Menepi di Tebet

Penulis

Oleh: Jumardi Putra*

Jakarta begitu terik. Dari arah Cikini, Senen, Jakarta Pusat, saya bergegas menuju Jalan Tebet Barat Dalam Raya Nomor 29, RW.2, Kec. Tebet, Jakarta Selatan.

Tidak ada hambatan yang berarti selama dalam perjalanan kecuali macet di beberapa titik. Lantaran saya menggunakan gojek, agak lebih leluasa melewati ruas jalan yang disesaki kendaraan roda empat yang terjebak macet. Tidak butuh biaya besar untuk sampai ke lokasi tujuan. Saya hanya perlu mengeluarkan biaya gojek sebesar Rp.23.000.

Sesampai di lokasi saya langsung memasuki gedung Baca di Tebet, sebuah perpustakaan yang menyimpan buku lebih kurang 25.000 eksemplar. Lantai pertama dari gedung tersebut adalah warung “makan di Tebet”. Beberapa rak buku terpasang di dinding lantai satu tersebut. Keberadaan buku-buku tersebut menandai bahwa ruangan di gedung tersebut memang didesain mengakrabi buku.

Ruang baca

Atas saran salah seorang pengelola “makan di Tebet”, saya menuju lantai dua yang merupakan ruang utama bagi para pengunjung yang ingin membaca dan menulis. Lantai inilah yang dikenal publik Jakarta sebagai perpustakaan “Baca di Tebet”.

Kunjungan pertama kali saya ke perpustakaan ini melengkapi kunjungan saya sebelumnya ke Perpustakaan Prof. H.A.R. Tilaar di Jalan KH. Wahid Hayim (baca di sini: Merajut Asa di Ruang Baca Prof. Tilaar) dan Perpustakaan Erasmus Huis di Blok C No, Setiabudi, Jl. H. R. Rasuna Said No.3, RT.8/RW.3, Kuningan Tim, Kecamatan Setiabudi.

Perpustakaan Baca di Tebet tergolong pendatang baru di jagad perpustakaan di Jakarta, meski kedua sosok pendirinya adalah mereka yang sudah lama menekuni dunia kepenulisan dan buku yakni seorang penulis bernama Wien Muldian dan seorang pengacara bernama Kanti W. 

Baca di Tebet resmi dibuka untuk umum pada tanggal 20 Februari tahun 2022. Sebagian besar buku-buku di perpustakaan ini merupakan koleksi pribadi dari sang pendiri, Wien Muldian dan sebagian lagi berasal dari koleksi pribadi Kanti serta sebagian lagi sumbangan dari orang-orang yang menaruh perhatian pada gerakan literasi. Koleksi buku-buku di sini menyasar banyak tema atau disiplin keilmuan seperti sejarah, filsafat, politik, ekonomi, sosial, antropologi, hukum, pendidikan, budaya, dan sastra. Selain buku-buku berbahasa Indonesia, juga tersedia dalam bahasa asing.

Ruang Temu

Di titik ini saya menaruh kekaguman pada semangat Win Muldian yang berinisiatif membuka akses seluruh buku miliknya bagi publik. Memilih menghadirkan perpustakaan tentu harus menyiapkan banyak hal, antara lain seperti gedung, dukungan manajemen, pendanaan, dan sumber daya manusia sebagai pengelola. Hal ini penting karena perpustakaan dibuat bukan untuk sebentar, melainkan harus bisa bertahan dalam jangka waktu lama.

Sesampai di lantai dua Baca di Tebet saya bertemu dengan pengelola. Darinya saya mengetahui bahwa perpustakaan ini menerapkan biaya keanggotaan mulai dari harian, bulanan, hingga tahunan agar berbagai pihak turut berkontribusi untuk keberlanjutan dan merawat tempat ini tanpa menggantungkan diri pada donasi. Saya sendiri harus membayar sebesar Rp.30.000 untuk kunjungan harian sepuas-puasnya. Sembari itu saya melihat langsung keaktifan para pengelola membantu pengunjung mencarikan buku-buku yang dibutuhkan, lalu mereka kembali merapikan buku-buku yang selesai digunakan oleh pengunjung. Saya senang dengan pelayanan mereka.

Untuk wilayah perkotaan yang padat sekaligus sibuk seperti Jakarta, perpustakaan Baca di Tebet bisa menjadi salah satu pojok alternatif bagi kalangan akademisi maupun pekerja profesional. Mereka yang dekat dengan buku pasti ingin punya tempat berkumpul seperti ruang baca di Tebet ini.

Saya memperhatikan lantai dua perpustakaan ini dibagi menjadi beberapa ruangan. Usai menaiki anak tangga terakhir, saya langsung berhadapan dengan ruang utama yang disebut ruang temu Roy B.B. Janis. Tidak hanya diperuntukkan sebagai tempat baca, pengunjung di ruangan ini diperbolehkan makan, minum, berdiskusi, bahkan bermain musik dan bernyanyi. Ruang temu boleh dibilang sarana berinteraksi, berdiskusi, berbagi dan bertukar pikiran.

Ruang Baca

Khusus bagi pengunjung yang membutuhkan ketenangan untuk membaca sekaligus menulis, terdapat dua ruangan yang terpisah dengan ruang temu di lantai dua yaitu ruang baca dan ruang pikir. Saya sendiri lebih menikmati berada di dua ruangan tersebut.

Memang ukuran dua ruangan tersebut tidak seleluasa di perpustakaan besar di kota-kota di tanah air. Jarak antara rak-rak buku dengan meja baca tergolong agak berdekatan. Meskipun demikian, adanya meja dan kursi yang berhadapan langsung dengan jendela membuatnya kerap menjadi tempat favorit para pengunjung, lebih-lebih bagi pengunjung yang membutuhkan working space.

Selanjutnya, di dekat ruang baca, terdapat ruang karya yang kedap suara. Ruangan ini hanya bisa digunakan melalui reservasi, cocok untuk dijadikan tempat membuat podcast. Singkat kata, beberapa ruangan di lantai dua Baca di Tebet ini menautkan antara pengetahuan, hiburan dan kenyamanan.

Ruang Pikir

Hal menarik lainnya di laintai dua ini adalah rak-rak buku seluruhnya tinggi-tinggi, sehingga disediakan tangga di dekat rak untuk memudahkan pengunjung yang ingin mengambil buku di barisan paling atas. Dinding yang dikelilingi oleh rak buku berukuran tinggi memberi kesan sekaligus nuansa yang menarik dan pantas dikenang. Seisi ruangan penuh buku-buku.

Demikian catatan singkat saya usai menepi hampir dua jam di perpustakaan Baca di Tebet ini. Sampai jumpa pada kunjungan saya berikutnya di perpustakaan menarik lainnya di tanah air.

*Jakarta, 28 September 2022.

0 Komentar