Seorang Guru Tidak Ingin Direpotkan Protokoler Yang Tidak Perlu

 

ilustrasi. sumber: kompas.id.

Oleh: Jumardi Putra*

Seisi ruangan dibuat terhenyak, dan saya sepenuhnya sepakat dengan pandangan guru itu. Nyatanya bukan hanya saya pribadi, tetapi seluruh orangtua dari siswa/siswi TK maupun SD dalam gedung itu serentak bertepuk tangan pertanda sependapat. Apa pasal? Begini ceritanya.

Suatu pagi salah satu sekolah swasta di Kota Jambi mewisudakan lulusan TK sekaligus Sekolah Dasar (SD). Hajatan tahunan itu disiapkan sedemikian rupa. Saya perhatikan seluruh guru, sesuai tugasnya masing-masing sibuk memastikan seluruh rangkaian acara supaya berjalan sesuai rencana. Mafhum, mengurusi anak-anak TK maupun SD bisa jadi lebih rumit ketimbang satuan pendidikan di atasnya yakni SMP dan SMA sederajat.

Anak-anak secara bergiliran tampil di panggung mulai dari unjuk kemampuan menyanyi sekaligus menari, drama tematik, tes kemampuan hafal al-quran, sambutan kenangan sekaligus 'matur suksma' dari perwakilan TK maupun SD serta perwakilan orangtua, dan puncaknya secara bergilir anak-anak dipanggil namanya satu per satu sekaligus disematkan toga pertanda kelulusan oleh pimpinan sekolah. Dalam prosesi itu kita melihat anak-anak sebagaimana galibnya, riang gembira, lucu, sesekali sibuk bicara dan jahil pada teman sebelahnya, dan ada juga yang menangis tipis-tipis.   

Secara keseluruhan acara itu berjalan lancar. Tidak terlalu banyak sambutan dan seremoni, dan itu penting buat saya pribadi. Tak syak, tamu undangan maupun orangtua murid yang datang memenuhi gedung wisuda itu betah mengikuti acara sampai akhir. Sementara di luar gedung sudah menunggu para penjaja mainan anak-anak, fotografer dan pedagang makanan dan kue yang jelas bakal menggoda lidah wisudawan.

Saya menikmati acara tersebut. Konsentrasi pihak sekolah sepenuhnya kepada murid, yang bagi mereka diyakini sebagai generasi emas masa depan bangsa ini sehingga sedari dini perlu disiapkan secara matang. Tidak hanya fokus pada penguasaan pengetahuan (knowledge) baik umum maupun agama, tetapi tidak kalah penting yaitu akhlak. Begitu juga pembelajaran di sekolah itu menjadikan lapangan kesenian sebagai medium aktualisasi siswa. Saya setuju dengan pandangan itu, selain tidak perlu mendikotomikan ilmu agama dan umum (semua ilmu perlu dipelajari berdasarkan minat), akhlak menjadi barometer penting buat generasi sekarang dan ke depan.

Faktanya, tidak sedikit mereka yang bergelar pendidikan tinggi justru berlabuh ke penjara lantaran korupsi, sibuk berburu sertifikasi dan hal-hal prosedural yang menjadikannya sebagai satu-satunya acuan kinerja. Begitu juga tidak sedikit peristiwa di tanah air yang menunjukkan pudarnya akhlak wargangera sehingga membuat relasi antara manusia sekarang ini dipenuhi kebencian, kecurigaan berlebihan, dan penyakit sosial lainnya yang kerapkali berujung konflik. Tetiba saya teringat ucapan bernas proklamator Bung Hatta yang juga Wakil Presiden pertama Republik Indonesia yaitu Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur sulit diperbaiki. Itu artinya, sekelas Bung Hatta sendiri meyakini bahwa kejujuran (bagian dari sikap fundamental akhlak terpuji) sangat penting ditanam sedari dini.

Galibnya wisuda di banyak tempat di negeri ini, dipenuhi seremoni, serangkaian puja-puji, sambutan para pejabat yang sejatinya tidak berkorelasi langsung dengan esensi acara, dan bahkan tak jarang disusupi kepentingan politik jangka pendek. Itu kenapa membuat lembaga pendidikan acapkali tidak fokus pada penyelenggaraan pendidikan bermutu serta melayani siswa sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran lantaran dibebani banyak hal yang tidak berhubungan langsung dengan tugas dan fungsi sekolah.

Nah, di sekolah ini justru berbeda. Gayung pun bersambut, seorang guru yang sekaligus menahkodai lembaga pendidikan, dimana anak-anak didiknya diwisuda, dalam sambutannya ia mengatakan dengan lantang yaitu sengaja tidak mengundang pejabat daerah pada momen wisuda karena tidak ingin direpotkan perkara protokoler yang ditimbulkan oleh kehadiran pejabat tersebut. Bukannya ia tidak menghormati pejabat, lanjutnya, tapi ia hanya ingin menjadikan momen wisuda (dan aktivitas pembelajaran lainnya) sebagai lumbung perjumpaan yang intim antara pihak sekolah (pengurus dan guru-guru) dengan siswa/i dan orangtua. Betapa perjumpaan yang demikian itu perlu. 

Sebagaimana di awal tulisan, sikap guru yang demikian itu perlu ada pada jiwa-jiwa pendidik maupun penyelenggara pendidikan agar mereka semata fokus pada peningkatan mutu dan pelayanan pembelajaran bagi anak-anak. Bukan untuk yang lain, sebut saja seperti seremoni penyambutan pejabat mulai dari kedatangan, semasa acara berlangsung hingga akhir dan puncaknya mengantar kepulangan sang pejabat. Energi yang semestinya diperuntukkan bagi seluruh murid, justru terkuras hanya untuk menservis seorang pejabat dengan segala hak protokoler yang melekat (dan dilekatkan) pada dirinya. 

*Kota Jambi, 16 November 2023.

0 Komentar