![]() |
ilustrasi. Khalil Gibran. sumber: https://www.thedailybeast.com |
Oleh: Jumardi Putra*
Mata belum mau terpejam, meski jarum jam menunjukkan angka 22.35 WIB. Ketimbang berselancar di media sosial yang dipenuhi ribut-ribut soal ijazah "palsu" Jokowi dan usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka datang dari sebagian Purnawirawan TNI, saya lebih memilih membaca buku. Keributan yang mengemuka sekarang ini baik mereka yang pro maupun kontra, sejatinya menggiring publik luas makin menjauh dari apa yang semestinya dipersoalkan di tengah kondisi global yang masih menempatkan negara tercinta ini belum sebagai negara yang berdaulat baik secara ekonomi, politik dan kebudayaan.
Tidak ada buku tertentu yang ingin
saya baca, kecuali yang mudah saya gapai dari posisi terdekat yaitu Di Bawah
Payung Agung karya budayawan Mohammad Sobary. Meski terbit 28 tahun yang lalu (1997),
buku ini masih terasa relevan dengan dinamika politik kiwari yaitu kepentingan
dan pamrih-pamrih orang per orang maupun kelompok yang berkerumun di sekitar "gula" kekuasaan, dan barangkali itu terus terjadi sampai sekarang, meski Pilpres
sudah selesai.
Kendati demikian, yang dikatakan
Sobary ada benarnya yaitu bagaimanapun dunia ini bukan surga. Dan tak mungkin diubah
menjadi surga. Dunia adalah dunia. Dan di dunia, tiap dua orang atau lebih bertemu,
langsung lahir kepentingan dan pamrih-pamrih. Kepentingan itu tentu tidak
otomatis jelek. Walakin bila upaya meraih kepentingan itu tadi berbenturan dengan
orang lain, kelompok yang satu dominan dengan yang lainnya, maka disitulah
ketegangan bermunculan.
Benar, tidak ada negara di
dunia yang tumbuh besar tanpa melewati pelbagai rintangan-dengan segala macam skala
dan modusnya. Masing-masing kita memahami kenyataan itu. Pangkal masalahnya
adalah keributan yang kerap menghiasi perjalanan negeri ini, terutama
pasca reformasi seiring berkali-kali suksesi kekuasaan baik melalui Pilpres
maupun Pilkada dan Pileg, belum juga berhasil membawa negeri ini tampil sebagai
negara besar (bukan karena luas wilayah dan jumlah penduduk), yang berhak
mengatur dirinya sendiri secara merdeka. Setakat hal itu, kesejahteraan
masyarakatnya kudu terjamin, bukan lagi sebatas utopia, yang nyatanya paling banter kerapkali
dijanjikan para elit kala momen politik lima tahunan tiba.
Ketegangan demi ketegangan mengemuka—yang diimpikan--adalah bersitegang dengan semangat cinta
dan kemasalahatan publik di atas kepentingan dan pamrih-pamrih orang per orang
di sekitar riang kekuasaan, entah itu di lingkaran pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Ketegangan yang demikian itu dalam pandangan Sobary harus
diletakkan dalam kerangka meneropong diri kembali (muhasabah)—adakah kita
memang benar telah bersikap mulia, dan benarkah orang lain berseberangan dengan
kemuliaan kita. Dengan begitu, ketegangan demi ketegangan akan dengan
sendirinya surut. Apa sebab? Kemuliaan kita yang memancar dari kekuasaan yang
agung akan bertemu, dan kawin mawin dengan kemuliaan orang lain. Kedamaian pun kemudian
mucul. Dan, kedamaian itulah “Raja” kita.
Rasa-rasanya, pemimpin
pada semua level di negeri ini, belum sampai pada tahap “Raja” yang dimaksudkan
itu. Faktanya, aktor politik di republik ini, dengan segala akrobatnya masih ribut
kata dan kuasa, sedangkan rakyat terus menerus dipertontonkan panggung simulakra
tentang segala hal yang mengatasnamakan rakyat tak ubahnya dongeng semata.
Cara pandang Sobary dalam
soal ini jelas berangkat dari pendekatan moral. Bukan karena ketidakmampuannya
menganalisa atau mencaritahu pelbagai faktor di balik persoalan fundamental-struktural
yang melilit negeri ini, tetapi dari sekian banyak solusi diiniati mengatasi krisis republik ini, bisa jadi itu karena moral tidak lagi menjadi sebuah
alasan mendasar bagi masing-masing kita meneropong ulang derap langkah sejauh ini, toh nyatanya
masalah masih saja terus terjadi—seolah tak berkesudahan.
Moral tidak bisa bekerja sendiri, karena ia beroperasi di wilayah “penyadaran”. Karena itu, relevan kita menengok kembali cerita atau kisah gigantik yang justru membuat saya termenung, lagi dan lagi, seraya berharap esok pagi, entah kapan itu terjadi, negeri ini kelak memiliki seorang pemimpin yang bijak dan rendah hati seperti ditulis Sobary (halaman 307 dalam buku Di Bawah Payung Agung, Mizan, 1997) merujuk kisah berisi petuah dari penyair sekaligus sufi Khalil Gibran dalam Sang Musafir, berikut ini:
Suatu hari raja ini didemo rakyatnya. Tetapi sang raja tetap kalem menghadapi mereka. Hal ini membuat rakyat terpengaruh.
"Kawan-kawanku, yang tak akan menjadi kawanku lagi," kata sang raja. "Dengan ini kuserahkan mahkota dan tongkat kerajaanku. Aku akan segera menjadi salah seorang di antara kamu," katanya lagi.
Rakyat diam. Suasana gemuruh mendadak berubah senyap. Alam penuh pesona ketulusan yang memancar dari jiwa Baginda. Kini, kata sang raja, rakyatlah yang menjadi raja. Baginda siap bekerja keras di ladang anggur seperti orang lain agar hidup menjadi lebih enak bagi semua kalangan.
Terus terang rakyat menyatakan kekaguman mereka. Tak disangka, begitu mudah raja menyerahkan mahkota dan tongkat kerajaan. Aneh, kini baginda bekerja seperti mereka di ladang. Aneh sekali.
Tetapi tanpa raja, keadaan tetap muram. Kabut kekecewaan tetap menggantung di atas negeri itu. Keadaan kacau lagi. Rakyat gemuruh. Mereka mencari raja lagi. Kali ini urusannya jelas: raja dinaikkan takhta kembali.
"Perintahlah kami dengan kekuasaan dan keadilan," teriak mereka. Baginda pun berkuasa lagi. Keadaan memang berubah. Hawa keadilan berhembus ke seluruh pelosok negeri. Tiap ada pengaduan rakyat bahwa aparat kerajaan menyimpang, baginda bertindak tegas.
Dan adil. Ukuran keadilan ditentukan atas dasar berapa kadar kejujuran dan pemihakan kepada rakyat. Tiap penyimpangan diluruskan. Para punggawa yang korup dilepas jabatannya. Rakyat sungguh berdaulat, suara mereka didengar. Mereka puas.
Tapi suatu hari rakyat gemuruh lagi di bawah menara istana. Mereka menyebut-nyebut Baginda.
Dengan anggun Baginda muncul di depan mereka, "Apa lagi kehendak kalian?" kata Baginda. "Takhtaku ingin kalian cabut lagi?"
"Tidak. Bukan itu," teriak mereka. Suara gemuruh menggema ke langit. "Engkaulah raja kami. Engkau telah membersihkan negeri kita dari ular-ular berbisa, dan dari serigala. Maka kami menghadapmu buat menghadiahkan lagu terima kasih. Mahkotamu mulia. Tongkatmu agung," teriak rakyat dalam nada suka cita.
"Bukan. Bukan. Engkau sekalianlah raja sejati. Kita sekarang maju. Dan itu terus terang hasil jerih payah kalian. Aku cuma sarana bagi cita-citamu. Aku cuma lantaran," kata Baginda.
"Hidup raja!" teriak mereka serempak.
Baginda masuk. Rakyat bubar. Masing-masing merasa memegang mahkota di tangan kiri, dan tongkat di tangan kanan. Tapi mahkota dan tongkat yang sebenarnya ada di tangan raja.
***
Demikian petuah dari Khalil Gibran, bukan pak Wapres Gibran Rakabuming Raka loh ya. Sebuah kisah istimewa, yang tidak pernah saya niati
mengetahuinya, tapi toh ia laksana sahabat pengantar tidur terbaik tadi malam--seraya berdoa untuk kebaikan bagi negeri tercinta ini. amin.
*Kota Jambi, 7 Mei 2025.
0 Komentar