Suatu Malam di Sebuah Café Tentang Pileg dan Politik Uang

ilustrasi, sumber: tempo.co

Oleh: Jumardi Putra*

Di bawah cahaya temaram lampu cafe yang berada tidak jauh dari salah satu perumahan elit di kota tempat saya tinggal, saya berjumpa dan bercakap-cakap dengan Amar dan Leo (bukan nama yang sebenarnya), dua lelaki paruh baya yang bertungkus lumus mendukung seorang Caleg DPR-RI dari sebuah partai ternama.

Raut muka mereka menyimpan beban, tidak seperti pengunjung café lainnya yang tampak lepas dan ceria. Usut punya usut, kelesuan itu lantaran sebelum, saat dan pasca Pileg 2024 adalah rentang waktu yang telah menyita pikiran maupun tenaga mereka menemani sang Caleg.

Disaksikan tiga cangkir kopi dan sepiring kentang goreng plus tiga botol mineral, saya lebih banyak mendengar dan berharap muncul warna-warni wicarana seputar praktik Pemilihan Legislatif (Pileg) dengan segala pernak-perniknya dari mereka berdua.

“Pileg kali ini benar-benar gilaaaa,” tukas Amar dengan wajah serius.

Sontak saja saya keheranan. “Apanya yang gila, Bung?” tanya saya balik.

“Popularitas, ketokohan, dan tatap muka bersama warga sembari memaparkan rancang bangun program tidak secara otomatis menggaransi sang Caleg mendapatkan suara signifikan di TPS-TPS,” balas Amar sambil geleng-geleng kepala.

“Bukankah itu cerita usang sebagaimana Pileg periode sebelum-sebelumnya,” timpal saya membuka percakapan lebih dalam.

Seolah menemukan ghirahnya, baik Amar maupun Leo silih berganti menceritakan pengalaman lapangan mereka. Si Leo mengatakan hal pertama yang dilakukan membentuk tim sukses dengan dua model yaitu terstruktur dan non struktural. Tim-tim itu ini dikenal dengan pelbagai nama, seperti tim keluarga, tim kerja, laskar, relawan, dan sebagainya. Meski mereka bervariasi dalam lingkup dan peran, tim ini didesain bertugas mengoordinasi kampanye Caleg di tingkat kelurahan atau desa. Tidak cukup hanya itu, sang Caleg bahkan membentuk tim sampai ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Selanjutnya, sang Caleg membangun tim dengan merangkul anggota keluarga, saudara, teman, dan rekan terpercaya, dan meminta mereka memobilisasi hubungan dari masing-masing mereka guna memperluas tim dan pemilih. Satu ciri khas tim di daerah ini menurut Amar yaitu peran yang dimainkan ikatan keluarga dan kekerabatan sebagai fondasi bagi seluruh bangunan tim.

Biaya kerja tim ditanggung oleh Caleg secara perorangan maupun berbagi dengan calon dari tingkatan Kabupaten/Kota dan Provinsi. Meskipun begitu, biaya terbesar akan ditanggung Caleg DPR RI. Menariknya, kerja sama calon antar tingkat ini tidak hanya terjadi dalam partai yang sama, melainkan juga dengan partai lainnya dengan pertimbangan sama-sama menguntungkan. Pola demikian, lanjut Amar, sangat bergantung pada kondisi lapangan dan struktur lapisan sosial masyarakat di daerah pemilihan. Beberapa Caleg memiliki donatur yang tidak diketahui identitas resminya, tapi itu bukan prioritas bagi saya untuk mengetahui lebih jauh. Yang jelas, diakui mereka, patronase dan klientelisme yang mengikat kepentingan antara sang Caleg dengan tim sukses, pegiat kampanye dan calon pemilih adalah uang, barang dan jasa maupun bentuk lainnya.

Patronase yang dimaksud Amar adalah pembagian materi atau keuntungan lain sebagai instrumen untuk meneguhkan solidaritas, ikatan sosial, pemaknaan dan partisipasi antara kandidat, tim sukses dan pemilih pada kampanye Pileg. Sedangkan klientelisme yaitu hubungan timbal balik berupa pemberian barang atau jasa dari satu pihak (patron atau klien) dengan pihak yang menerima. Dalam pada itu, diakui Leo, adanya relasi kekuasaan material pembentuk jaringan sosial pemilih dengan sang Caleg dalam bentuk keuntungan material dipertukarkan dengan dukungan politik.

Meski begitu, hemat Amar, bukan besaran patronase yang menentukan timbulnya kepercayaan bagi terbentuknya preferensi politik calon pemilih, melainkan kesesuaian patronase dengan kebutuhan, intensitas interaksi sosial, dan jaringan distribusinya. Dalam amatan si Amar, itu menjawab sejumlah calon yang mengeluarkan banyak uang, barang jasa, janji, dan segala macam patronase bagi pembiayaan politik, walakin tidak mendapat suara yang signifikan. Sebaliknya yang dengan jumlah patronase terbatas justru bisa memperoleh suara signifikan.

“Fakta di lapangan bisa beragam wujudnya, sangat bergantung dengan karakter dan struktur sosial calon pemilih di sebuah daerah,” ujarnya.

Usai membentuk tim sukes, si Amar menceritakan sang Caleg bersama tim memanfaatkan strategi pertemuan tatap muka dengan pemilih. Tatap muka dilakukan dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah atau mengumpulkan sejumlah orang di tempat yang mudah dijangkau seperti balai desa atau rumah pribadi dari orang yang dihormati. Sang Caleg dan tim mengawali strategi ini dengan melakukan identifikasi serta memilih orang dan tempat untuk dikunjungi. Biasanya, identifikasi dimulai dari keluarga, kerabat, dan orang-orang dengan pengaruh besar di wilayah tersebut, mulai dari aparatur birokrasi, kepala desa, RT/RW, tokoh pemuda/masyarakat, tokoh adat, tokoh etnis, dan tokoh agama yang memiliki pengaruh besar dalam hal jumlah. Sang Caleg menghabiskan sebagian besar waktu mereka dengan bepergian dari dan ke desa-desa terpencil untuk mengunjungi dan berbicara dengan orang-orang tersebut di atas, terutama dengan sanak saudara dan kerabat.

Melalui tatap muka itulah, selain lewat instrumen media kampanye baik media cetak maupun online, sang Caleg menyampaikan kepada calon pemilih seputar rencana program maupun kegiatan sesuai kewenangan lembaga DPR RI bila kelak terpilih. Menyadari jumlah Caleg banyak pada Pemilu kali ini, maka sang Caleg sangat berhati-hati dalam memainkan isu-isu berbau ideologi, isu-isu nasional yang aktual, maupun program-program riil sesuai kebutuhan warga lokal.

“Kunjungan ke berbagai tempat ini benar-benar menyita waktu, tenaga dan biaya, karena luas wilayah yang harus dikunjungi, tetapi saya salut dengan Caleg yang kami usung dimana stamina dan keinginannya berjumpa warga begitu tinggi,” ujar Leo.

“Apakah desain kerja sang Caleg berjalan efektif untuk mendulang suara,” tanya saya.

Amar segera merespon bahwa itu semua tidak cukup. Sang Caleg tidak cukup hanya datang membawa badan dan mendistribusikan wacana program dan kegiatan.

“Maksudnya?” lanjut saya

Diakui Amar hampir semua calon, begitu juga sang Caleg yang ia usung, mendistribusikan politik bantuan untuk individu, kelompok, dan masyarakat secara umum. Pemberian bantuan itu menurutnya sudah menjadi tradisi dalam politik lokal. Umumnya Caleg mengalami kesulitan membangun hubungan emosional bila tanpa memberikan bantuan kepada pemilih berupa uang, barang, jasa, dan bentuk janji-janji lainnya.

Bahkan, masih menurut Amar, sang Caleg juga membuat kontrak politik dengan calon pemilih agar memercayai janji-janji pertukaran di antara mereka. Instrumen semacam itu merupakan simbol representasi, menggantikan interaksi dan kepercayaan sosial sekaligus menjadi jaminan realisasi patronase dan preferensi politik masyarakat.

“Bagaimana dukungan partai serta kampanye resmi yang dibuat oleh partai, apakah itu sangat membantu sang Caleg?” sambung saya.

Menurut Leo, relasi masyarakat dengan partai politik maupun kandidat bukan sepenuhnya karena visi, misi dan program prioritas yang ditawarkan saat musim pemilu. Sama sekali bukan. Sulit menyangkal bahwa parpol dikenal oleh sebagian besar masyarakat justru dari jarak yang berjauhan, galibnya jelang pemilu, 5 tahun sekali, berlalu bagai angin. Dengan kata lain, menurut Leo, hubungan antara parpol dengan warga pemilih selama ini lebih karena bagi-bagi uang, sembako maupun bentuk seserahan lainnya yang diberikan saat kampanye berlangsung.

“Suka tidak suka, fakta itu sulit terbantahkan,” imbuh Leo sembari menggelengkan kepalanya.

Malam terus beranjak, pengunjung café masih asyik dengan lawan bicaranya. Sesekali tawa mereka pecah sepecah-pecahnya. Entah apa isi percakapan antara mereka, tapi yang saya lihat adalah keceriaan, penuh dengan canda dan tawa. Sedangkan saya, di hadapan dua sahabat ini, disaksikan tiga cangkir kopi, masih berkutat seputar Pileg yang gilani.

“Tim sukses solid, tatap muka dengan pelbagai tokoh dan kelompok masyarakat dijalin, rancang bangun program tersampaikan, bantuan uang dan jasa lainnya sudah diberikan, gimana perolehan suara Caleg yang kalian dukung,” tanya saya penasaran.

“Kalah!” ujar si Leo dengan nada suara rendah dan tidak bersemangat. Suasana menjadi hening. Si Amar tak kuasa menyembunyikan kesedihanya. Seolah membutuhkan tenaga lebih untuk bercerita, baik si Amar maupun Leo, meminta jeda. Keceriaan pengunjung café lainnya tidak mengubah kondisi kami yang larut dalam keheningan.

Saya bisa memahami kondisi itu, sehingga saya membiarkan mereka beberapa kali menenggak air mineral botol di dekat mereka. Sembari itu saya menyelipkan cerita-cerita humor di luar tentang Pileg. Kami pun jatuh dalam tawa kecil, meski suasana hening acapkali datang menyergap.

Seolah dirasa cukup bertenaga, si Amar mulai menceritakan sebab Caleg yang ia dukung kalah, padahal populer, tokoh, dan bahkan termasuk salah satu sosok yang diprediksi lolos ke Senayan oleh pelbagai lembaga survei lokal sebelum Pileg.

14 Februari 2024 berkata lain. Daerah-daerah yang dikunjungi sang Caleg justru tidak mampu mendongkrak suara sang Caleg. Padahal diakui Amar, sang Caleg tergolong dari sedikit calon yang gemar mengujungi warga di pelbagai lokasi di daerah-daerah baik itu perbatasan, kawasan terpencil dan bahkan hadir di pelbagai diskusi bersama komunitas ekonomi kreatif, perguruan tinggi, media dan jurnalisme, lembaga swadaya masyarakat dan masih banyak elemen kelompok masyarakat lainnya. Begitu juga kontrak politik yang dibuat, hilang terbawa angin. Nyatanya, diakui Amar, itu semua tidak menjadi basis suara bagi sang Caleg.

“Jadi, apa yang menjadi faktor utama tingkat keterpilihan seorang Caleg,” tanya saya lagi.

“Politik uang menjadi faktor yang menentukan,” jawabnya.

“Bisa dijelaskan secara detail,” sambung saya ingin tahu lebih jauh.

“Bukan rahasia lagi, H-3,-2,-1, dan bahkan di hari pencoblosan, jaringan maupun distribusi uang dengan segala macam modus operandi membuat warga mudah berpindah haluan. Jumlah uang yang dibagikan beragam. Di lapangan, antar satu Caleg dengan Caleg lainnya bahkan saling unjuk kekuatan dukungan finansial. Sekali lagi, program dan popularitas tidaklah cukup bila tanpa didukung uang,” ungkapnya memelas.

Menurut Amar, dalam pesta demokrasi berbasis suara terbanyak, ongkos politik menjadi tinggi. Joke  sehari-hari antar warga jelang Pemilu selama ini, seperti “Iso diatur, nomor piro wani piro” (bisa diatur, nomor berapa, berani bayar berapa?) atau “menerima serangan fajar, lengkap dengan tarif”, adalah kenyataan, bukan fiksi. Bahkan, situasi itu makin menjadi-jadi di tengah jamaknya partai politik serta “saling sikut” antar calon anggota legislatif dengan beragam latar belakang maupun modus-sehingga sulit dari mereka menanggalkan biaya –yang masa kini di Indonesia disebut “jual-beli suara”.

“Oh ya?” tanya saya seolah meragukan.

Itu fakta, menurut Amar. Politik uang tidak berhenti jelang dan saat pencoblosan di TPS-TPS, tapi bisa berlanjut pasca pencoblosan, seperti jual beli suara antar Caleg di sebuah TPS guna mendongkrak raihan suara sehingga masuk ke dalam daftar suara terbanyak. Meski ranah itu rumit dan kompleks, tapi diakui Leo, kenyataan demikian itu sulit dibantah. Begitulah realitas Pileg saat ini, timpal Amar.

Sebagai pendengar, saya terbawa suasana miris. Meski sudah banyak publikasi yang menunjukkan politik uang sudah terjadi pada Pileg sebelum-sebelumnya, tapi Pileg tahun ini, merujuk pengakuan Amar dan Leo, makin menjadi-jadi karena mengendalikan calon pemilih dalam menentukan seorang Caleg secara signifikan.

 “Adakah hal lainnya?” tanya saya lagi.

Selain politik uang, juga yang tidak kalah penting adanya dukungan jaringan politik dinasti pemerintah lokal, sehingga beberapa Caleg yang terhubung baik secara kekeluargaan (biologis) dengan kepala daerah/pejabat maupun memiliki keterikatan dengan jaringan ekonomi-politik yang dibentuknya, juga mendapat perolehan suara berlimpah. Padahal mereka tergolong belum populer dan merupakan orang baru di lapangan politik praktis.

Tidak terasa hampir 4 jam kami bercakap-cakap. Café segera tutup. Pengunjung satu per satu mulai meninggalkan café.  Kulihat baik Amar maupun Leo mulai tampak bersemangat, tidak seperti awal jumpa. Mungkin ia mulai menerima kenyataan yang ditemuinya di lapangan berbeda dengan teori politik yang ia baca maupun rencana kerja tim yang disusun.

Di akhir percakapan, kami tetap bersepakat politik tidak boleh terbagi habis dalam electoral politics, apatah lagi hanya karena uang. Sebagaimana feodalisme dan nepotisme yang makin marak di republik ini melalui lembaga dengan format modern, politik uang adalah juga faktor yang telah menodai prinsip primer demokrasi itu sendiri.

*Kota Jambi, 22 Februari 2024.  Tulisan ini dikemas dalam bentuk cerita penuh dialog untuk menjadi bahan refleksi. Bisa jadi realitas politik di lapangan lebih kompleks dan rumit dari yang diceritakan. Semoga bermanfaat.


*Tulisan saya lainnya di link berikut ini:

1) Surat Terbuka untuk Caleg DPR RI Dapil Jambi

2) Kritik, Demokrasi dan Kekuasaan Pasca Pemilu

3) Pilpres 2024: Maklumat Kebudayaan

4) Di Balik Politik "Nomor Piro, Wani Piro"

5) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi

6) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024

7) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023

8) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023

9) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024

10) Meneroka Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023

11) Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan

12) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan

13) Mengantar Al Haris-Sani Ke Gerbang Istana

14) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi

15) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi

16) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi

17) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai

18) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik

0 Komentar