Pandemi Corona dan Wajah Buram Kita

 

ilustrasi; pandemi corona

Oleh: Jumardi Putra*

Minggu, 4 Juli 2021, boleh dikata hari yang begitu mencekam dalam setahun terakhir sejak pandemi Covid-19 melanda tanah air. Tidak kurang dari 27.233 orang terpapar corona hanya dalam sehari.

Lonjakan kasus tersebut membuat total kasus positif Covid-19 di Indonesia kini mencapai 2.284.084 kasus. Sedangkan jumlah kematian akibat Covid-19 dalam sehari tembus 555 kasus, rekor tertinggi sejak pertama kali diumumkan Presiden Joko Widodo awal Maret tahun 2020. Dengan demikian, jumlah pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia di Indonesia kini berjumlah 60.582 orang, peringkat ketiga terbanyak di Asia.

Di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah sendiri total angka kematian akibat Covid-19 mencapai 200 orang. Tetapi angka kematian diperkirakan jauh lebih tinggi dari data yang dilaporkan lantaran tidak dihitungnya kasus kematian dengan gejala COVID-19 akut yang belum dikonfirmasi atau dites. Sedangkan kasus positif Covid-19 mencapai 10.646 orang dengan rincian pasien sembuh 8.451 orang, dan pasien dalam perawatan 1.972 orang.

Situasi pelik ini mengingatkan saya pada pandangan Mike Devis, penulis buku The Monster at Our Door: The Global Threat of Avian Flu, yang menggambarkan “virus corona berjalan ke rumah kita melalui pintu depan sebagai monster yang tidak asing”. Terang saja masyarakat dunia dibuat khawatir, bersedih, dan tentu saja berdukacita. Campur aduk bersamaan dengan fatwa agama atau himbauan dari pengambil kebijakan untuk tidak panik melainkan waspada dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Di tengah kasus Covid-19 yang meningkat drastis akhir-akhir ini, manajemen Rumah sakit di beberapa daerah di tanah air harus berpikir keras sekaligus bekerja ekstra. Tingkat keterisian rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR) juga sudah mencapai lebih dari 90 persen. Bahkan tidak sedikit rumah sakit harus membuat ruang perawatan sementara atau berupa tenda-tenda darurat memanfaatkan lokasi kosong di kompleks rumah sakit.     

Tenaga medis sebagai garda terdepan penanggulangan Covid-19 kembali harus berjibaku dan siap bertarung nyawa. Padahal jumlah kematian petugas medis dan kesehatan di Indonesia terus bertambah dan disebut menjadi yang tertinggi di Asia dan nomor tiga terbesar di seluruh dunia, yaitu tidak kurang dari 647 orang per Januari 2021 dari sejak Maret 2020. Sungguh negeri ini kehilangan putera-puteri terbaiknya di bidang kesehatan.

Guna memutus matarantai penyebaran Covid-19, pemerintah memutuskan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat di Pulau Jawa dan Bali mulai tanggal 3 sampai 20 Juli mendatang. Berselang tiga hari setelahnya, PPKM mikro diterapkan untuk 43 kota non Jawa-Bali terhitung tanggal 6 sampai 20 Juli 2021.

Keputusan tersebut meski tidak luput dari kritik warga maupun para pakar, perlu kita sambut dengan pikiran jernih dan hati yang lapang, seraya tiada henti memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT) agar rakyat Indonesia dan seluruh warga di planet bumi ini berhasil keluar dari amukan virus corona.

Berkecamuk di pikiran saya, bila di kota-kota besar di tanah air pusat layanan kesehatan kelabakan melayani warga positif corona, bagaimana dengan daerah-daerah kecil yang fasilitas kesehatannya serba terbatas. Sukar untuk membayangkan bila dalam situasi pelik tersebut masing-masing kita tidak mematuhi protokol kesehatan Covid-19 dan bahu membahu membantu warga terdampak.

Saya beruntung memiliki teman yang sadar Covid-19 dan sekaligus kritis terhadap kebijakan penanggulangan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Banyak dari sahabat saya yang dengan sadar berkisah pengalamannya dijangkiti Covid, sebagaimana banyak yang menulis, mengedukasi, mempromosikan kesadaran untuk mewaspadai Covid-19.

Saya sendiri pernah mewawancarai seorang pasien Covid-19 yang berhasil melewati masa-masa sulit dalam menjalani perawatan di rumah sakit (lihat di sini: https://www.youtube.com/watch?v=mfrWwZHUsu8). Dari wawancara tersebut saya mendapatkan pelajaran tentang bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19. Saya juga menulis beberapa artikel merespon kondisi faktual seputar Covid-19, dan bahkan membuat semacam catatan perjalanan  bila menjalani tugas ke luar kota.

Itu semua tidak lain bentuk urun saran sekaligus upaya saling mengingatkan sesama dalam melewati situasi darurat dengan penuh kecermatan. Bukan membuat gaduh, apalagi bertujuan semata mencari keuntungan dengan melakukan propaganda politik jangka pendek di saat perhatian negara maupun masyarakat fokus pada penanganan kesehatan, pemulihan ekonomi dan penyediaan jaring pengaman sosial.

Apa lacur, meski angka kematian warga terpapar korona terus bertambah, masih saja saya jumpai obrolan atau komentar di media sosial maupun di grup aplikasi perpesanan WhatsApp, yang berusaha menggiring opini bahwa virus ini adalah konspirasi global, penjinakan warga dunia secara massal melalui vaksin, dan bahkan tidak jarang muncul ajakan agar tidak memakai masker dan mengabaikan penjarakan fisik dengan alasan-alasan yang hampir tidak masuk akal, sebut saja bahwa ajakan tenaga medis dan pihak berwajib di setiap razia prokes Covid-19 tidak lebih dari upaya menakut-nakuti. Pendeknya, obrolan di grup tersebut lebih menunjukkan rendahnya kepercayaan mereka terhadap orang-orang yang di garda depan mengatasi pandemi ini, yang sudah bertaruh dan sebagian telah kehilangan nyawa.

Yang makin membuat saya miris adalah tidak sedikit dari nitizen mengutip ayat-ayat Tuhan, tanpa mengerti konteks, dengan tanpa tedeng aling-aling melegitimisi komentar atau pendapatnya menyoal virus yang telah menjadi musuh secara global, dan bahkan tidak percaya ada mutasi varian baru corona yakni Delta. Itu hanya drama. Begitulah kira-kira anggapan mereka yang nyatanya kerap diamini nitizen lainnya, meski dari mereka adalah orang-orang berpendidikan tinggi. Ironi.

Saya menghargai proses tukar pikiran dan karenanya menghormati perbedaan pendapat seputar virus corona, tetapi tentu pendapat yang disertai data maupun argumentasi yang memadai, sebut saja seperti kritik radikal oleh filsuf terkemuka Eropa kontemporer Slavoj Zizek, Mike Devis, Yuval Noah Harari, Rob Wallace, dan analis dari Foreign Policy, seperti Stephen M. Walt, Robin Niblett, G. Jhon Ikenberry, dan K. O’Neil (baca: Virus Corna Berjalan Ke Rumah Kita Bukan Sebagai Tamu Asing).

Di tanah air sendiri virus tak kasat mata ini telah menjadi diskursus para peneliti maupun pemikir dari berbagai latar belakang keilmuan dalam kaitan Covid-19 dengan sains, agama, ekologi, kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya. Itu semua patut kita apresiasi sejauh mengajak masyarakat memuliakan kedalaman dan menolak tegas pada kedangkalan. Dengan kata lain, bukan berpendapat asal pokoke tentang corona, apalagi menyebarkan informasi bodong melalui sosial media dan mentransmisikannya ke bilik-bilik pribadi melalui aplikasi perpesanan seperti WhatsApp dan telegram.

Sudah terlalu banyak pakar berbicara mengenai Covid-19 beserta dampak turutannya yang luar biasa, sedari kali pertama muncul di Kota Wuhan, Cina, Desember 2019, sampai menjalar tidak terkendalikan ke semua negara di planet bumi ini.

Memang, di beberapa negara lain terdengar kabar bahagia karena berhasil mengendalikan penularan virus corona, tetapi tidak sedikit negara masih harus berjibaku memutus matarantai virus mematikan ini. Bahkan varian corona yaitu Delta dengan tingkat penularan yang relatif lebih cepat kembali menghantui warga dunia. Tak terkecuali Indonesia.  

Setahun berjalan ini kita telah merasakan efek domino Covid-19 bagi kehidupan baik dalam berbangsa maupun bernegara. Sistem perekonomian maupun kesehatan nasional maupun daerah tergerogoti. Kebijakan pembatasan sosial dalam berbagai formula terus diimplementasikan oleh pemerintah pusat maupun daerah, meski kita tahu hingga sekarang corona belum sepenuhnya berakhir.

Terhadap urusan pemulihan ekonomi, penanganan kesehatan maupun penyediaan jaring pengaman sosial bagi warga terdampak Covid-19 kita percayakan sepenuhnya kepada pemerintah pusat maupun daerah. Bersamaan hal itu, kita berharap lembaga anti rasuah (KPK) dan pihak berwajib serta inspektorat mengawasi jalannya realisasi refocusing APBN dan APBD untuk penanggulangan Covid-19 tahun 2021.

Apa pasal? Kasus tindak korupsi bantuan sosial di kementerian Sosial RI bagi warga terdampak Covid-19 tahun 2020 jelas menyakiti hati seluruh rakyat Indonesia, di samping jelas sulit diterima akal sehat lantaran dilakukan saat rakyat tertatih-tatih untuk bertahan hidup dalam situasi pandemi yang entah sampai kapan berakhir.

Sembari memberi kritik dan saran untuk perbaikan penanggulangan Covid-19 di tanah air, terutama di daerah-daerah di mana kita bermukim, yang tepat kita lakukan sebagai warga negara tentulah mematuhi protokol kesehatan Covid-19 dan bahu membahu membantu warga terdampak. Hal demikian itu lebih baik, lagi mulia, ketimbang memunculkan keriuhan baru dengan cara memberi komentar atau pendapat seputar virus corona, yang sejatinya kita sama sekali tidak mengerti.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal www.jamberita.com pada Selasa, 6 Juli 2021.

0 Komentar