![]() |
Teras Malioboro 1 Jogja. |
Oleh: Jumardi Putra*
Malioboro kini telah berubah (Rabu, 26/2). Suasananya saat
ini kontras dibanding medio 2019, terakhir kali saya ke kota ini. Dulu di depan
pertokoan sepanjang jalan Malioboro jadi tempat para pedagang menjajaki kaos,
gantungan kunci, sampai miniatur becak dan oleh-oleh khas Jogja lainnya ada di
sini. Dulu wisatawan yang datang ke sini rela berdesakan melewati trotoar. Dalam
suasana ala “bazar” itulah terjadi interaksi antara pedang dan pembeli-sebuah
momen unik melihat keduanya saling bertahan dalam proses tawar menawar. Begitu
juga kulineran di sepanjang jalan Malioboro kini ikut sirna. Kisah Malioboro itu
kini hanya tinggal kenangan.
Usut punya usut, wajah Malioboro mulai berubah sejak 1
Februari 2022, saat pedagang kaki lima yang biasanya memadati Jalan Malioboro
direlokasi ke dua tempat yaitu Teras Malioboro 1 berlokasi
di gedung eks-Bioskop Indra, tepatnya di seberang Pasar Beringharjo. Alamatnya
di Jalan Margo Mulyo, Ngupasan, Gondomanan, Kota Yogyakarta. Sedangkan Teras Malioboro 2 berada di dua lokasi
berbeda yaitu di Kampung Ketandan atau tepat di belakang Ramayana dan satu lagi
berada tepat di belakang Teras Malioboro 1.
Perubahan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah daerah
menata Kawasan Malioboro sebagai salah satu destinasi wisata di jantung kota
Jogja. Jalan Malioboro merupakan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang
membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta.
Ketiga jalan tersebut terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Malioboro,
dan Jalan Jend. A. Yani. Setakat hal itu, Jalan Malioboro disebut poros garis
imajiner Kraton Yogyakarta.
Merujuk portal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
DIY, diketahui asal nama Malioboro berasal dari bahasa sansekerta Malyabhara yang berarti karangan bunga.
Ada juga beberapa ahli yang berpendapat asal kata nama Malioboro berasal dari
nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal di
Jogja pada tahun 1811- 1816 M. Kata Marlborough itulah yang kemudian lama
kelamaan pelafalannya berubah menjadi Malioboro dan bertahan sampai sekarang.
Sejauh mata saya memandang, para pejalan kaki di trotoar sepanjang jalan Malioboro malam itu tidak sepadat dulu. Umumnya kini dipenuhi muda-mudi asyik berswafoto. Begitu juga tempat duduk yang tersedia di sepanjang trotoar banyak terisi oleh anak-anak muda. Justru kini keramaian beralih ke titik nol Jogja-lokasi populer dan instagramable di Jogja-di dekatnya berdiri beberapa bangunan bersejarah seperti Kantor Pos Yogyakarta, Gedung BNI, Benteng Vredeburg, Monumen Serengan Umum Satu Maret 1949, dan istana kepresidenan Gedung Agung.
![]() |
Penulis di area Teras Malioboro 1 |
Usai menikmati suasana malam di sepanjang jalan Malioboro, saya bersama Ade Saputra memilih singgah di Teras Malioboro 1, salah satu destinasi wisata baru di Kawasan Malioboro. Selain menjadi tempat bagi para pedagang (dulunya PKL di depan pertokoan di sepanjang jalan Malioboro) menjajaki produk oleh-oleh khas Jogja, pelbagai produk feshion hingga pernak-pernik suvenir, Teras Malioboro 1 juga menyediakan tempat kuliner di gedung sebelahnya. Posisi teras Malioboro 1 agak menjorok ke dalam dari arah jalan Malioboro atau seberang Pasar Bringharjo.
Pada area pelataran Teras Malioboro 1, di sisi kanan-kiri
bangunan utama, saya mendapati dinding yang dipenuhi tanaman hijau merambat dan
diberi cahaya lampu temaram. Makin istimewa lagi karena dinding hijau itu
berisikan di antaranya kutipan berbunyi “bagi setiap orang yang pernah tinggal
di Jogja, setiap sudut kota di Jogja itu romantis”, dan “Jogja terbuat dari
rindu, pulang dan angkringan”-yang diambil dari potongan puisi penyair Joko
Pinurbo. Kedua kutipan Jokpin itu tergolong populer di jagad media sosial,
karena dinilai mampu menangkap keistimewaan kota Jogja (Obituari Joko Pinurbo
dan Jogja bisa dibaca di sini: Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan).
***
Malioboro sebagai pusat aktivitas ekonomi dan perbelanjaan
jamak diketahui publik. Namun faktanya, selain pusat bisnis, kawasan Maliobro
dahulunya merupakan tempat para seniman dan budayawan Jogja menghabiskan waktu
untuk berkumpul, berdialektika dan mementaskan karya-karya terbaik mereka.
Saya mendengar langsung cerita soal itu dari penyair kenamaan
Jogja yaitu mendiang Romo Iman Budhi Santosa (eksponen dari Persada Studi Klub)
bahwa pada era 1960 sampai 1970-an aktivitas Malioboro lebih terkenal sebagai
tempat berkumpulnya para seniman dan budayawan. Dikatakan olehnya bahwa
Malioboro sebagai ikon Jogja memiliki sejarah panjang lahirnya seniman kenamaan
yaitu seperti Umbu Landu Paranggi, Linus Suryadi, Emha Ainun Najib (Cak Nun), Mustofa
W Hasyim, Ragil Suwarna Pragolapati, juga Korrie Layun Rampan-semasa dengan
Ebiet G Ade dan penyair EH Kartanegara-mereka semuanya lahir dari proses
berkesenian di Malioboro. Nama-nama tersebut tidak saja mewarnai lembar sastra
Yogyakarta, tapi juga menembus arena nasional.
Seniman dan budayawan itu galibnya berkumpul pada malam
hari selepas toko tutup di sepanjang jalan Malioboro. Umumnya dari mereka
adalah para mahasiswa yang nyambi bekerja sebagai pekerja kreatif di kawasan
Malioboro. Dari sana kemudian terbentuklah Persada Studi Klub (PSK)-sebuah
wadah yang mendiskusikan dan mempelajari seputar sastra dan seni. Di era itu
aktivitas seni dan budaya tumbuh-subur di jalan-jalan Malioboro. (Lebih lanjut soal
ini bisa baca tulisan saya di sini: Laku Hidup Romo Iman Budhi Santosa).
Berjalannya waktu, pada era 1980-an, Pemda DIY sempat
memberikan fasilitas tempat pertunjukan bagi para seniman dan budayawan yakni
Gedung Seni Sono yang berada di dalam komplek Istana Kepresidenan Gedung Agung
Yogyakarta. Tempat ini dijadikan panggung bagi para seniman Malioboro untuk
menampilkan karya-karyanya. Itu dulu. Kini itu sudah tidak ada lagi. Bersamaan dengan
pasang surut aktivitas seni dan budaya di Malioboro, tempat pentas bagi para
seniman dan budayawan bergeser ke gedung Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada era
tahun 2000 an-lokasinya bersebelahan dengan Shoping
Center, pusat perbukuan di Jogja.
Malioboro sebagai ikon budaya-faktanya itulah yang kini
hilang. Sebagai orang yang pernah mukim di Jogja, saya berharap sejalan dengan
ditetapkannya Sumbu Filosofi- konsep tata ruang yang menghubungkan Keraton
Yogyakarta, Tugu Yogyakarta, dan Panggung Krapyak, sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco
pada 18 September 2023, Malioboro kembali dijadikan sebagai pusat seni dan
budaya. Bukan tanpa alasan sehingga hal itu niscaya yaitu menjadikan kawasan Malioboro
bukan semata pusat perbelanjaan, tetapi ruang terbuka yang dapat diakses oleh
berbagai pihak, termasuk pelaku seni budaya. Dari situlah, Jogja menemukan
keistimewaannya. Semoga.
*Kota Jambi, 10 Maret 2025.
*Tulisan di atas merupakan lanjutan dari beberapa tulisan saya sebelum ini:
(1) Ada Sesuatu di (dalam) Jogja
(2) Setengah Abad Arena: Perjalanan yang Tidak Mudah
(3) Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan ke Mantijeron
(4) Asa di Jalan Kaliurang Km 12 Jogja
0 Komentar