“Melik Nggendong Lali”: Laku Spiritual dan Kritik Sosial-Politik Butet Kartaredjasa

Karya seni rupa Butet Kartaredjasa

Oleh: Jumardi Putra*

Dari arah Gramedia Matraman saya bergegas menuju Galeri Nasional (Galnas) Indonesia daerah Gambir, Jakarta Pusat, menggunakan gojek. Selain macet, langit Jakarta sore hari itu diliputi mendung. Meski cuaca kurang kondusif, niat saya ke Galnas tidak berubah, karena ingin melihat pameran tunggal seni rupa karya Butet Kartaredjasa yang dikenal sebagai aktor dan pegiat seni pertunjukan.

Setiba di Galnas, sekira pukul 16.33 WIB, saya langsung registrasi secara online, praktis. Dari kejauhan terlihat kain hitam berukuran panjang terbentang di antara dua pilar utama Gedung A Galnas, bertuliskan kalimat berbahasa jawa “Melik Nggendong Lali”, lengkap dengan siluet Petruk— tampak samping dengan sumbat besar pada telinganya. Selain kain hitam, sketsa ikonik itu membuat halaman depan Galnas menjadi sedikit misterius.

Patung karya Butet Kartaredjasa

Beberapa langkah melewati pintu utama Gedung A, saya disambut patung resin Petruk setinggi 2,2 meter yang didirikan di depan triptych merah-putih bertuliskan ‘Melik Nggendong Lali’. Patung pria kurus berhidung panjang dengan stelan busana yang menyerupai songkok raja-raja Jawa, plus sepasang sepatu dominan warna hitam dan mukanya yang diwarnai kuning keemasan, itu menjadi pusat perhatian banyak pengunjung, termasuk saya sendiri, sehingga perlu diabadikan dalam bentuk dokumentasi foto. Fosenya juga menggambarkan sosok congkak—kepalanya mendongak ke arah langit-langit. Dadanya dibusungkan dan kedua tangan bertolak pinggang. Oleh Butet patung itu disebut simbol dari kepalsuan dan kemunafikan, sesuatu yang sangat dekat dengan realitas politik kiwari di republik ini.

Di sebelah kiri patung terpajang seratus lembar kertas A3 berisi sketsa-sketsa Butet yang diberi judul ‘Arsip-Arsip Doa: Wirid Visual' yang ia kerjakan dalam rentang 2023-2024 dengan cara menulis nama lengkapnya secara berulang untuk mengisi figur-figur manusia dan binatang yang dilukisnya. Selama dua tahun terakhir, Butet rutin menjalani laku spiritual yang disebutnya sebagai “wirid visual” yaitu mengisi gambar-gambar tersebut dengan tulisan tangan yang rapi dan bersambung sampai menyerupai garis-garis halus dan arsiran.

Penataan ruang-ruang pamer di Gedung A Galnas menyerupai interior rumah dengan karpet-karpet lusuh, bangku berukir, dan kursi-kursi jati. Hal itu diakui kurator Asmudjo J. Irianto bahwa konsep tersebut didesain seperti di dalam rumah Mas Butet atau rumah siapa pun. Sedangkan keberadaan kursi-kursi di ruang-ruang pameran bertujuan agar menjadi kontemplatif.

Selain sketsa dan lukisan dengan repetisi nama lengkap Butet dan Nusantara, saya juga menikmati lukisan di atas lempeng-lempeng keramik, pahatan metal, dan kain yang dibordir dengan tulisan tangan Butet. Tidak terkecuali lukisan unik bertuliskan kata "Uaassuuwoookk", yang menjadi kekhasan Butet dalam percakapannya di media sosial. 

Penulis di gedung A Galeri Nasional

Sepengamatan saya, selain patung hingga lukisan yang memiliki ciri khas dengan tulisan berulang seperti "Nusantara", ada juga "Bambang Ekoloyo" dan kreasi alih medium lainnya. Keseluruhannya mencerminkan keresahan Butet melihat situasi terkini di Indonesia, sedangkan Bambang Ekoloyo adalah keresahan secara personal yang ia miliki. Situasi sosial politik mutakhir Indonesia seolah mengingatkan sang perupa (dalam hal ini Butet) pada lakon wayang ‘Petruk Dadi Ratu’ (Petruk Menjadi Raja).

Merujuk keterangan Butet dalam pelbagai media, “Melik Nggendong Lali’ biasanya tertulis dalam lukisan-lukisan kaca tradisional Jawa di Jawa Tengah. Menurutnya, kepemilikan sering membuat orang lupa, tidak terkecuali penguasa tahta. Baginya ini semacam warning pada semua orang supaya eling (dan) ingat asal mula keberasalannya (dan memegang) nilai hidup yang bersandar pada moralitas dan etika.” Dalam hal ini, merujuk Butet, Petruk itu representasi wong cilik yang mendapat tahta—disuruh turun rewel, diingatkan nggak mau dengerin, berarti tuli.

Hampir 1 jam 30 menit menit saya menikmati karya Butet di Galnas. Usai itu saya membaca prolog kurator Asmudjo J. Irianto pada dinding bagian kiri sebelum masuk ke ruang pameran Gedung A Galnas. Menurut Asmudjo, Butet sejatinya mengajak pengunjung untuk menyelami dimensi spiritualitas dan realitas sosial-politik lewat karya seni rupa. 

Bagi dosen seni rupa ITB itu, aspek pencerahan spiritual yang personal seorang Butet diperpanjang menjadi karya seni dalam dimensi yang terbuka dan diperluas menjadi representasi persoalan yang menyangkut dimensi sosial-politik, lebih-lebih dinamika politik di tanah air seiring penyelenggaraan Pemilu Presiden maupun Pileg belum lama ini. Dengan kata lain, karya-karya Butet Kartaredjasa dalam pameran ini menunjukkan keterampilan dan kekuatan BK dalam mengubah yang esoteris menjadi eksoteris.

 

*Kota Jambi, 23 Mei 2024.

0 Komentar