Mengenang Sakti Alam Watir


Oleh: Jumardi Putra*

Di hadapan gundukan tanah itu saya menyaksikan Sakti Alam Watir benar-benar meninggalkan kita. Tetapi sejatinya ia tidak pernah pergi karena telah menghasilkan karya yang dibuatnya secara sungguh-sungguh semasa hidup, dan karena itu mengabadi.

Sosok periang ini tutup usia hari Kamis, sekira pukul 09.16 WIB di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher, Kota Jambi (30/6), setelah sebelumnya berobat intensif di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Upaya pihak keluarga tentu sudah maksimal, tetapi Allah SWT berketetapan lain. Sakti Alam Watir menghembuskan nafas terakhir kalinya dalam usia hampir 56 tahun. 

Kabar mangkat jurnalis cum fotografer ini sontak memenuhi dinding sebuah grup perpesanan Whatsapp dimana saya tergabung di dalamnya. Begitu juga di laman jejaring media sosial facebook, ucapan belasungkawa sekaligus doa menyertai kepergian bapak dua anak ini.

Mereka yang mengenal dan berdialektika bersama pria kelahiran tahun 1966 ini, utamanya dari kalangan jurnalis dan seniman merasa sangat kehilangan. Lebih-lebih kepergiannya menambah deretan jurnalis Jambi lainnya yang wafat belum lama ini seperti Nurul Fahmy, Nani Rachma dan Ridwan Junaidi. Allahuyarhuum.

Saya pertama kali berjumpa Bang Ii, begitu ia akrab disapa, sekira tahun 2011 saat aktif di Dewan Kesenian Provinsi Jambi. Saya akui komunikasi antara kami tidak seintens seniman atau jurnalis yang berada di sekitarnya. Perjumpaan kami lebih banyak dalam perhelatan seni seperti festival, pameran lukisan dan fotografi serta dialog seni di Taman Budaya Provinsi Jambi. Selebihnya beberapa kali saya diajak menemani dirinya bersama budayawan Jafar Rassuh mengunjungi pameran fotografi dan patung di kota Jambi.

Sakti Alam Watir

Bang Ii tipikal individu yang santai, menghindari sesuatu yang serba formal, dan satu lagi, ia tidak suka berdiskusi dengan seabrek teori yang memusingkan kepala. Hore!! Hore!! Begitu kata yang kerap terucap dari mulutnya sekaligus disertai mimik muka penuh riang dengan fose berdiri tegak memakai jurus bangau khasnya. Mereka yang mengenal dekat Bang Ii saya yakin akan selalu mengingat momen kocak tersebut.

Walakin itu bukan berarti ia menaruh ketidaksukaan pada ilmu dan hal-hal lainnya yang mesti disikapi serius, kerena toh profesi jurnalis maupun seni yang ia geluti semasa hidup berkait erat dengan warna-wicarana pengetahuan dan tradisi.

Menurut saya pengalaman lapangan dan jaringan organisasi dan komunitas merupakan porsi terbesar yang membentuk dirinya tumbuh berkembang selama menekuni profesi baik sebagai jurnalis dimulai tahun 1982 maupun sebagai seniman secara intens sejak terbentuk Dewan Kesenian Provinsi Jambi tahun 1996. Dari sekian banyak karya fotografi Bang Ii barangkali yang perlu mendapat perhatian adalah buku berjudul Nandung Batu Pelangi: Bunga Rampai Tembang Kabisat. Sebuah buku kolaborasi pantun plus foto karya budayawan Junaidi T. Noor dan fotografer Sakti Alam Watir. Secara umum karya fotografi Sakti Alam Watir bertitimangsa pada material kebudayaan lokal Jambi dan memang di situlah titik orientasinya sebagai pekerja seni.

Bang Ii kerap meminta saya menulis artikel tanggapan atas kegiatan seni yang diinisiasi dirinya maupun komunitas seni lainnya seperti kegiatan festival seni, pameran lukisan dan fotografi. Tidak semua permintaan beliau bisa saya penuhi, kecuali beberapa tulisan, sebut saja seperti pameran bertajuk Sang Pionir H. Syamsul Watir yang tidak lain adalah tokoh pers Jambi sekaligus orangtuanya sendiri. Begitu juga tulisan saya tentang sejarah bioskop di Kota Jambi dan kisah perjumpaan dua tokoh pers Jambi yaitu bapak AK. Mahmud dan Asri Rasyid setelah hampir 20 tahun keduanya tidak pernah berjumpa.

Penulis bersama Sakti, pak AK Mahmud dan Pak Asri Rasyid

Sebenarnya keikutsertaan saya pada momen langka tersebut, tepatnya pada Selasa, 28 Juli tahun 2020, lebih karena keinginan Bang Ii agar saya menulis panjang tentang tokoh pers Jambi, tidak terkecuali perihal ayahnya yaitu Syamsul Watir selaku pendiri koran Independent tahun 1973. Beberapa dokumen pers milik ayahnya dalam bentuk Word, PDF dan JPEG diberikan kepada saya sebagai sumber data penulisan. Tulisan tersebut digadang-gadang bakal menyertai pameran tokoh pers Jambi yang akan disiapkannya secara serius. Namun niat beliau tersebut tertunda bersamaan datangnya pandemi Covid-19 dan kondisi kesehatan Bang Ii yang terus menurun hingga akhirnya beliau wafat.

Sebelum sakit mendera Bang Ii, saya kerap berjumpa secara tidak sengaja dengannya (terkadang ditemani Perupa Fauzi Zubir maupun Jafar Rassuh) di kantor DPRD Provinsi Jambi terhitung sejak Juni 2021 dalam masa pagebluk Corona. Bukan tanpa sebab, Juni 2021 Bang Sakti membuat pameran lukisan perupa Jambi di gedung wakil rakyat beralamat di Jalan Ahmad Yani Nomor 2, Telanaipura, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi. Sependek yang saya ketahui, mungkin ia satu-satunya fotografer yang konsisten mengadakan pameran foto atau lukisan di kantor Gubernur, DPRD Provinsi, DPRD Kota dan berbagai hotel berbintang lainnya di Kota Jambi.

Hemat saya, pameran-pameran tersebut lebih banyak mengandalkan kedekatan emosional Bang Ii secara pribadi dengan para perupa, pejabat pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota, dan pihak hotel, tempat ia menyelenggarakan pameran serta adanya dukungan pemberitaan media koran cetak maupun online di Jambi. Tipologi demikian itu, sebagaimana kerap ia katakan kepada saya yaitu tidak lebih dari usahanya menunjukkan karya perupa Jambi di tengah minimnya perhatian dan apresiasi pengambil kebijakan di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah ini. 

Memang, pola penyelenggaraan pameran yang demikian itu memiliki titik kelemahan tersendiri ketimbang pameran yang disiapkan matang-matang seperti di galeri-galeri ternama di tanah air yang lumrah kita ketahui melalui kerja kurasi secara ketat. Ringkasnya, tidak sembarang karya lukisan bisa diikutkan pada sebuah pameran.

Pernah saya bertanya langsung ke beliau, kenapa tidak membuat pameran secara serius dengan dukungan manajemen sekaligus kehadiran kurator disertai publikasi berupa katalog, buku kritik senirupa dan forum diskusi untuk merawat tradisi seni rupa yang berkualitas, dan ujungnya bisa menciptakan pasar seni rupa? Galibnya, Bang Sakti dengan enteng menjawab bahwa yang demikian itulah kemampuannya. Bahkan, diakuinya tidak jarang pameran yang dibuatnya menguras uang dari kantongnya sendiri.   

Sakti Alam Watir mengikuti Kongres Serikat Penerbit Surat Kabar (1994)

Karir Sakti Alam Watir sebagai wartawan dimulai tahun 1982 hingga saat ini. Hanya saja sejak terlibat aktif mengurusi kesenian, informasi atau peristiwa yang ditulisnya lebih banyak bertitimangsa pada geliat kesenian. Kiprah semasa hidup Sakti Alam Watir terlihat dari jabatan organisasi yang pernah dipercayakan kepadanya, sebut saja seperti Ketua Umum Dewan Kesenian Jambi pada tahun 2001 sampai tahun 2005, Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI-Jambi) pada tahun 1998 sampai tahun 2003, dan Ketua Serikat Penerbit Surat (SPS) Kabar Harian Cabang Jambi masa bakti tahun 2017-2021. Sebuah perjalanan sekaligus dedikasi pada jurnalisme dalam rentang waktu yang panjang.

Demikian sekelumit tentang Sakti Alam Watir yang saya ketahui. Dari tangan dinginnya bermunculan karya dan perhelatan seni yang menjadikan Jambi dikenal lebih luas. Salah satunya yaitu kehadiran Museum Bioskop yang juga terintegrasi dengan Tempoa Art Gallery beralamat di Jalan Tempoa II Jelutung No. 21, Kota Jambi, itu tidak terlepas dari kontribusinya sehingga harta karun kebudayaan populer periode tahun 1976 sampai 1990an milik keluarga pengusaha cum seniman Harkopo-Lie dikenal publik nasional hingga saat ini. Begitu juga melalui kemurahhatiannya bermunculan wartawan-wartawan muda Jambi baik yang bekerja langsung di media yang ia pimpin maupun melalui kanal-kanal kreatif lainnya. 

Selamat Jalan Bang Ii. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa Abang dan memberi tempat terbaik buatmu di sana. Satu-satu datang. Satu-satu kembali pulang. Begitulah kehidupan yang serba sementara ini. Tugas kami pula yang ditinggalkan mengarungi kehidupan yang penuh onak dan duri.

Dari lokasi pemakaman Bumi Makmur, kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Jambi Selatan, Kota Jambi, tempat Bang Ii dikebumikan, dalam perjalanan menuju pulang tetiba saya teringat ungkapan budawan UU Hamidy berikut ini, "Bila saya sebagai seorang budayawan meninggal dunia, maka siapa yang akan menggantikan saya? Tetapi bila seorang pejabat pemerintah yang meninggal dunia, seketika itu juga orang akan berebut untuk menggantikan posisinya".

*Kota Jambi, 1 Juli 2022. Tulisan ini terbit pertama kali di kanal www.kajanglako.com dan portal www.jamberita.com.


*Tulisan saya lainnya:

(1) Langkah Sunyi Bung Firdaus

(2) Setelah Fakhrudin Saudagar Tak Ada Lagi

(3) Selamat Jalan Budayawan Junaidi T. Noor

(4) Syamsul Watir, Pers Jambi (tanpa) Pusat Dokumentasi

(5) Jalan Seni Pelukis Fauzi

(6) Sosok dan Pemikiran Perupa Firman Lie

(7) Jejak Langkah Perupa Sumardi

(8) Selamat Jalan Bung Nurul Fahmy

(9) A. Mukty Nasruddin: Penulis Sejarah Jambi (yang) Dilupakan

(10) In Memoriam Datuk Bandar Paduko Batuah Sulaiman Hasan

0 Komentar