisah Maraja Sabak dan Raja Muda Khmer (baca halaman 7-10).

Selanjutnya, Wenri juga merujuk catatan Abu Ali Ahmad bin Umar bin Rusta, ilmuwan muslim akhir abad ketiga hijriah atau awal abad ke 10 Masehi, yang karya-karyanya diakui sebagai ensklopedia singkat tentang sejarah dan geografi, salah satunya yang melaporkan perihal Maharaja Sabak termuat di dalam kitab Al-Alaq An-Nafisa yang ditulis antara tahun 903-913 Masehi (baca lebih lanjut nukilannya pada hal: 12)[7], kitab al-Djughrafoyah karya Ibnu Said al-Maghribi--satu diantara bapak Geografi--dimana melalui karya tersebut Wenri Wanhar menyimpulkan bahwa Sribuza selaku Ibukota Sabak tepat dibaca Sri Buddha (baca pertimbangannya pada halaman 13-14) dan secuil narasi tentang Sabak yang dilansir dari karya al-Idrisi pada 1154 Masehi berjudul Nuzhatul al-Mushtag, dalam latin menjadi Opus Geographicum, diterjemahkan menjadi Hiburan untuk Manusia Yang Rindu Mengembara Ke Tempat-Tempat Jauh, dimana di dalamnya menyebutkan Muaro Sabak adalah kampung Cina, dan memang terdapat jejak ama orang Cina di Sabak nun jauh di masa kelampauan. Menurut Wenri, satu di antaranya makam-makam tua di Bukit Naga Ukir hingga abad 21 ini masih diziarahi orang Cina entah dari mana-mana (hal: 15).

Selain sumber berita Arab di atas, Wenri juga memakai laporan hasil eskavasi perahu kuno situs Lambur yang dilakukan oleh arkeolog Agus Widiatmoko cs dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) tahun 1995, jauh sebelum arkeolog Ali Akbar melakukan penggalian terhadap subjek yang sama pada tahun 2019. Pada bagian ini Wenri mencatat cukup detail hal ihwal penelusuran lapangannya, terutama perjumpaan dengan penemu papan perahu kuno di Lambur hingga usahanya meramu pelbagai informasi yang ia dapatkan dari orang-orang tua di kampung baik di Sumatera Barat (hal 61-63), Batanghari (hal 77-79), Kampar-Riau (hal 79-80) dan bahkan termasuk gambar-gambar perahu kuno yang hadir dalam mimpi-mimpi Guru Darta, dan juga hasil pembacaannya terhadap naskah berjudul Silsilah Raja-raja Jambi, Undang-Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jawa, sehingga atas dasar itu Wenri Wanhar memecah teka-teki sekaligus berkesimpulan perahu kuno tersebut adalah Kapal Pincalang, yang juga disebut Pencalang.[8] 

Hal menarik lainnya adalah penelusuran Wenri Wanhar memastikan keberadaan Gunung Berapi seperti disebutkan dalam berita Arab tersebut di atas. Selain ia masuk ke luar hutan di Air laut Hitam, ia juga menyaksikan langsung ladang batu andesit di Muaro Sabak, yang pernah diteliti oleh para ilmuwan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, seperti saya sertakan nukilan Wenri berikut ini:

"Waktu itu kami bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung. Saya tidak ingat pasti itu tahun berapa. Saya kira arsip laporan penelitiannya masih ada di Tungkal, yang pada waktu itu ibukota Kabupaten Tanjung Jabung. Sekitar 1990-an-lah, saya tak ingat pasti tahunnya. Yang pasti, berdasarkan hasil peneliian itu, di Sabak pada zaman dahulu kala memang ada gunung berapi," begitu kata Akmaluddin, anak Kerinci yang berkhidmat di UGM, melalui sambungan telepon usai dikonfirmasi oleh Wenri Wanhar.

Nukilan hasil penelitian tersebut sangat singkat (untuk menyebut kurang memadai), sehingga menimbulkan tanda tanya, kalau bukan keraguan. Kendati begitu, Wenri menulis dalam bukunya sebagai berikut “Nah, penelitian para akademisi UGM tadi berhasil memastikan bahwa pada masa lampau di Tanjung Jabung-ujung tanah Jambi yang bersentuhan dengan Selat Malaka--tepatnya di Muaro Sabak pernah ada gunung berapi (Hal 85).

Selanjutnya, Wenri mengajak pembaca membayangkan, kira-kira apa yang terjadi ketika gunung berapi di ujung pulau tepi laut meletus. Dan pecah! Logika sederhana, gunung meletus biasanya disertai gempa. Dan teori orang sekolahan, gempa yang bersumber di laut dengan kekuatan 7 sr, pasti menimbulkan tsunami. Nah, Gunung Sabak tidak hanya meletus, tapi pecah. Lokasinya di tepi laut pula. Sebesar apa kira-kira gempa bumi saat itu? Dan sedahsyat apa tsunaminya?

Menyadari hal itu tidak mudah untuk menjelaskannya, Wenri mengakui tentang letusan, bahkan pecahnya gunung berapi di Sabak, hingga buku ini diterbitkan belum ditemukan catatan tertulis sezaman yang merekam peristiwa itu. Walakin Wenri tetap berupaya membaca terjemahan Pustaka Raja Parwa, dimana Pararaton ketika menggambarkan letusan Gunung Batuwara berkata, "Suara guntur menggelegar. Goncangan bum menakutkan. Petir dan kilat bersahutan. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan, hingga menggelapkan dunia. Banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula (hal 85-86).

Masih dalam satu tarikan nafas, Wenri menukil cerita letusan Gunung Thera antara abad 17-16 sebelum masehi yang menyebabkan tsunami besar yang diduga menghancurkan peradaban Minoa di sekitar pulau Kreta, Yunani (hal 86).

Puncaknya, seperti ditulis Wenri, hari-hari berikutnya negeri itu menyuguhkan cerita semenjak Gunung Sabak pecah, sebagian negeri tergenang air, lama kelamaan menjadi lahan gambut. Muncullah Siloka adat orang hulu-yang dalam bahasa Wenri Wanhar adalah kode yaitu dahulu kala pernah ada zaman; "katiko ayia basintak naik, bumi basintak turun (ketika air bersentak naik, bumi bersentak turun)". Negeri runtuh. Selapis peradaban tenggelam. Begitu Wenri tangkas menuliskannya.

Perubahan menyeluruh merunut peristiwa alam nun jauh di kelampauan di Sabak tidaklah mudah menemukan tapak-tapaknya kini, terlebih bila bergantung sepenuhnya pada informasi penduduk setempat yang notabene berasal dari kelompok tranmigrasi (datang dari daerah luar) dan bahkan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Oleh karena itu, selain mengubak sumber-sumber berita Arab, temuan batu andesit baik di Muara Sabak Barat (Kelurahan Parit Culum) dan di Situs Siti Hawa, keberadaan Gunung Sabak masih diliputi tanda tanya, sehingga perlu mendapat pertimbangan para ahli, terutama beberapa disiplin keilmuan meliputi geologi, geomorfologi, vulkanologi, klimatologi, meteorologi, hidrologi, dan ilmu lingkungan.

Demikian pembacaan saya atas buku Bangsa Pelaut karya Wenri Wanhar yang diakui olehnya sendiri merupakan senarai tentang Sabak--suatu masa nan gemilang nun jauh di masa kelampauan—seraya menyadari keterbatasannya dalam sulaman kalimat indah berikut ini:

“Berjalan lah sampai ke batas, berlayar lah sampai ke pulau. Bak siloka di Tanah Datuk, ilmu sedikit pikiran singkat. Pendek tangan rendah menjangkau. Pendek kaki dekat melangkah. Sementara rotan belum ada, gunakan akar. Sambil menanti elang datang, biarlah bubut yang menari. Menjelang tiba orang pandai, baru sejumput ini cerita yang didapat”.  Itu artinya, buku ini diharapkan menjadi pintu masuk bagi para akademisi maupun peneliti untuk mengkajinya lebih lanjut.

Memungkasi catatan ini, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku Bangsa Pelaut ini, karena kehadirannya mengingatkan kembali identitas kita, akar budaya kita, dan sejarah kita sebagai satu bangsa yang hidup di perairan Kepulauan Indonesia. Kendati sulit menyangkal betapa lemahnya kebijakan negara saat ini mengurusi maritim dari aspek infrastruktur, politik, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan ekonomi.

*Tulisan ini disampaikan pada acara Bedah Buku Bangsa Pelaut karya Wenri Wanhar (Keselatan, Maret 2025) yang diselenggarakan LPPM UIN STS Jambi pada Senin, 5 Mei 2025.


*Catatan kaki:

1.   Teringat kalimat lengkap dari filusuf Rene Descrates yaitu “Dubito, ergo cogito, ergo sum" (Saya ragu, maka saya berpikir, maka saya ada).

2.   Karya Wenri Wanhar berjudul Sri Buddha (pasangan dari Bangsa Pelaut) tentu sangat dinanti kehadirannya, karena belum ada sarjana di Indonesia yang berhasil menyanggah temuan para ahli ternama tentang Kerajaan Sriwijaya yang sampai saat ini masih menjadi rujukan para sarjana dalam kurun waktu yang panjang.

3.   Januari 2018 Wenri Wanhar bersama dua sahabatnya yaitu Budi dan Hen naik ke puncak Gunung Kerinci, juga disebut puncak Swanradvipa dan puncak Indra Pura. Demikian itu jejak alam raya membawanya menyusuri sejarah Jambi (dalam hal ini tentang Sabak) setelah sebelumnya lama melanglang di pulau Jawa dengan segala aktivitas dan karya tulis yang telah ditorehkan sebelumnya (baca hal 68-69). Dalam bahasa Wenri Wanhar, alam raya (Angin Tualang) dengan caranya sendiri mempertemukannya dengan banyak orang di pelbagai tempat, sehingga mempermudah dirinya menuntaskan buku ini hingga sampai di hadapan pembaca. Pola kerja demikian itu memuat kesan “mistis”, kalau bukan dorongan spiritual. Dan, ini pula yang menjadi khas seorang Wenri Wanhar.

4.   Upaya semacam itu tentu perlu disokong banyak pihak, terutama kampus atau pusat kajian, seperti telah dirintis oleh pengelola kanal: www.jambistudies.blogspot.com. Begitu juga portal www.kajanglako.com pernah secara rutin menerbitkan terjemahan serial "Midden Sumatra Expedition" atau Ekspedisi Sumatera Tengah, sebuah ekspedisi ilmiah yang dilakukan menjelajahi Minangkabau, Jambi, dan Sumatra Selatan pada tahun 1877-1879. Ekspedisi ini dilaksanakan oleh sebuah tim yang terdiri dari Arend Ludolf van Hasselt, Daniël David Veth, Johannes François Snelleman, serta Johannes Schouw Santvoort, dengan ditemani pendamping lokal.

5.   Cerita di Balik Historia, Media Sejarah Populer Pertama di Indonesia, bisa dibaca lebih lanjut melalui link berikut ini: https://www.jumardiputra.com/2020/03/cerita-di-balik-historia-majalah.html

6.   Jika hal itu dirasa penting oleh penulis, bisa diantisipasi dengan menyertakan terjemahan agar pesannya benar-benar sampai ke sidang pembaca.

7.   "Tak ada raja di India yang lebih besar dibanding Raja Sabak. Tak ada yang lebih kaya dan berkuasa dibanding raja itu. Raja besar Sabak disebut orang Maharaja. Artinya raja daripada raja-raja," tulis Abu Ali Ahmad bin Umar bin Rusta dalam Al Alaq an Nafisa, pada rentang 903-913 M. (Hal. 12 buku Bangsa Pelaut.)

8.  Pencalang adalah kapal dagang tradisional dari Nusantara Dalam sejarah ia disebut sebagai pantchiallang ata pantjalang. Pada awalnya, kapal jenis ini dibuat oleh orang orang Melayu, tetapi telah ditiru oleh pembuat kapal Jawa, tulis Liebner, Horst H dalam Perahu-Perahu Tradisional Nusantara, Jakarta (2002).

0 Komentar