Ben dan Nafsiah Mboi: Kisah Pasutri Pecinta Buku

Ben dan Nasfiah Mboi.

Oleh: Jumardi Putra*

Usai bincang-bincang bersama pengajar sekaligus peneliti bahasa Unika Atmajaya Jakarta, Regina Yanti, saya menyempatan diri singgah di perpustakaan riset yang berisikan ribuan buku-buku langka berangka tahun 1677-2015. Di sinilah tersimpan koleksi buku-buku hibah dari Ben dan Nafsiah Mboi kepada Unika Atmajaya Jakarta.

Kecintaan pasangan suami-istri ini pada buku mengingatkan saya pada pendiri bangsa, sebut saja seperti Soekarno, Tan Malaka, Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, yang menjadikan buku, menulis dan waktu perjalanan hidupnya begitu sudah menjadi senyawa. Bagi mereka, buku bak sahabat dekat, menjadi penggembira, dan penyubur keyakinan akan ideologi, politik dan arah kehendak massa rakyat terhadap kemerdekaan negaranya, terutama pada saat-saat dalam pengasingan/penjara.

Tak berlebihan bila tokoh sekaliber Roelan Abdul Gani (lahir di Surabaya, 24 November 1914 – meninggal di Jakarta, 29 Juni 2005 pada umur 90 tahun), menyebutkan generasi Soekarno dan Hatta asyik mengembara dalam dunia Socrates, Plato, Marx, Rever, dan banyak pemikir-pemikir lainnya. Pikiran mereka dibanjiri oleh mimpi-mimpi literatur Shakespeare, komposisi Mozart, dan membayangkan sebuah dunia utopis. Sebaliknya, generasi baru punya mimpi lain: mengendarai Lamborgini, ditemani oleh lagu-lagu Michael Jackson dan semangatnya marak dengan ekstasi. Dalam konteks ini, sekalipun kita tidak boleh membuat generalisasi antara keduanya, tetapi fakta masih rendahnya minat baca orang Indonesia, terlebih kian menguatnya penggunaan media sosial (facebook, twitter, dan instagram), problem tersebut sejatinya tak boleh dipandang sebelah mata.

Koleksi Ben dan Nafsiah Mboi ini menempati lantai dua perpustakaan Unika Atmajaya. Untuk sampai ke ruangan ini pengunjung terlebih dahulu melewati perpustakaan utama kampus. Lantaran tidak buru-buru, sebelum ke ruangan Ben dan Nafsiah Mboi, saya menyusuri koleksi buku-buku perpustakaan Unika Atmajaya. Ruangan perpus ini tidak seluas Grahatama Pustaka Yogyakarta, apalagi Perpustakaan Nasional di jantung Ibu Kota. Tetapi yang membuat saya senang justru dekorasi ruangan beserta tata letak rak-rak bukunya. Memaksimalkan lahan yang terbatas. Saya pun senang melihat banyak mahasiswa/i mengisi waktu di perpus tersebut. Bahkan, di sebelah kanan pintu masuk perpustakaan, tersedia bermacam judul buku secara gratis. 

Menariknya, di dinding dalam ruangan perpustakaan Unika Atmajaya terpahat kata-kata bijak dari tiga tokoh ternama, yakni “A Journey of a thousand miles begins with a single step” (Lao Tzu); “You are never too old to set another goal or to dream a new dream” (CS Lewis); dan “We are what we repeateadly do excellence, then, is not an act, but a habrt” (Aristotle). Kata-kata bijak tersebut sungguh familiar, sehingga tak perlu diterjemahkan lagi.

Sebelum sampai ke ruangan koleksi Ben dan Nasiah Mboi, saya melewati tangga, dan tepat di sebelah kanan pintu utama ruangan, sesiapa saja dipastikan menjumpai kata-kata mendiang Ben Mboi yang terpahat rapi di dinding bercat putih berbunyi, “leadership is a blessing. It is a calling, it is a privilege, it is an honor. At the same times it is a responsibility and a challangge."

Perpustakaan Utama Unika Atmajaya

Ruangan koleksi Ben dan Nafsiah Mboi ini menyimpan tidak kurang dari 22.000 buku. Sependek penelusuran saya, koleksi Ben & Nafsiah Mboi mencakup beragam topik, dimulai dari penjajakan Portugis, fase kolonialisasi Belanda, periode Indonesia merdeka, tata kelola pemerintah, pembangunan, kebijakan berbasis masyarakat, pendidikan, kesehatan, dan pengobatan tradisional. Buku-buku berjenis ensklopedi pun tampak mencolok di ruangan tersebut.

Ribuan koleksi tersebut merupakan hibah dari Ben dan Nafsiah Mboi kepada Unika Atmajaya sebagai tempat yang diyakini ideal untuk melestarikan pustaka ini. Peresmian perpustakaan riset ini berlangsung setahun lewat, tepatnya  15 Agustus 2018, bebarengan dengan 1000 hari wafat Ben Mboi, di auditorium Gedung Yustinus, Atma Jaya Jakarta.

Saya pikir pilihan Ben dan Nafsiah Mboi adalah tepat. Tidak sedikit kita mendapati cerita buku-buku bermutu koleksi pribadi tokoh/akademisi di tanah air tak terawat sepeninggalan mereka. Sebut saja, koleksi perpustakaan Yayasan Bung Hatta (berdiri pada 25 Agustus 1950) di Jl. Laksda Adisucipto 16, Yogyakarta, rentang waktu tahun 2000-2006, dalam kondisi terbengkalai, dan bahkan dindingnya tampak kusam, tripleksnya menggelambir dari langit-langit atap, dan gedung belakangnya lebih memperihatinkan yaitu selain dipenuhi bangku-bangku yang sudah tak layak pakai, juga dijadikan tempat mangkalnya perabotan-perabotan penjaja makan. Kondisi tersebut menahun hingga akhirnya dipindahkan ke perpustakaan Universits Gadjah Mada, Yogyakarta, melalui sebuah kesepakatan yang tertuang dalam SK Nomor 1898/O/KS/2006, ditandatangani Ketua Yayasan Hatta Meutia Hatta Swasono dan Sofian Effendi, pada tanggal 20 Mei 2006. Kini, bekas lokasi perpustakaan Yayasan Bung Hatta itu telah berganti bangunan hotel.

Ruang Buku Koleksi Ben dan Nafsiah Mboi

Kisah semacam ini bisa terjadi di banyak tempat. Di Kota Jambi, ambil misal, hibah ribuan buku milik mendiang tokoh pendidikan sekaligus legislator Mayloedin ADN kepada pemerintah kabupaten Bungo. Sayangnya, hingga sekarang saya belum mendapat informasi usaha serius pemerintah Bungo merealisasikan rencana tersebut. Padahal, diakui Mayloedin semasa hidup, buku-buku tersebut pernah mau dibeli oleh salah satu kepala daerah di provinsi Jambi dengan harga milyaran rupiah (dapat dibaca di sini: http://kajanglako.com/id-6748-post-mayloedin-adn-dan-buku.html).

Kembali ke koleksi Ben dan Nafsiah Mboi. Siapa kedua tokoh ini? Mungkin nama Ben kalah familiar dari Nafsiah Mboi, sang istri, yang dipercaya oleh presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada kabinet Indonesia Bersatu II sebagai Menteri Kesehatan, mengganti Endang Rahayu Sedyaningsih, yang meninggal karena penyakit kanker pada tanggal 2 Mei 2012.

Ben, suami Nafsiah Mboi ternyata bukan semata seorang dokter. Pria dengan pangkat militer terakhir, yakni Brigjen TNI dr. Aloysius Benedictus Mboi, M.P.H., ini lahir di Ruteng, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, 22 Mei 1935. Dokter lulusan Universitas Indonesia ini mengawali karier di dua bidang dalam waktu bersamaan, yakni kesehatan dan militer. Pria yang meninggal dunia di Jakarta, 23 Juni 2015, pada umur 80 tahun, ini tercatat pernah ikut dalam Operasi Trikora bersama Benny Moerdani di Papua Barat pada tahun 1962. Tak hanya itu, Ben pernah menjadi Gubernur NTT (Nusa Tenggara Timur) untuk periode 1978-1988.


Kisah cinta Ben dan Nafsiah Mboi bermula dari pertemuan di kampus FK UI. Ben adalah kakak kelas Nafsiah. Ben sendiri merampungkan studi  S1 pada 1961. Lalu, usai Nafsiah lulus tiga tahun setelahnya (1964), mereka memilih berumah tangga dan dikaruniai 3 orang anak.

Riwayat pendidikan mereka berdua boleh dikata cukup mentereng. Bila Bu Nafsiah mengambil spesialis anak untuk Master of Public Health (MPH) dari Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgia, pada tahun 1990 dan sempat menjadi research fellow untuk Takemi Program dalam kesehatan internasional di Universitas Harvard, Cambridge, AS, pada tahun 1990-1991, Pak Ben dengan beasiswa WHO mengambil Masters Degree in Public Health di The Prince Leopold Tropical Institute di Antwerp (Belgia). Lalu Pak Ben meneruskan studi terkait national health insurance programs di Belgia, Norway, Belanda, Inggris dan Jerman Barat. Bahkan, beliau sempat studi manajemen di the University of Louvain (Belgia).

Ruangan koleksi Ben & Nafsiah Mboi ini boleh dikata belumlah ideal untuk menyimpan ribuan koleksi buku. Jarak antara rak buku terbilang sempit sehingga tidak begitu leluasa bagi pembaca. Tetapi kebersihan dan kenyamanan ruangan ini sedikit membuat pengunjung mengabaikan hal demikian, setidaknya itu yang saya rasakan. Mungkin, ruangan semacam ini lebih cocok untuk mereka yang tengah menjalani masa fellowship bidang disiplin ilmu tertentu.

Namun demikian, satu jam lebih saya di ruangan koleksi Ben & Nafsiah ini, kembali mengingatkan saya, selain novel tipis berjudul “La casa de papel” karya Carlos Maria Dominguez, yang mengisahkan keunikan dan ‘kegilaan’ para pecinta buku, juga pada sebuah esai ciamik Mario Vargas Llosa: Efitaf untuk Sebuah Perpustakaan-tentang keindahan sekaligus kekayaan koleksinya-sembilan juta judul-Ruang Baca utama Perpustakaan di jantung British Library, London, 1997, tempat dimana Carlos menghabiskan berjam-jam waktu setiap hari sepanjang dirinya di London, menyiapkan bahan-bahan kuliah sastra di Queen Mary College dan King’s College, serta menulis surat, artikel, esai, karya teater, dan setengah lusin novel. Bahkan, di Ruang Baca itu, tulis Mario Vargas Llosa, Karl Marx tua menghabiskan sebagian besar hidupnya.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada 5 September 2019. 

Rujukan:

- Novel “La casa de papel” (Ediciones de la Banda Oriental, Uruguay, 2002) diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dengan judul “Rumah Kertas”, dan diterbitkan oleh Marjin Kiri, 2016.

- Esai berjudul Efitaf untuk sebuah Perpustakaan merupakan terjemahan bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dari El Lenguaje de la pasión karya Mario Vargas Llosa (Madrid: Punto de lectura, 2007 [2001]), hlm. 198-204. Esai terjemahan tersebut tergabung dalam sebuah buku “Matinya Seorang Penulis Besar” karya Mario Vargas Llosa, penerjemah Ronny Agustinus (Octopus, 2018, hal. 57-64).

- Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit dan Pamong Praja, Penyunting: Candra Gautama dan Riant Nugroho, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2011.
- Retnowati Abdoelgani, “Knapp, A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia.” Singapore-Kuala Lumpur: Times Books International, 2003, hal. 227.

- Foto Gubernur Ben Mboi (Alm) ketika memantau persawahan di Lembor (Sekarang Manggarai Barat) didampingi oleh Ibu Nafsiah Mboi, Alm. Saverinus Soewardi (Anggota DPR RI), Ny Frans D Burhan dan Felix Pullu (Ketua Komisi Pembangunan DPRD NTT), tahun 1980-an. Foto tersebut diambil dari portal karyantt.com

0 Komentar