Gurita Mal di Kota Jambi


ilustrasi

Oleh: Jumardi Putra*

Pembangunan pusat perbelanjaan (Mal) di Kota Jambi akhir-akhir ini semakin meningkat. Di Tanah Pilih Pesako Betuah sekarang ini berdiri beberapa pusat perbelanjaan, seperti WTC Batang Hari, Ramayana, Hypermart, Matahari Departement Store, Jambi Prima Mall, Trona, Mall Kapuk, dan Mall Jambi Town Square (Jamtos). Tak cukup dengan itu, belakangan ini Pemerintah Kota Jambi telah menandatangani nota kesepakatan (MOU) dengan The Blacksteel Group melalui PT Bliss Properti Indonesia (BPI) untuk pembangunan kawasan shopping mall dan hotel berbintang dengan nama Jambi City Center (JCC) di kawasan eks terminal Simpang Kawat (20/8).

Rencana itu menuai protes dari berbagai elemen masyarakat. Kehadiran Mal dinilai tidak terlalu signifkan bagi penguatan pelaku ekonomi kecil. Sementara itu, iming-iming lowongan kerja yang muncul dari pembangunan Mal itu tidak pula sebanding dengan dampak yang dihasilkannya, seperti kemacetan, penyeragaman arsitektur kota, ruang publik yang semakin terdesak, dan mempersulit pelaku ekonomi bermodal kecil, yang akhirnya gulung tikar, dan yang amat mengerikan, untuk jangka waktu panjang, mereduksi ruang-ruang batin, dan publik warga menjadi melulu satu dimensi, yaitu “konsumsi.”

Pembangunan pusat perbelanjaan justru memperkuat tesis Peter Lang, yang dalam bukunya, Mortal City (1995), mengatakan, “Kota-kota besar di dunia sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini-ia menyebutnya sebagai everyday war-adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradok kehidupan sosial dan ekonomi perkotaan, yakni antara kaya dan miskin, ekslusif-inklusif, artifisial-natural, dan modern-tradisional.

Lalu, bagaimana laju ekonomi di luar Mal saat ini? Kita melihat, pariwisata berbasis eco-tourism, agro-tourism dan adventure-tourism, mulai menampakkan geliatnya, tetapi faktanya, masyarakat masih menempatkan Mal sebagai tempat favorit untuk dikunjungi. Bahkan ironisnya, bagi kepala daerah, membuka perizinan pendirian Mal lebih prestesius dibanding merevitalisasi pasar tradisional, mengeksplorasi sumberdaya kerajinan warga, dan promosi budaya lokal, serta memfasilitasi kantong-kantong kesenian warga yang dapat menyuguhkan harmonisasi kota.

Apatahlagi, kecenderungan tren pariwisata dunia ke depan adalah back to nature, to the indigenous. Sementara modernisasi, kapitalisme dan globalisasi akan memakan dirinya sendiri, dan orang akan mencari sesuatu yang hilang, keunikan lokal. Singkatnya, dalam konteks wisata berbasis kearifan lokal (local genius), yaitu dari banyak wisatawan, baik dalam maupun luar negeri, datang ke Jambi dilatarbelakangi kengintahuan terhadap sejarah dan budaya (tangible-intangible) Jambi. Bukan ‘ngadem’ (berdingin) di Mal.

Di Balik Sihir Mal

Di balik gencarnya pembangunan Mal di Kota Jambi dewasa ini, menyembul persoalan mendasar, yaitu apa makna Mal di tengah semua ini? Schoorl (1980) dalam bukunya, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang, menjelaskan modernisasi merupakan proses yang kompleks yang melingkupi berbagai aspek kehidupan manusia, baik aspek sosial, politik, ekonomi maupun kultural.

Pertama, dari segi sosial; modernisasi menyangkut proses terbentuknya pembagian, hubungan-hubungan dan stratifikasi sosial yang baru. Ini antara lain, merujuk Mudji Sutrisno (Kota dan Budaya: Ruang Publik, Titik Temunya, Kanisius, 2009), dapat diketahui melebarnya jarak antara kelas atas dan bawah. Saat ini kita melihat dominasi gaya hidup (life style) yang bercirikan “I consume therefore I exsist” atau “You are what you buy”.

Fenomena itu kian penetratif karena ditunjang oleh tiga hal. Pertama, kehadiran restoran-restoran cepat saji. Kedua, ATM atau kartu kredit menjadi simbol internasionalisasi bukti pembayaran yang memperlihatkan kemajuan, meski terkadang ada keganjilan, bila di dalamnya penuh hutang dan baru sadar saat ditagih oleh ‘debt collector’. Ketiga, maraknya ‘katedral-katedral’ konsumsi, tempat merayakan konsumsi sebagai ritual.

Kedua, dari segi politik; terbentuknya tata dan cara baru dalam akumulasi dan distribusi kekuasan, dimana tempat seperti Mal merupakan “pilitical fact”, artinya, tempatnya di tangan kontrol kelas-kelas yang sedang berkuasa secara birokratis dan pemilik modal. Ketiga, segi ekonomi; terbentuknya suatu cara produksi dan konsumsi yang baru pula. Ini antara lain, dapat diketahui melalui akses ke Mal bagi warga yang memiliki kemampuan finansial dan sebaliknya. Realitasnya, meski visi konsumsi diratakan dalam rasa kesamaan derajat, yang terlalu miskin tentu tidak akan masuk ke ruangruang elit ekslusif.

Persoalannya kemudian, bilamana hasrat ke Mal tak terhentikan, akibat penetrasi iklan yang masif, sementara kemampuan finansial terbatas, maka memungkinkan terbukanya kran-kran kriminalitas, seperti pencopetan, penjambretan, perampokan, dan lain-lain. Keempat, segi kultural; proses terbentuknya sistem pengetahuan, tata nilai dan norma estetik yang juga berbeda dari yang ada sebelumnya. 

Ini antara lain, masih merujuk Mudji Sutrisno (2009), ruang dialog bersama yang awalnya dihayati secara kultural (temu bersama) kemudian oleh rejim penentu makna, ditambah rejim kelas pemenang kepentingan yang mengalahkan kelas-kelas bawah dengan modal dan kapital, akhirnya menjadi fungsional, instrumental dan juga dalam istilah Antonio Gramsci, menguasai hegemoni sistem simbol dan makna lewat tafsir realitas dengan cara non “coercive” (tak memaksa namun yang dilumpuhkan adalah kesadaran kritis), menjadi segalanya dimaterialkan dan dibendakan dalam proses reifikasi.

Mengamati kompleksitas modernisasi dan akselerasi pembangunan kota Jambi dewasa ini, seyogyanya, Pemerintah Kota, DRPD Kota, pengusaha, dan masyarakat tidak mengabaikan ruang-ruang publik bersama, tempat terbuka dialog untuk kepentingan bersama, mempererat kohesi sosial dan membuka pula nilai-nilai penghayatan hidup dari ruang personal ke ruang bersama dan diambil titik temunya: kesejahteraan bersama atau kebaikan bersama.

*Tulisan ini pertama kali terbit di Koran Jambi Today (2015). 

0 Komentar