Amuk Corona dan Bias dr Lois

ilustrasi. sumber: joshua siringoringo/katadata

Oleh: Jumardi Putra*

Sepekan terakhir ini berita seputar dr. Lois meruap ke publik. Pandangannya tentang Covid-19 seolah menjustifikasi anggapan mereka yang jauh sebelum ini memang menaruh ketidakpercayaan terhadap virus mematikan itu, meski jutaan warga terpapar corona dan puluhan ribu meninggal dunia karenanya, terhitung sejak kasus pertama Covid-19 ditemukan di tanah air awal Maret 2020. Tidak terkecuali tenaga kesehatan harus bertaruh nyawa di garda terdepan dan bahkan sebagian besar dari mereka meregang nyawa. Dan, pandemi ini merupakan problem global, bukan semata domestik. 

Sekalipun pandangan dr Lois bukanlah hal baru, ia tetap menemukan relevansinya bagi penanganan kesehatan pasien Covid-19 dan sudah semestinya mendapatkan respon dari pemerintah terutama dari Kementerian Kesehatan (dan jajarannya sampai ke daerah-daerah) melalui kanal yang tepat dan dikaji lebih lanjut oleh para pakar. Apa dan kenapa?

Bukan justru memenjarakannya dan atau menciptakan ketakutan-ketakutan yang tidak perlu terhadap pandangan seorang warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Kerjasama dari semua elemen masyarakat di tanah air melawan virus corona adalah dengan keterbukaan.

Pandangan dr Lois menjadi masalah, bersamaan respon dari pemerintah yang lamban, lantaran masyarakat awam yang menerima potongan-potongan informasi bersumber dari dr Lois baik di layar tivi, media sosial, dan aplikasi perpesanan pribadi maupun grup seperti WhatsApp dan telegram, berlagak laiknya dokter atau tenaga kesehatan.

Simpangsiur informasi bersamaan buruknya sistem komunikasi penanggulangan Covid-19 di semua level birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah membuat bias pandangan dr Lois masuk ke bilik-bilik pribadi perpesanan WhatsApp maupun telegram dengan kecepatan yang mencengangkan dan tidak pula didukung self cencorship pengguna seluler saat mengakses informasi di internet.

Sedari bersama, internet adalah lingkungan tanpa aturan yang membuka pintu untuk konten apapun, baik yang digerakkan oleh pemasaran, politik, maupun keputusan orang awam, dan bukan penilaian para pakar.

Tidak heran di abad informasi sekarang ini gawai bisa menjelma budak yang memudahkan, tetapi kali lain bisa menjadi majikan yang mengerikan. Dalam konteks transmisi informasi dr Lois tersebut di atas, potensi kegaduhan mulai beralih menjadi ancaman di tengah semua kita membutuhkan kesatupaduan dan kepastian penanggulangan Covid-19. Situasi sekarang seolah menegaskan pemerintah gagap fase II penanggulangan corona dalam satu tahun setengah berjalan ini.

Pandemi Covid-19 secara struktural maupun kultural sama-sama menyimpan masalah. Pemerintah tidak perlu mengelak terhadap keadaan demikian dengan cara melakukan eufimisme di kanal-kanal informasi secara massif.

Kegamangan pemerintah pusat sudah terlihat sedari virus ini ditemukan Maret 2020, bahkan cenderung meremehkan saat mengetahui kasus pertama ditemukan di Kota Wuhan, Cina, Desember 2019. 

Problem struktural penanganan corona di Indonesia yaitu seperti kebijakan pembatasan sosial yang berubah-ubah (PSBB dan PPKM), refocusing anggaran berkali-kali dan sekaligus serapan belanja kesehatan yang rendah di daerah-daerah, koordinasi antar kementerian maupun di tingkat pemerintah daerah dan pihak terkait, ketakcukupan oksigen, manajemen resiko di rumah sakit yang buruk sehingga membuat pasien kebingungan, bantuan yang sosial yang lamban dan tidak tepat sasaran, dan vaksinasi yang tidak merata di daerah-daerah.

Sedangkan problem kultural seperti resistensi sebagian masyarakat terhadap vaksin hanya karena tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang asal muasal dan cara kerja vaksin di tubuh manusia. Begitu juga hoax seputar Covid-19 yang masih memenuhi percakapan warga di bilik-bilik perpesan online pribadi hingga warung kopi, dan ketidakpatuhan (bersikap masa bodoh) terhadap protokol kesehatan di ruang-ruang publik.   

Mari kita semua fokus dan jangan lupa menjaga imunitas tubuh serta pikiran melalui jalan panjang pandemi ini dengan penuh kecermatan. Bukan panik. Bukan pula menyebarkan pandangan-pandangan yang tidak segaris dan sebangun untuk percepatan penanggulangan Covid-19 di tanah air.

*Kota Jambi, 15 Juli 2021.

0 Komentar