![]() |
| ilustrasi |
Oleh: Jumardi Putra*
Tumpukan arsip dan kliping
koran itu dilumuti sawang. Kotoran tikus ataupun cicak yang sengaja berak di
atasnya membuat seisi ruangan tampak kumuh. Memang, tahun ketiga setelah
tinggal di salah satu rumah semi permanen di kampung Maju Sentosa, Yogyakarta, saya
tak punya waktu untuk menata arsip-arsip itu untuk didokumentasikan. Bahkan,
gundukan arsip itu hampir menyentuh langit ruangan. Posisinya bersebelahan
dengan kamar tidurku.
Suatu siang, tepatnya di hari
Minggu aku berniat mengunjungi kamar arsip. Benar saja, puluhan tikus dari
berbagai ukuran badan, tanpa izin telah menjadikan gudang itu sebagai tempat
tinggal mereka. Arsip-arsip yang kukumpulkan sejak awal kuliah di salah satu
perguruan tinggi negeri di Yogyakarta seolah menjadi kasur empuk bagi tikus sekeluarga.
Sontak, kedatanganku tampak
menganggu kenyamanan mereka. Ada yang ngumpet dan ada juga yang lari terbirit-birit
pergi entah ke mana. Di antara tumpukan arsip tersebut, saya lansung mengambil arsip
terbungkus plastik dalam kondisi memperihatinkan. Kertasnya sudah menguning. Lembar-lembar
pojok kertasnya juga rontok. Selain suhu ruangan yang lembab, juga posisinya terhimpit
di bagian paling bawah. Khawatir rusak total, aku pun mengambinya dengan
hati-hati. Ternyata, arsip itu adalah kumpulan berita dari berbagai media cetak
nasional tentang penggusuran masyarakat Gajah Wong oleh pemerintah kota
setempat. Niatku untuk menata keseluruhan arsip-arsip itu pun gagal total. Aku segera
mengunci pintu gudang, lalu menuju warung Burjo di dekat tempat tinggalku.
Ditemani secangkir kopi, aku
membaca halaman demi halaman liputan berita itu. Memoriku pun terbawa pada
peristiwa tiga tahun yang lalu. Hal yang sangat mendasar dari beberapa arsip
tersebut adalah persoalan pelik yang dihadapi oleh kaum miskin kota. Kehidupan
mereka selalu dihantui oleh penggusuran. Mereka menjadi warga negara yang
ilegal di mata pemerintah yang sedang berkuasa.
Di tepi kali Gajah Wong
adalah cerita kehidupan orang-orang yang tidak memiliki apa-apa. Mereka
merupakan kaum marginal yang selalu dijauhkan dan dianggap aib pembangunan.
Apalagi jika pemerintah setempat berkeinginan meraih reward dari pemerintah sebagai kota bersih dan rapi.
Namun di tepi kali Gajah
Wong, tak serta merta hanya menjadi tempat tinggal mereka yang hidup di bawah
kemiskinan, melainkan tempat dimana kehidupan bergitu dihargai sesama mereka senasib
dan sepenanggungan. Di tengah kemelaratan pun, mereka tetap bertahan untuk terus
hidup dan berharap bisa merubah nasib anak-anaknya kelak .
Aku pun berpikir, kapan dan
di mana ada kenyataan jika rakyat miskin mendapat ha-hak normatifnya,
sebagaimana termaktub di dalam Undang-undang Dasar 45. "Huhhh...sebuah
lamunan yang indah", gerutuku seketika.
Berselang dua hari setelahnya,
arsip yang mengupas peristiwa di Tepi Kali Gajah Wong itu terulang kembali. Namun,
waktu saja yang membedakannya. Puluhan rumah kumuh di sepanjang kali (sungai)
Gajah Mungkur, 10 kilometer dari lokasi kali Gajah Wong turut digusur. Rmah-rumah
semi permanen hancur total setelah digempur tiga eskavator berukuran besar. Aku
melihat masyarakat setempat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa histeris
mengalami penggusuran itu. Bahkan, seorang ibu berumur 45 tahun tanpa segan
membuka bajunya di depan umum. Ia memprotes penggusuran itu dengan suara
lantas, tapi kalah oleh deru eskavator di dekatnya.
Laiaknya sinetron, cerita iba
itu bersambung. Dua hari setelahnya, rumahku beserta tempat tingga para
penduduk di sepanjang sungai desa Maju Sentosa kena gusur.
Pasalnya, aku mendapat surat pemberitahuan mendadak dari dinas kependudukan setempat, setengah jam sebelum penggusuran. Bahwa rumah saya akan digusur karena akan dibangun perumahan elit.
"Nestapa hidup di negeri
ini". Di mana para wakil rakyat yang aku pilih belum lama ini?".
Duh aduh..hidup miskin
ternyata tidak menyediakan banyak pilihan, kecuali minggat dari tanah
kelahiranku. Padahal menurut penuturan mbah Sanusi, salah seorang sesepuh
(penduduk pertama) di desa tersebut mengatakan bahwa Indonesia adalah bagian
dari Desa Maju Sentosa.
Sejak itu, aku menyebut
peristiwa penggusuran di sepanjang kali Desa Maju Sentosa tersebut
sebagai peristiwa 'Di Tepi Kali Gusur'.
Kenapa saya menamakan
peristiwa tersebut semacam itu. Karena frekuensi penggusuran yang kian
meningkat, maka Indonesia-bagi kaum miskin-desa-kota-adalah lautan penggusuran.
Aku pun tak kuat lagi
menyimpan arsip-arsip koran tentang mereka yang digusur. Untuk apa? Kalau hidup
di negeri ini hanya menunggu giliran kena gusur.
*Yogyakarta, 2009.

.jpg)
0 Komentar