Aceh Setelah Tsunami dan Konflik; Catatan Perjalanan

Sumur doa museum tsunami Aceh

Oleh: Jumardi Putra*

Nun, saya benar-benar menginjakkan kaki di Bandara Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, di Bumi Nanggroe Aceh Darusalam, setelah sebelumnya menempuh perjalanan udara selama 2 jam 28 menit menggunakan maskapai Garuda dari Jakarta, 4 Juni 2023.

Ini kali pertama saya mengunjungi daerah berjuluk Serambi Mekkah itu, setelah sebelumnya saya mencermati dinamika perkembangan daerah berpenduduk sebanyak 5.739.973 jiwa itu melalui berita di layar tivi, ekplorasi destinasi wisata sejarah dan budaya di kanal youtube, dan pelbagai literatur yang menganggit tentang sejarah, ekonomi, dan peristiwa politik di Aceh. Selebihnya melalui sejawat asal Aceh yang pernah sama-sama mengikuti kelas advance pengelolaan keragaman di CRCS UGM beberapa tahun yang lalu, dan silaturrahmi gagasan antara kami masih terus berjalan hingga sekarang.

Ingatan saya tentang Aceh melekat kuat lebih kepada peristiwa tsunami 2004 dan disusul peristiwa bersejarah setahun setelahnya yakni berakhirnya konflik GAM-RI lewat Perjanjian Helsink, Finlandia. Beberapa buku tentang Aceh yang pernah saya baca, antara lain Memetakan Masa Lalu Aceh, suntingan R. Michael Feener, Patrick Daly, dan Anthony Reid (2011). Buku itu mengetengahkan sisi positif Aceh namun terabaikan dari perhatian cerdik cendekia yakni sebagai kerajaan maritim Asia Tenggara yang berhasil dan dengan cerdik mempertahankan kemerdekaannya hingga tahun 1874. Seperti Burma, Siam, dan Vietnam, semua terlindungi oleh posisi geografis masing-masing, Aceh memiliki riwayatnya sendiri sebagai sekelompok masyarakat berbudaya unik yang berjuang untuk mempertahankan diri dari dominasi kolonial Eropa.

Buku

Buku berikutnya yaitu Aceh Setelah Tsunami dan Konflik, suntingan Patrick Daly, R. Michael Feener, dan Anthony Reid, sebuh buku yang berasal dari konferensi Internasional untuk Kajian Aceh dan Samudra Hindia (International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies- ICAIOS) di Banda Aceh pada 24-27 Pebruari 2007, yang membahas seismologi, geologi dan isu lingkungan; penyelesaian konflik, upaya perdamaian dan demokratisasi; serta penanggulangan bencana dan rekonstruksi. Selain itu, juga mengungkai sejarah; hukum Islam dan masyarakat Islam; serta bahasa, budaya dan masyarakat Aceh. Dua buku lainnya lagi yaitu antologi pemikiran bertajuk Aceh Kembali Ke Masa Depan terbitan Institut Kesenian Jakarta (2005) dan buku Dari Jawa Menuju Atjeh (KPG, 2009), memuat catatan perjalanan, pemikiran, dan kepedulian jurnalis cum esais Linda Christanty terhadap sejumlah orang dari Jawa sampai Aceh.

Dalam perjalanan menuju hotel Grand Arabia tempat menginap, saya melewati Kuburan Massal Ulee Lheue, salah satu kuburan massal korban tsunami Aceh pada tahun 2004. Kuburan massal itu terletak tidak jauh dari pusat kota Banda Aceh yaitu di Gampong Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh.

Sopir yang membawa saya dan rombongan menuturkan peristiwa traumatik 19 tahun silam itu. Kebetulan ia termasuk warga yang selamat dari musibah dahsyat tersebut. “Saat itu saya masih berumur 10 tahun. Saya selamat setelah memilih memanjat sebuah pohon tinggi. Sedangkan situasi di bawah saya, bersamaan arus deras air yang bersumber dari laut Banda Aceh, terdampar banyak jasad tak bernyawa di antara rongsokan pelbagai macam barang, kendaraan dan bagian dari reruntuhan bangunan,” kenangnya sembari menunjukkan kepada kami pohon yang dulunya pernah ia panjat.  

Penggalan cerita demikian itu sempat membuat hati saya diliputi mendung. Lebih-lebih saat ia menceritakan sanak saudaranya ikut terbawa arus tsunami dan dikuburkan di komplek makam massal tersebut. Sejenak suasana dalam mobil yang kami tumpangi menjadi hening. Namun, berkat keramahan sekaligus logat bicara sang sopir, kami kembali dibuat ceria setelah ia menyebutkan menu makanan khas Aceh sekaligus hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pendatang selama berada di Kota Banda Aceh.   

Di sela-sela itu, dari balik kaca mobil saya melihat bangunan-bangunan bersejarah peninggalan masa kolonial di Banda Aceh yang masih terlihat kokoh. Begitu juga saya melewati bangunan Museum Tsunami Aceh, bersebelahan dengan Kerkhof Peucut, komplek makam serdadu Belanda (KNIL) yang tewas pada Perang Aceh dalam rentang tahun 1873 hingga 1904.

“Lepas kegiatan resmi di BPKA besok, saya akan ke tempat-tempat tersebut,” batinku.

Alhamdulillah, sekira pukul 17.45 WIB, saya sampai di hotel Grand Arabia tempat saya menginap selama bertugas di kota Banda Aceh. Sebelum sampai hotel, saya bersama rombongan terlebih dahulu menikmati makanan khas Aceh di warung Ayam Pramugari. Hotel tempat kami menginap berada di jantung Kota Banda Aceh, tepatnya di Jl. Prof. A. Majid Ibrahim II No.3, Kp. Baru, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Di hadapan hotel itu terdapat Lapangan Blang Padang, semacam Alun-alun di Jawa, tempat bagi warga kota berolahraga di pagi atau sore hari. Di taman itu terdapat replika Pesawat Dakota RI-001 Seulawah, salah satu bukti kecintaan Aceh kepada ibu pertiwi dan sekaligus Pesawat yang menjadi cikal bakal Indonesian Airways yang kemudian berganti nama menjadi Garuda Indonesia.

Diskusi bersama BPKA

Senin, 5 Juni 2023, membersamai Anggota Badan Anggaran DPRD Provinsi Jambi, tenaga ahli dan pendamping, kami mengunjungi kantor Badan Pengelola Keuangan Aceh (BPKA) di Gedung D Kompleks Kantor Gubernur Aceh, Jl. Teuku Nyak Arief No.21. Di kantor itu kami berdiskusi secara mendalam tentang optimalisasi pendapatan, belanja dan pengelolaan aset milik daerah serta realisasi pariticipating interest 10% pada wilayah kerja migas di Aceh. Dari sisi sejarah politik dan pemerintahan, Aceh memiliki otonomi khusus, termasuk dalam pengelolaan sektor SDA serta pada aspek keuangan (fiskal). Dengan demikian, regulasi dan kebijakan turunannya, serta informasi maupun kendala dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menjadi sesuatu yang penting didalami untuk mendapatkan sebuah pembelajaran bagi daerah seperti provinsi Jambi yang notabene juga memiliki kekayaan sumber daya alam berlimpah seperti minyak dan gas, batu bara dan kekayaan lainnya yang bersumber dari hutan maupun hasil perkebunan.

Usai dari BPKA, saya bersama rombongan mengunjungi Museum Tsunami Aceh yang diresmikan pada Februari 2008. Museum ini terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda dekat Simpang Jam dan berseberangan dengan Lapangan Blang Padang kota Banda Aceh.

Gedung Museum Tsunami Aceh

Setiba di Museum nan megah dan futuristik itu, ingatan saya tentang gempa bumi yang mengakibatkan tsunami tahun 2004 di Banda Aceh kembali menyeruak. Saya melihat warga keluar-masuk dari museum ini. Selain menjadi tempat mengenal peristiwa alam nan dahsyat 2004 silam, museum ini juga menjadi pusat pendidikan dan sebagai pusat evakuasi jika bencana tsunami sewaktu-waktu datang lagi. Museum Tsunami ini buka setiap hari (kecuali Jumat) pukul 09.00-12.00 dan 14.00-16.00 WIB. Museum Tsunami Aceh saat ini memberlakukan tiket masuk (anak-anak/pelajar/mahasiswa Rp3.000; Dewasa Rp5.000; WNA Rp15.000).

Bangunan museum ini didesain oleh arsitek Indonesia M. Ridwan Kamil. Desain yang berjudul Rumoh Aceh as Escape Hill ini mengambil ide dasar rumoh Aceh yaitu rumah tradisional masyarakat Aceh berupa bangunan rumah panggung, sesuatu yang lazim juga di provinsi Jambi. Biaya pembangunan Museum ini sekitar Rp 70 miliar dan memiliki 2 lantai. Lantai satu merupakan area terbuka yang bisa dilihat dari luar dan fungsinya sebagai tempat untuk mengenang peristiwa tsunami.

Di lantai satu terdapat beberapa ruangan yang berisi rekam jejak kejadian tsunami 2004. Antara lain ruang pamer tsunami, pratsunami, saat tsunami dan ruang pasca tsunami. Selain itu, beberapa gambar peristiwa tsunami, artefak jejak tsunami, dan diorama juga ada di lantai ini. Salah satunya adalah diorama kapal nelayan yang diterjang gelombang tsunami dan diorama kapal PLTD Apung yang terdampar di Punge Blang Cut. Sedangkan di lantai dua museum berisi media-media pembelajaran berupa perpustakaan, ruang alat peraga, ruang 4D (empat dimensi), dan souvenir shop. Selain itu, museum ini juga menampilkan simulasi elektronik gempa bumi Samudra Hindia 2004, foto-foto korban dan kisah dari korban selamat, serta ruang pameran temporer.

Ruang pameran foto museum Tsunami Aceh

Di museum ini juga terdapat bioskop mini. Selama di dalam ruangan itu pengunjung tidak boleh menyalakan kamera atau smartphone, dan tidak diperbolehkan merekam pada saat menonton video gempa bumi dan tsunami dengan durasi 12 menit. Saya beserta rombongan sempat menonton di bioskop minim itu. Air mata saya berkaca-kaca tak kuasa menyaksikan peristiwa paling memilukan di Tanah Rencong 2004 silam.

Eksterior museum ini tampak jelas menunjukkan ekspresi keberagaman budaya Aceh dengan ornamen dekoratif berunsur transparansi seperti anyaman bambu. Tampilan interiornya didesain khusus sehingga mampu menggiring pengunjung pada perenungan atas musibah luar biasa yang diderita warga Aceh sekaligus bukti kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Tidak heran, seisi ruangan museum ini kerap dijumpai firman Tuhan, Allah SWT, tentang fenomena Alam dan kewajiban bagi umat serta konsekuensi bila tidak mampu menciptakan harmoni.

Penulis, dkk, di Jembatan dalam museum Tsunami

Saat mulai memasuki museum Tsunami, saya menemui lorong sempit dengan air terjun yang mengeluarkan suara begemuruh di kedua sisinya seakan mengingatkan dahsyatnya gelombang tsunami. Pada momen itulah saya dibuat termenung, karena mengingat akibat yang ditimbulkan oleh gempa bumi dan tsunami 2004 silam. Saya berkeyakinan pengunjung lain akan mengalami hal serupa bila melewati lorong tersebut. Setakat hal itu, salah satu tempat yang benar-benar menghadirkan refleksi buat saya pribadi dalam museum ini yaitu sumur doa. Di sumur doa tercatat ribuan nama - nama korban gempa dan tsunami Aceh yang terjadi 19 tahun silam. Saat bersamaan lantunan ayat suci alquran sayup-sayup terdengar. Lagi dan lagi, saya kembali diingatkan bahwa kematian itu bisa datang kapanpun, tanpa bisa diketahui pastinya.

Selanjutnya, di museum ini terdapat jembatan yang cukup panjang yang menghubungan antar ruangan di dalam gedung museum. Jembatan ini boleh dikata instagramble, sehingga tak heran bila banyak pengunjung mengabadikan momen berswafoto di area tersebut. Ditambah lagi, di langit jembatan terlihat bendera - bendera dari pelbagai negara yang ikut serta membantu Indonesia yang terkena bencana tsunami Aceh di Indonesia.

Demikianlah, usai menyusuri seisi museum Tsunami Aceh, saya memilih melanjutkan perjalanan ke Kerkhof Peucut, komplek makam serdadu Belanda (KNIL) yang tewas pada Perang Aceh dalam rentang tahun 1873 hingga 1904, belokasi tepat di sebalahnya. Nah, bagaimana hasil kunjungan saya di Kerkhof Peucut maupun tempat-tempat bersejarah lainnya selama di Banda Aceh, sila pantengi tulisan-tulisan saya selanjutnya di sini.

 *Kota Jambi.

0 Komentar