Album Pop Minang Lyli Sjarif. Zainal Combo. Periode 1970 |
Oleh: Jumardi Putra*
Era 1970an, nama Lily Sjarif dikenal luas sebagai salah satu penyanyi muda cantik tanah air. Ia populer
karena berhasil membawakan lagu-lagu pop Minang, sebut saja seperti Ubekkan Denai ciptaan Masrul Mamuja, Bungo
Cinto, Ratok, Basimpang Duo, Batu Tagak, Bunga Dalam Taman (dikerdjakan oleh
Philips Singapore), Kasih Ibu, Pusako
Minang, dan Gadis Tauladan (direkam oleh Dimita).
Jodoh siapa yang bisa
menerka, nyatanya penyanyi kelahiran Jakarta, 22 November 1954, itu menjadi istri
dari Abdurrahman Sayoeti, Gubernur Jambi dua periode (1989-1994-1999). Dalam
bernyanyi Lily kerap berduet dengan Tiar Ramon dan telah menghadiri pelbagai
undangan di beberapa lokasi di Jakarta. Bahkan, Lily dan
beberapa artis ibukota lainnya pernah diundang resmi oleh pemerintah Provinsi Jambi
sebelum Abdurrahman Sayoeti menjabat sebagai sekreataris daerah Jambi 1969.
Belum lama ini, tepatnya 18 Desember 2023, saya menemukan sebuah album berisikan kliping koran yang memuat profil sekaligus dokumentasi foto-foto Lily Sjarif sebagai seorang penyanyi sebelum akhirnya dipersunting Abdurrahman Sayoeti pada akad nikah 4 Januari 1976 dan berlanjut ke resepsi sehari setelahnya di Jakarta. Hadir memeriahi momen bahagia kedua pasangan itu para pejabat teras Provinsi Jambi, keluarga besar dua belah pihak serta kalangan artis/penyanyi tersohor pada masanya.
Penyanyi Muda Usia
Berita Mingguan Merdeka, 9 Mei 1971, melaporkan penyanyi minang muda usia Lily Sjarif telah menyebabkan banyak penonton berurai air-mata ketika ia membawakan lagu Kelok 44 di malam pertunjukan Semalam di Pantai Padang, yang diselenggarakan oleh Badan Koordinator Ikatan Keluarga Sumatra Barat Djakarta pimpinan Arifin Razid bertempat di Istora Senayan, 17 April 1971.
Mingguan Merdeka, 9 Mei 1971.Dok. JP |
Era itu, Lily Sjarif telah memperoleh
banyak kemajuan, dan makin menunjukkan kemampuannya yang luar biasa dengan
interpretasi serta eskpresi yang matang. Termasuk Lily Sjarif telah membuat
rekaman dengan Band Kumbang Tjari pimpinan Nuskan Sjarif dan Zaenal Combo. Yang
terakhir ini rekaman di Singapura. Mimik maupun gerak yang disertai kehalusan
dan kelembutan seorang Lily Sjarif disebut-sebut mengasyikkan. Tak pelak, tersiar
kabar ketika itu bahwa sebuah perusahaan piringan hitam termodern di Jakarta merencanakan
rekaman duetnya dengan penyanyi Tiar Ramon, sesuatu yang menggoncangkan duet penyanyi yang ada selama ini.
Masih merujuk warta koran yang
sama, sosok Lily Sjarif yang dijumpai di rumah, diakui jauh berbeda dengan saat
dirinya beraksi di depan umum. Di rumah, Lily lebih menonjol dalam kesederhanaan
dan agak kekanak-kanaan. Profesi sebagai vokalis ditempuhnya mulai tahun 1967, ketika
Lily baru berusia 13 tahun. Masa itu, ia mengikuti muhibah mahasiswa Universitas
Ibnu Chaldun (UIC) ke Kuala Lumpur yang dipimpin oleh ayahnya sendiri yaitu Dra.
Sjarif Usman dalam tugas sehari-harinya sebagai Rektor dari Universitas tersebut.
Sambutan di negara tetangga cukup mengesankan melihat dari koleksi album lagu Lily.
Bahkan, beberapa surat kabar di negeri itu memberikan komentar yang sepantasnya.
Sebagal penyanyi pop, Lily lebih menonjol di dalam membawakan lagu-lagu Minang.
Lily mula-mula belajar menyanyi dari salah satu kakaknya pemain band dan mendapat bimbingan langsung dari ibunya yaitu Hawaniar, seniwati di daerah Sumatera Barat semasa mudanya. Selain itu, Lily juga memperoleh bimbingan dari salah seorang pegawai Direktorat Kesenian. Tak heran bila raport untuk mata pelajaran menyanyi, Lily mendapat nilai 9.
Lily Sjarif merupakan anak ketujuh dari 12 bersaudara, hasil pernikahan Sjarif Usman dengan Hawaniar asal Jorong Galuang, Nagari Sungai Pua, Kabupaten Agam. Kolonel Sjarif Usman adalah seorang pejuang kemerdekaan. Pada masa darurat, orang tua Lily pernah menjadi komandan di daerah Agam. Dalam perjalanannya, Sjarif Usman menanggalkan baju tentaranya dan memasuki dunia politik. Ia merupakan anggota DPR-RI periode 1956–1959 dari Partai Masyumi mewakili Jakarta. Setelah berhenti dari politik praktis, pria kelahiran 17 Juni 1919 di Muaro Paneh itu memimpin Yayasan Ibnu Chaldun yang sempat menaungi Universitas Ibnu Chaldun.
Penyambutan Lily Sjarif, dkk, di Bandara Udara Sultan Taha di Jambi.Dok. JP |
Sebagai istri, biasanya Lily mendampingi sang suami selaku Gubernur Jambi
menghadiri pelbagai kegiatan resmi pemerintahan baik di dalam daerah maupun di
luar Provinsi Jambi terhitung sejak mereka menikah pada 4 Januari 1976 sampai
sang suami mengakhiri jabatannya selaku Gubernur Jambi tahun 1999, dan tampuk
kepemimpinan Pemerintah Provinsi Jambi dilanjutkan oleh Zulkifli Nurdin selama
dua priode (1999-2010), ayah dari Zumi Zola yang adalah juga Gubernur Jambi
periode 2016-2018.
Lily Sjarif tutup usia pada Kamis, 26 Juli 2012, di RS Medistra, Jakarta,
dalam usia 58 tahun, dan dikebumikan hari itu juga pukul 4 sore di TPU Jeruk
Purut. Sedangkan Abdurrahman Sayoeti, akrab dipanggil pak Te, telah mendahului sang
istri setahun sebelumnya, tepatnya 22 Mei 2011, di usia 78 tahun, dan dikebumikan
di pemakaman umum Putri Ayu, Telanaipura Jambi.
Sepasang suami-istri ini hingga akhir hayatnya tidak dikarunia anak. Itu kenapa tidak ada ahli waris yang meneruskan sepak terjang sebagaimana Abdurrahman Sayoeti di jalur politik atau pemerintahan maupun Lily Sjarif di jalur seni musik. Namun, tidak sedikit birokrat, politisi dan seniman di Jambi yang menjadikan mereka sebagai panutan.
Kontribusi Lily Sjarif
Di luar ranah pemerintahan, barangkali yang perlu diingat oleh generasi sekarang yaitu kontribusi Lily Sjarif (dan tentu saja beserta Abdurrahman Sayoeti) di bidang pelestarian seni dan budaya Melayu Jambi, sesuatu yang abai dianggit oleh banyak pejabat di Jambi hingga saat ini.
Abdurrahman Sayoeti bersama isti. Didampingi Gubernur Jambi Djamaludin Tambunan dan istri (1976). Dok. JP |
Pada 10 November 1992, Lily Sjarif membentuk Yayasan Bina Lestari Budaya Jambi (YBLBJ). Abdurahman Sayuti langsung bertindak sebagai ketua Yayasan, sedangkan Lily sebagai wakil, dan Hasan Kasyim (saat itu staf ahli di Setda Provinsi) dipercaya selaku sekretaris.
Melalui kreatifitas Lily Sjarif,
YBLBJ sukses mengikuti berbagai event-event kesenian, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri. Mulai dari Jambi Art Festival di London (1992) sampai
Pekan Seni Ipoh III di Ipoh, Malaysia (1998). Berbekal kesuksesan itu, April
1998 di sebuah gedung eks milik Pemerintah Provinsi Jambi di Jalan Jenderal MT
Haryono No 4, Telanaipura, Jambi, beberapa individu antara lain Lyli Sjarif
(penyanyi), Tom Ibnur (koreografer), Erwin Arifin (musisi), dan Endang SH
(pemahat) serta disaksikan beberapa pendukung lain, mendirikan Pusat Bina Olah
Seni Kajanglako Jambi (PBOSKJ), yang setahun kemudian berganti nama menjadi Kajanglako
Art Center (KAC). Berkat dukungan penuh Gubernur Jambi pada masa itu, KAC terus
bergeliat.
KAC yang dipimpin Direktur
Eksekutif Tom Ibnur disiapkan menjadi wadah bagi kebudayaan dan kesenian
tradisional Jambi. Tak syak, pelbagai konsep dibuat. Berbagai langkah pun disusun
guna menemukan akar-akar kebudayaan yang mulai terlupakan, mulai dari musik,
tari, sampai kerajinan tangan atau kegiatan kebudayaan masyarakat lainnya yang
tumbuh dan berkembang di Bumi Pucuk Jambi
Sembilan Lurah.
Ringkasnya, dalam rentang
waktu 1992-2000an, sebagian masyarakat mengenal KAC sebagai lembaga kebudayaan
seni Jambi yang berhasil. Beberapa kegiatan yang sukses dihelat KAC antara lain
Pekan Seni Pertunjukan Tradisional Jambi (1999) dan Jambi Art Festival (2000).
Kajanglako Art Center (KAC) memasuki masa keemasannya pada 1999. Sejak itu nama KAC bergaung di mana-mana. Dari Indonesia hingga mancanegara. Lewat penampilan seni tradisi, KAC mengajak negara luar belajar banyak tentang Jambi.
Di tahun 1999, Gedung Olah Seni (GOS) Kotabaru Jambi kerap dijadikan pusat aktivitas pemanggungan kesenian daerah. Tak heran, bila antusiasme warga terhadap pertunjukan kesenian Jambi melalui tari tradisional utusan kabupaten-kabupaten, musisi daerah dengan beragam alat musik, terus menyemarakkan event bertajuk Pekan Seni Pertunjukan Tradisional Jambi (PSPTJ).
Lily Sjarif (1994). Dok. JP |
Tak berhenti di situ saja, KAC terus
menggagas event-event baru. Salah satunya, pada 2000, ketika Jambi Art Festival
pertama kali digelar, ratusan undangan hadir, mulai dari seniman-seniman lokal
hingga seniman luar negeri seperti Jepang, Malaysia, dan Singapura.
Seturut hal itu, gedung kantor
KAC di Jalan Jenderal MT Haryono No 4 Telanaipura penuh diisi peminat seni
budaya. Tercatat siswa yang belajar di KAC sekitar 2.000, mencapai 600 orang
per hari. Mulai dari belajar tari, musik, fashion show, sampai belajar melukis.
Bahkan, di bawah Yayasan Bina Lestari, lahir TK Al-Aqsha, tempat belajar maupun
penitipan anak-anak.
Namun, berjalannya waktu, Kajanglako
Art Center (KAC) mencapai titik nol. Lembaga budaya Jambi itu mulai redup. Saya
sendiri pernah berinteraksi dengan beberapa seniman/budayawan di Jambi yang
pernah bersinggungan dengan YBLBJ maupun KAC, sebut saja seperti budayawan
Jafar Rassuh, sejarahwan Fakhruddin Saudagar (alm), Naswan Iskandar (kini
menjadi dosen film di President University), dan Panca.
Sulit menyangkal, redupnya sinar kejayaan KAC sedikit banyak dipengaruhi bergantinya tampuk kepemimpinan di tingkat Provinsi Jambi. Sejak Abdurahman Sayuti turun diganti Zulkifli Nurdin, geliat KAC sayup-sayup terdengar. Apatah lagi Lily Abdurahman Sayuti selaku pendiri sekaligus penyokong KAC lebih banyak fokus di rumah, mengurus suaminya yang tak lain mantan Gubernur Jambi sejak tidak lagi menjabat.
Kian ke sini, baik YBLBJ
maupun KAC, benar-benar tidak terdengar lagi kiprahnya. Termasuk TK dan TPA Al-Aqsha sudah berganti
kepemilikan lantaran Yayasan sebelumnya dibubarkan. Pelbagai aset bangunan maupun
dalam bentukya lainnya tak jelas lagi keberadaannya hingga kini. Tentu ini
perlu menjadi pembelajaran bagi generasi sekrang terkait keberlangsungan sebuah
Yayasan yang bergerak di bidang seni, budaya dan pendidikan untuk bisa terus
berkembang dan berkelanjutan. Dengan kata lain, sebuah Yayasan tidak akan bisa
bertahan bila bergantung sepenuhnya pada sosok yang melekat pada sebuah jabatan
di lingkup pemerintah daerah.
Walakin, di luar soal itu, melalui
YBLBJ maupun KAC, kontribusi seorang Lily Sjarif, yang tidak lain adalah istri dari
Abdurrahman Sayoeti merupakan bukti nyata kepeduliannya semasa hidup terhadap
pelestarian seni dan budaya Melayu Jambi. Terima kasih, Bu Lily Sjarif dan Pak Te, begitu pak Abdurrahman Sayoeti biasa dipanggil.
*Kota Jambi, 17 Januari 2024. Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com
*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:
1) Peninggalan Abdurrahman Sayoeti dan Kisah Yanti Mustafa Merawatnya
2) Kisah Putri Gubernur Jambi Djamaludin Tambunan Bersama Bung Karno
3) Srie Soedewi, Sosok Cemerlang di Balik Gubernur Jambi Maschun Sofwan
4) Jambi Yang Menanti Jamahan, Buah Pikiran Djamaludin Tambunan
5) Hanafie, Gubernur Jambi Terpilih (Gagal) Dilantik
6) Haji Hasan, Orang Gedang dari Empelu
7) A. Mukty Nasruddin, Penulis Sejarah Jambi Yang Dilupakan
8) Annabel Teh Gallop, Jambi dan Filologi di Zaman Gawai
9) Mengenang Sakti Alam Watir, Obituari
10) Emi Nopisah, Dari Ajudan Gubernur sampai Sekretaris DPRD Provinsi Jambi
11) 65 Pemikiran Tokoh untuk 65 Tahun Provinsi Jambi
12) Jambi Tempo Dulu, Catatan Sepulang dari Pameran HUT Provinsi Jambi
0 Komentar