Tirani Demokrasi

ilustrasi. heryunanto/kompas

Oleh: Jumardi Putra*

Belum lama ini, saya membaca buku bertajuk Tirani Demokrasi. Boleh dibilang itu warisan dari begawan sastra Prof. Sapardi Djoko Damono (biasa disingkat SDD) yang belum banyak diketahui publik. Meski ditulis sepuluh tahun lalu, buku itu nyatanya kalah populer ketimbang telaah sastra, kumpulan puisi maupun novel yang pernah ia tulis semasa hidup. Untuk menyebut contoh, sosok pria kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940, itu familiar melalui puisi-puisi monumentalnya, seperti "Aku Ingin", "Hujan Bulan Juni", dan "Yang Fana Adalah Waktu”.

Pada kaver depan buku tertulis sebuah selebaran, sesuatu yang sengaja disebarkan demi maksud propaganda untuk menangkal tirani demokrasi. Selebaran itu juga bisa dimaknai komunikasi persuasi sang penulis dengan pembaca perihal praktik demokrasi prosedural di republik ini yang ia resahkan. Mungkin Sapardi menyadari dengan menulis bergaya esai, maka maksud di balik keresahannya perihal demokrasi mudah dipahami khalayak luas, ketimbang menulis dalam bentuk puisi dengan diksi-diksi khas maupun dukungan metaforis yang tidak semua pembaca bisa memahaminya dengan cepat. Sebelum diterbitkan ulang oleh Gramedia pada Februari 2024, buku itu terbit pertama kali 2014 oleh penerbit Editum. Sebuah usaha yang perlu diapresiasi sehingga warisan pemikiran Prof. Sapardi meluas.

Muatan selebaran Sapardi bertitimangsa pada pengalamannya sendiri saat masih remaja mengamati jalannya Pemilu yang pertama kali digelar di Indonesia pada 1955 dan belum memiliki hak politik untuk memilih wakil rakyat. Ia melihat langsung antrean panjang saat pencoblosan. Belum ada istilah pesta demokrasi ketika itu. Bahkan, diakuinya kata demokrasi belum dikenal luas. Situasi demikian berbeda berselang hampir 60 tahun pasca pemilu 1955, yaitu pada 2014, saat ia mulai menulis perihal demokrasi yang ia resahkan.

Bagi Sapardi, agar tidak menjadi tirani, demokrasi perlu dikoreksi karena di lapangan telah mendatangkan pelbagai paradoks. Ia menganggap demokrasi sebagai entitas mandiri yang membuat ketentramannya sebagai remaja berusia 15 tahun terganggu saat itu. Ketika itu ribut-ribut politik melalui berbagai medium berlangsung tanpa kesungkanan.

Laiaknya esai selebaran itu ditulis mengalir dan sarat refleksi, jauh dari kungkungan teoritik dan tidak dibatasi secara periodik, sebagaimana laku akademisi di kampus yang konsern pada studi ilmu politik. la menanggalkan jubah akademiknya sehingga wacana demokrasi tampil dalam perspektif rakyat biasa. Kendati begitu, narasi yang diketengahkannya tetap menghadirkan kedalaman sekaligus kritik di sana-sini. Prof. Sapardi tidak menolak demokrasi, tapi mengajukan sejumlah fakta sebagai dampak dari sistem tersebut.

Pada bagian akhir buku ini pembaca akan menemukan koherensinya, seperti dikatakan Sapardi berikut ini, “Di ladang yang bernama Indonesia ini, di lubuk yang bernama Indonesia ini, belalang dan ikan yang cerdas tahu bahwa demokrasi memberi hak pilih, tak terkecuali pilihan untuk berubah, tak terkecuali juga tentunya pilihan untuk mempertimbangkan kembali atau menolak konsep demokrasi yang begitu kompleks dan mengharuskan kita untuk melaksanakannya meskipun kita menyadari betapa konyol akibatnya”.

Meski berkisah tentang jalannya Pemilu 1955, kehidupan Sapardi membentang sedari Orde Lama sampai Orde Baru dan berlanjut setelah reformasi 1998. Keresahannya melihat sistem politik demokrasi di republik ini dalam rentang waktu yang panjang itu menemukan relevansi dengan situasi politik saat ini. Dalam selebaran itu pembaca akan menemukan pengertian yang diketengahkan Sapardi tentang perjalanan hasil pemilu 1955 yang melahirkan demokrasi menindas demokrasi. Dari situlah lahir Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan Konstituante dan mengembalikan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin. Begitu juga berpisahnya Ukraina dari Rusia akibat demokrasi. Tak syak, perang Rusia dan Ukraina sampai saat ini masih menjadi noktah hitam bagi peradaban dunia yang katanya maju sekaligus beradab. Tidak berhenti di situ saja, Sapardi juga menerangkan bahwa atas nama demokrasi, melalui referendum pada 1999, rakyat Timor-timur resmi memilih berpisah dari Indonesia dan melahirkan nama baru Timor Leste dengan pelbagai krisis yang tak kunjung berkesudahan.

Kegaduhan negara-negara itu bagi Sapardi terus meluas di benua lainnya, seperti yang dihadapi Suriah, Mesir, Irak, dan seterusnya. Bahkan, negara sekaliber Amerika Serikat yang disebut-sebut sebagai kampiun demokrasi juga tak kuasa mengatasi pelbagai kekacauan yang ditimbulkan oleh sistem demokrasi, yang katanya terbaik dari yang terburuk itu, bersamaan dengan menguatnya politik identitas dan polarisasi sebagai konsekuensi yang tidak terelakkan.

Karya Sapardi ini memuat peringatan agar segenap warga negara mawas diri, utamanya terkait penerimaan kita terhadap demokrasi secara taken for granted. Sikap ini bisa mengakibatkan publik lupa diri tentang tanggung jawab bersama untuk mempertahankan dan merawat demokrasi agar ia tetap bisa hidup, tumbuh, dan berkembang secara sehat di negeri yang kita cintai ini.

Publik tidak boleh lupa reformasi 1998 merupakan puncak dari krisis multidimensional yang memunculkan kesadaran kritis kaum mahasiswa dan segenap elemen pejuang demokrasi lainnya di tengah otoritarianisme Orde Baru dengan segala eksesnya yang ditimbulkannya selama 32 tahun. Namun, sayangnya praktik politik pasca reformasi hingga kini justru makin jauh dari amanat dan cita-cita reformasi itu sendiri. Populisme yang muncul ke permukaan melalui beberapa kali Pemilu pasca reformasi justru mengarah pada menguatnya cengkraman oligarki, bersamaan dengan retradisionalisme kepemimpinan feodalistik dalam manajemen organisasi politik modern, pelaksanaan hukum dan konsitusi di bawah politik kekuasaan serta kembali menguatnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Maraknya akhir-akhir ini politik dinasti sebenarnya menjauhkan publik dari isu yang tidak kalah urgen yaitu cita-cita reformasi. Saat ini, yang terjadi di Indonesia adalah praktik kolusi dan nepotisme yang berlangsung di depan mata. Publik perlu menyadari efek buruk dari KKN yaitu membuat sirkulasi kekuasaan hanya berada di kalangan elit, membuka ruang terjadinya penyimpangan kekuasaan, menutup jenjang kaderisasi politik, kontrol terhadap kekuasaan melemah, dan menghambat konsolidasi demokrasi.

Publik, utamanya bagi kelompok sipil intelektual, apatah lagi di tengah munculnya wacana TNI/Polri bakal masuk dan mengisi jabatan birokrasi pemerintahan sipil, kita harus melibatkan diri secara aktif untuk mewaspadai bahaya populisme otoriter bagi keberlangsungan republik ini sambil menghidupkan dan menumbuhkan kembali kepercayaan publik pada terwujudnya republik demokratis yang bersendikan supremasi hukum. Tanpa usaha bersama, demokrasi di negeri ini bisa rusak dan bahkan mati di tangan tiran yang menggunakan pelbagai institusi demokrasi untuk membunuhnya secara gradual, halus, dan bahkan legal.

 

*Kota Jambi, 24 Maret 2024. Tulisan ini terbit pertama kali di portal jamberita.com

0 Komentar