![]() |
ilustrasi.kompas.id |
Oleh: Jumardi Putra*
Hari-hari kita sekarang disesaki
rumor, gossip, amarah, hoax, dan segala tetek bengek lainnya seputar Pemilihan
Presiden maupun Anggota Legislatif baik level Kabupaten/Provinsi/DPR-RI. Tidak hanya
di darat, lalu lintas informasi di dunia maya pun tak kalah bising. Semua
perhatian tertuju pada peristiwa periodik lima tahunan itu, meski berkali-kali pula
kita ditampakkan sebuah keadaan yakni berganti rezim pemerintahan tidak secara
otomatis menjadikan bangsa ini benar-benar berdiri tegak sebagai negara yang
berdaulat secara politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian
dalam kebudayaan.
Gagasan Trisakti kesejahteraan yang disampaikan Bung Karno pada Peringatan 17 Agustus 1964 itu sampai sekarang tak ubahnya lagu usang yang kerap diputar lima tahun sekali. Mendengarkannya dapat menenangkan memang, tapi lantaran itu tidak berangkat dari realitas yang sebenarnya sehingga mudah pudar dari ingatan dan pengalaman nyata keseharian warganegara. Pendeknya, di ruang terbuka, slogan, jargon, dan janji-janji “serumpun padi” menjelma “tebaran ilalang”.
Sekalipun demikian, di balik per lima tahun itulah warga berkesempatan memikirkan ulang estapet kekuasaan di negeri
ini, karena sejatinya demokrasi memberi ruang terhadap “kekecewaan” agar bisa
berlaga secara rasional dan sekaligus menjadi bagian dari cara mengontrol
jalannya sistem demokrasi-prosedural- di negeri ini sehingga menghasilkan
produk kebijakan, program dan kegiatan yang benar-benar dapat menjamin terwujudnya
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Faktanya, selain politik yang
menjadi primadona di negeri ini, adalah juga tentang ekonomi. Sayangnya, dan ini
perlu digarisbawahi bahwa agenda politik dan ekonomi di republik ini masih belum
berhasil mengurai kepemilikan modal tak berbatas yang dikuasai hanya segelintir
pengusaha kaya yang bermesraan dengan kekuasaan (oligark). Itu kenapa kebijakan
penanggulangan kemiskinan maupun pembukaan lapangan pekerjaan belum segaris dan
sebangun dengan cita-cita mewujudkan kesejahetraan yang ditandai distribusi
kekayaan yang bersumber dari hasil bumi, air dan udara Indonesia untuk masyarakat sepenuhnya
tanpa memandang perbedaan baik wilayah, etnis dan status sosial.
Dalam situasi itu, bila politik
dan ekonomi bak gula yang diperebutkan, beda halnya dengan kebudayaan. Kebudayaan
yang saya maksudkan di sini, termasuk di dalamnya politik dan ekonomi, masih belum
menjadi pijakan/nilai kebaikan yang mendasari seluruh pemikiran maupun tindak tanduk mereka
yang ditabalkan sebagai pengambil kebijakan di republik ini agar mandiri dan konsisten
menjamin perjalanan bangsa ini di tengah gejolak ekonomi dan politik global
sebagai negeri yang kaya dan kekayaannya terdistribusi secara merata bagi
seluruh masyarakat di penjuru tanah air, dan karena kekayaan itu pula
menjadikan negeri ini ke depan sebagai negeri yang kuat, aman, damai, penuh cinta
serta jauh dari potensi disintegrasi, yang faktanya di banyak negara lain di belahan
dunia ini menjadi hancur lebur akibat konflik horizontal berlatar ketidakadilan
sosial, hukum dan ekonomi.
Di sinilah, menurut hemat saya, berkeperibadian dalam kebudayaan tidak saja menjadi sumber nilai kebaikan, tetapi yang tidak kalah penting juga menjadi pegangan bersama dalam membentuk peraturan perundang-undangan dan segala bentuk turunannya serta memanifestasikan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bukan lagi sebatas jargon kampanye lima tahun sekali, dan bukan pula menjadikannya sebagai realitas dongeng yang diceritakan para orangtua saat mengantarkan tidur anaknya.
*Jakarta, 24 Oktober 2023.
0 Komentar