Oleh: Jumardi Putra*
Pemilihan umum calon anggota legislatif (caleg) dan presiden yang baru saja diselenggarakan masih menyisakan persoalan, terutama setelah diketahui siapa pemenang dan sebaliknya. Imbauan berulangkali disuarakan banyak kalangan agar pihak yang menang dan kalah dapat menerima hasil dengan hati dingin, damai dan elegan.
Hal yang mungkin paling nyata bagi kita adalah
bagaimana cara mereka (para caleg) yang berambisi menjadi anggota legislatif
memandang peluang atau kekuasaan yang ingin diraih. Prinsip-prinsip ideal yang
membuat kursi legislatif dihormati sejarah tidak menjadi cahaya hati para calon
pemiliknya. Jabatan seperti itu juga jabatan politik lainnya diukur
hanya dari kekuatannya sebagai legitimator dan pengakses sumber-sumber kuasa,
tidak hanya politis, tetapi juga sosial, ekonomi dan sebagainya.
Pemilihan umum calon anggota legislatif (caleg) dan presiden yang baru saja diselenggarakan masih menyisakan persoalan, terutama setelah diketahui siapa pemenang dan sebaliknya. Imbauan berulangkali disuarakan banyak kalangan agar pihak yang menang dan kalah dapat menerima hasil dengan hati dingin, damai dan elegan.
Namun sejarah politik di republik ini menunjukkan
imbauan dari berbagai kalangan tersebut masih jauh panggang dari api. Bahkan,
yang menggelikan adalah stres berat yang menimpa para calon anggota, karena mendapati kenyataan perolehan suara mereka jauh di bawah lawan.
Ada caleg yang tiba-tiba jatuh sakit, tekanan
darah meninggi, jantung berdetak di luar batas normal atau penyakit fisik
lainnya. Ada juga yang kemudian bertingkah laiknya orang gila, bahkan harus
dirawat di pusat rehabilitasi mental. Penyebabnya sama yaitu salah kaprah
menakar antara harapan dan kenyataan.
Di balik kasus kegilaan para caleg gagal
itu, merujuk pandangan budayawan Radar Panca Dahana, bukan saja soal tradisi
dan kultur politik yang tidak matang, tetapi juga praktik demokrasi yang hampir
tidak manusiawi dan perlahan menghancurkan karakter kemanusiaan baik sebagai
individu maupun satuan kolektif.
Pendidikan Politik
Pemilu 2009 ditentukan melalui sistem suara
terbanyak dan bukan berdasarkan nomor urut. Sementara itu jumlah calon anggota
legislatif terlampau banyak, tidak berbanding lurus dengan jumlah kursi yang
tersedia. Tentulah persaingan memperoleh jabatan sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) semakin terbuka dan dilakukan dengan berbagai macam
cara, mulai dari hal yang rasional hingga irasional. Dengan kata lain, sebagian caleg
berbondong-bondong lari ke dukun atau paranormal.
Ditambah lagi, diferensiasi antara satu dengan
caleg lainnya selalu berpijak pada kekuatan uang demi mengenalkan diri ke
masyarakat. Hutang sana-sini. Pada akhirnya, uang dan harta habis, sedangkan
hutang menumpuk.
Karena itu, kegalauan mental bukan saja akan
menggerogoti daya tahan sang caleg, tapi bisa berakibat fatal bagi ketentraman
rumah tangga, bahkan warga di sekitarnya. Pasalnya hutang yang belum dilunasi menjadi beban keluarga.
Memandang kondisi yang memperihatinkan ini,
partai politik seharusnya memberikan pendidikan politik kepada caleg, agar
benar-benar terarah dan berimbang dalam menggunakan dana atau pun materi
kampanye lainnya. Masih segar dalam ingatan, karena telah menghabiskan dana
tiga milliar untuk keperluan kampanye, salah satu calon Bupati yang gagal
menang pada pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur, menjadi gila. Ia pun
ditinggalkan anggota keluarga dan sejawatnya.
Potret buram caleg atau pun calon kepala daerah
di atas adalah pekerjaan rumah bagi setiap partai politik ke depan, yakni tidak
sepatutnya merekrut anggota untuk diikutkan pada sebuah kontestasi politik,
baik caleg atapu pilakdal, jika belum melalui proses pendidikan dan kaderisasi
yang matang. Kewajiban Parpol memberi pendidikan politik ketimbang
hanya memikirkan kursi kekuasaan semata.
Dengan demikian, apabila proses pendidikan
politik itu berjalan baik, tidaklah sulit bagi masyarakat menemukan para
petinggi caleg (elit) politik tampil tidak hanya dengan kecerdasan politik,
tapi juga dengan kemantapan jiwa, keindahan bahasa, keluasan gagasan, sehingga
membuat ia ramah, santun, dan dicintai publiknya.
*Ditulis tahun 2009.
0 Komentar