![]() |
Penulis bersama Mas Rudin (20/10/20) |
Oleh: Jumardi Putra*
Keraguan segera menyergap saya ketika
berniat ke pasar Kenari, di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, pekan lalu. Apatahlagi
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi DKI Jakarta masih berlaku. Menimbang
berbagai hal, saya memutuskan tetap mengunjungi sentra buku di pasar itu dengan
mematuhi protokol Covid-19.
Untuk sampai ke pasar buku murah itu saya membutuhkan
waktu sekira 20 menit dari hotel tempat saya menginap selama di Ibukota. Setiba
di Pasar Kenari tampak pedagang maupun pembeli lalu lalang meski tak seramai sebelum dilanda wabah korona.
Saya segera menuju lantai tiga, tempat khusus
yang disediakan Pemprov DKI Jakarta bagi para pedagang buku yang dahulunya berjualan
di Pasar Senen dan Kwitang. Dugaan saya tidak meleset. Suasana lantai tiga seolah
mati suri. Hanya beberapa gerai buku buka. Umumnya dari 65 gerai buku tutup. Pojokan multimedia untuk
pengunjung bisa mengakses informasi soal literasi dan DKI Jakarta, kedai kopi,
serta pujasera tak beroperasi. Titik-titik fasilitas membaca baik yang lesehan
hingga meja-meja persis seperti perpustakaan tak bertuan. Panggung apresiasi
yang biasanya penuh acara sudah lama absen. Hanya terlihat di sekitarannya
poster beberapa tokoh pendiri bangsa maupun penulis tanah air berisikan kata-kata
bijak nan menggugah perihal faedah dan ajakan membaca.
Ini kali kelima saya ke pasar buku Kenari
sejak disediakan Pemprov DKI pada April tahun 2019. Tempatnya nyaman dan bersih. Berbeda dengan lantai-lantai di
bawahnya yang panas, pengap dengan pencahayaan minim. Pasar Kenari yang berdiri
hampir 20 tahun ini memang lebih dikenal warga Jakarta sebagai pusat alat
penjualan alat listrik ketimbang sebagai pasar buku.
***
Langkah kaki saya segerakan ke gerai buku
milik Mas Rudin, tempat saya biasanya membeli
buku. Alhamdulillah kios miliknya buka. Jarum jam menunjukkan pukul 11.35 WIB. Diakui
mas Rudin saya adalah pelanggan pertamanya hari itu.
Tak ada yang berubah dari sosok mas Rudin. Ia
masih mengingat saya sebagai salah satu pelanggannya. Sembari menata buku, kami
saling bertukar cerita setelah hampir setahun tidak bersua. Selang beberapa
menit kemudian mas Rudin mengeluh bahwa penghasilannya menurun drastis sejak
pagebluk korona. Bukan tanpa sebab, terhitung Maret sampai Agustus pasar Kenari
tutup bersamaan penerapan PSBB. Sejak itu
tak ada lagi pengunjung karena warga enggan keluar rumah. Sekolah pun diliburkan
sehingga kebutuhan terhadap buku pelajaran berhenti. Dirinya juga tidak lagi
menambah koleksi buku-buku baru karena jelas beresiko.
“Awal buka pasar Kenari saya pernah mendapat
penghasilan sebesar 25 juta hanya dalam satu hari. Ketika itu saya merasa memilih profesi
sebagai pedagang buku cukup menjanjikan. Apalagi dukungan fasilitas pasar Kenari yang bersih
sekaligus nyaman bagi penjual maupun pembeli. Tetapi korona merubah semuanya.
Para pedagang buku berada dalam situasi yang sulit seperti sekarang,” kenangnya
sambil menyampul buku pesanan pembeli.
Di tengah tidak sedikit kawannya sesama padagang
buku yang gulung tikar, Mas Rudin dipaksa berpikir keras agar bisa bertahan. Ia
pun mulai menseriusi lapak online bekerjasama
dengan shopee. Meski keuntungannya
belum sebesar penjualan langsung, jalan itu agaknya masuk akal ditempuh ketimbang
dirinya menyerah kalah pada keadaan.
“Bagaimana
sistem sewa gerai buku di sini?” tanya saya.
Selama pandemi pedagang diberi keringanan 50
persen membayar pajak. Biaya pajak setiap gerai dihitung per meter sebesar Rp.28.000
x 12 meter luas kios jadi total Rp.368.000 per bulan yang harus ia keluarkan
untuk membayar pajak. Sementara biaya listrik berkisar 10 sampai 15.000 per
bulan.
“Alhamdulillah selama ini tidak ada hambatan
untuk membayar pajak maupun biaya listrik,” jawabnya.
Sedangkan penerapan biaya sewa atau kontrak
ditangguhkan dalam masa pandemi korona. Jika situasi normal biaya sewa atau
kontrak gerai seluas miliknya yaitu 1
meter per 250.000 x 12 m sehingga total Rp.3000.000 per tahun.
“Alhamdulillah selama pandemi kewajiban
membayar biaya sewa atau kontrak gerai ditangguhkan sementara. Kebijakan ini
jelas meringankan para pedagang buku di pasar kenari, tidak terkecuali saya,”
imbuhnya.
![]() |
Pasar Kenari, Kawasan Salemba, Jakarta |
***
Buku bukan barang baru bagi mas Rudin. Suami dari Dewi ini memulai berjualan buku di pasar Kenari sejak bulan April tahun 2019. Sebelum di pasar Kenari ia hari-hari berjualan buku di kawasan Terminal Senen sejak tahun 2009 sampai 2014.
15 tahun sebelumnya (2009), pria asal Tegal, Jawa Tengah, ini bekerja
sebagai penjaga toko buku milik salah seorang pedagang buku sukses berdarah Medan
dari marga Situmorong di kawasan terminal Senen. Di situlah ia belajar secara
otodidak melakoni bisnis buku, seperti membangun jejaring dengan penerbit buku
maupun pedagang buku sukses dengan omset besar. Termasuk, ia menuturkan,
bagaimana dirinya harus berani mengambil resiko membeli buku dengan biaya
puluhan juta dengan sistem dibayar di muka.
“Mula berbisnis buku saya masih bisa bekerjasama
dengan penerbit atau pedagang besar melalui sistem pascabayar (jika buku-buku
terjual), tetapi sekarang tidak bisa lagi. Semua harus dibayar di muka. Alhamdulillah,
sebelum korona semua berjalan lancar,” tukasnya.
Berjalannya waktu, pria kelahiran 1991 mulai merintis
usaha bisnis buku sendiri. Ia mulai menyewa salah satu kios buku di terminal Senen
sebesar Rp. 50 juta per tahun. Buah kegigihannya ia berhasil melewati masa-masa
merangkak dan mampu membayar uang sewa per tahun dan bahkan bertahan hingga
sekarang.
Sejak memilih membuka gerai buku di Pasar
Kenari, kios miliknya di terminal Senen dilanjutkan oleh kakak kandungnya. “Alhamdulillah sampai sekarang masih bisa
bertahan dan cukup untuk menghidupi keluarga,” kilahnya.
Kini, bersama keluarga mas Rudin tinggal di daerah
Cempaka Putih. Ia dikarunia dua anak. Si sulung berusia delapan tahun sedangkan
si bungsu berumur tiga tahun.
“Doakan mas, semoga kami pedagang buku bisa
melewati masa sulit seperti sekarang ini,” imbuhnya yang saya amini kemudian.
***
Cerita Mas Rudin juga saya temukan pada
pedagang di Pasar Palasari di Kota Bandung, tiga hari sebelumnya (Baca di sini: Dari Palasari ke Pasar Kenari). Korona
membuat mereka berada dalam situasi sulit karena pendapatan menurun tajam. Tetapi
meski tetatih-tatih, mereka tetap bersiteguh meneruskan profesi sebagai
pedagang buku sembari terus menerus menggalakkan penjualan buku secara online.
Pada diri Mas Rudin, selain menemukan ketabahan melewati kesulitan hidup, saya juga menemukan sosoknya sebagai penjual yang pembelajar. Berinteraksi dengan buku dalam rentang waktu yang panjang membuatnya mencintai buku itu sendiri. Meski hanya tamat pendidikan menengah pertama, perlahan-lahan ia mengenal beberapa penulis tanah air yang sebelumnya sama sekali tidak ia ketahui. Diakuinya konsumen berperan besar sehingga dirinya mengenali nama-nama penulis dan karyanya, untuk menyebut contoh, seperti Pramoedya Ananta Toer, Dewi Lestari, Tan Malaka, Andrea Hirata, Karen Amstrong, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ramadan KH, Budi Darma, Arswendo Atmowilito, Rosihan Anwar, Seno Gumira Adjidarma, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Laksmi Pamuntjak.
"Di sela jualan, mesti tak rampung, saya membaca buku-buku mereka," tuturnya.
Saya pikir perhatiannya terhadap buku-buku
bermutu bisa dilihat dari koleksi buku di kios miliknya. Saya menjadi saksi.
Setidaknya selama mengenal dan berinteraksi dengannya, saya membeli buku dari
koleksi gerai miliknya, untuk menyebut contoh, buku berjudul Ekonomi Indonesia
1800-2010: Antara Drama dan Kebijakan Pertumbuhan karya Jan Luiten van Zanden
dan Daan Marks (Kompas, 2012); Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2000 Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia
karya Liang Liji (Kompas, 2012); Mengislamkan Indonesia: Sejarah Peradaban
Islam di Nusantara karya Carool Kersten (Baca, 2017); The Arab Spiring:
Tantangan dan Harapan Demokratisasi karya Ahmad Sahide (Kompas, 2019); Berislam ala Tionghoa:
Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia karya Hew Wai Weng (Mizan,
2019); Jemput Terbawa karya Pinto Anugrah (Mojok, 2018); Mengislamkan Islam:
Empat Puluh Catatan Candra Malik (Kompas, 2018); dan Peranakan Tionghoa di
Nusantara: Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur karya Iwan Santosa (Kompas, 201).
*Kota Jambi, 20 November 2020.
0 Komentar