Risalah Cibubur

ilustrasi

Oleh: Jumardi Putra*

Bertempat di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, seribu peserta dari 33 provinsi di Indonesia mengikuti hajatan akbar Jambore Nasional Bahasa dan Satra. Perhelatan ini diprakarsai Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Seluruh peserta dibagi secara acak dalam tiga kampung, yakni Nusa, Bangsa dan Bahasa. Agenda ini melibatkan para ahli bahasa dan sastra, antara lain Putu Wijaya, Sujiwotejo, DR. Mukjizah, Prof.Dr Amrin Saragih, DR.Fairul,DR. Ganjar Harimansyah, Prof.Dr.Cece Sobarna, Prof.Dr.Hanna.

Kegiatan yang berlangsung dari 28 November - 4 Desember ini dibuka secara resmi oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, Ph.D, (29/11). Wiendu Nuryanti mengatakan, bahasa Indonesia memiliki peran strategis sebagai sarana pergaulan antarsuku bangsa, sekaligus sebagai pemersatu bangsa yang berbhinneka tunggal ika.

Namun, ia tetap mengingatkan, selain bahasa Indonesia, bahasa daerah tetap memiliki posisi dan peran yang sangat mendasar bagi kemajuan kebudayaan yang berkembang di setiap daerah.
Sastrawan Putu Wijaya mengatakan kekayaan budaya daerah yang berwujud dalam bahasa merupakan kekuatan bagi generasi muda untuk menyongsong masa depan. "Ayo kita berjuang tiada henti untuk berkarya, karena dengan itulah, keragaman yang kita miliki tidak punah sia-sia," imbuhnya, saat mengisi diskusi bertema nasionalisme, dan penggalian nilai-nilai kearifan lokal.

Hal di atas menandai pentingnya keberadaan bahasa Indonesia, guna meneguhkan identitas bangsa dengan bahasa persatuan. Hal itu bukan tanpa alasan, ketahanan bahasa Indonesia saat ini sedang diuji dalam era globalisasi. Karena kecintaan generasi muda, termasuk pelajar dan mahasiswa, terhadap bahasa nasional menunjukkan grafik menurun.

Saya sependapat dengan penjelasan kepala Badan Pengembangan Bahasa, Agus Dharma, bisa jadi karena nilai-nilai bahasa dan sastra kurang digali, dan disaat yang bersamaan, bahasa asing dianggap lebih bergengsi.

Apalagi, pada pelaksanaan ujian nasional SMP/SMA, kegagalan ujian bahasa Indonesia mencapai 30 persen. Sebaliknya, kegagalan di ujian bahasa Inggris berkisar 5 persen. Di samping itu, hasil pantauan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa terkait indek sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia,terutama di kalangan anak-muda hanya 1,4 dari skala 5 (29/11).

Bagaimana denga para pejabat di negeri ini, baik di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Hemat saya, mereka juga ketularan penyakit sok-Inggris. Dalam hal ini, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya mengharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia di dalam atau di luar negeri.

Nah, saat ini tinggal menunggu terbitnya peraturan Pemerintah (PP) turunan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. PP itu akan melahirkan perpres, dan kemudian peraturan menteri (permen) tentang pedoman penggunaan bahasa Indonesia.

Di samping itu, faktor lain yang patut dilirik adalah, penyampaian pelajaran bahasa Indonesia di jenjang pendidikan formal yang tidak berorientasi maju karena lebih mementingkan target pencapaian nilai semata. Padahal, akan lebih baik jika para siswa diberi waktu untuk berdiskusi, berdebat, dan berkreasi dalam menulis serta membaca.

Dengan demikian, hasil pleno yang dibacakan pada malam puncak Jambore, buah karya dari diskusi tiga kampung (Nusa, Bangsa dan Bahasa), dengan melibatkan para ahli bahasa dan sastra, dalam istilah saya, merupakan bentuk Piagam Cibubur, yang pada dasarnya kembali mempertegas nasionalisme kebangsaaan melalui bahasa Indonesia.

Diakui penyelenggara, agenda berskala nasional ini baru pertama kali diadakan, sehingga terdapat kekurangan. Ambil misal, kehadiran peserta yang berkebutuhan khusus. Di satu sisi ini merupakan terobosan yang patut diacungi jempol, tetapi di lain sisi, jika tidak disiapi secara maksimal, baik persoalan ruang aktualisasi maupun kemudahan (fasilitas) selama kegiatan, maka keberadaan mereka sekedar pelengkap. Ke depan, kiranya kehadiran mereka bisa diwujudkan dalam berbagai macam ruang aktualisasi.

Terlepas dari kendala di atas, secara umum kegiatan ini bergizi tinggi. Dalam hal ini, kontingen Jambi, sebagaimana provinsi lain, mendapat kehormatan menampilkan keterampilan di bidang bahasa dan sastra, terkait kearifan lokal Jambi melalui medium Baca Puisi, Berbalas Pantun, Monolog, Baca Cerita Rakyat, dan Menyanyikan Lagu Daerah.

Hampir sepekan bermukim di tenda sederhana, tampaknya butir ketiga dari Sumpah Pemuda betul-betul mempertemukan seribu peserta Jambore yang berasal dari beragam daerah, yang sudah barang tentu bermacam pula latar belakang budaya, dan di saat yang sama, peserta mengukuhkan tekad bersama: Satukan Bangsa dengan Bahasa!.

*Jumardi Putra adalah salah satu kontingen dari Provinsi Jambi. Laporan kegiatan ini terbit di Koran Tribun Jambi, Kamis, 8 Desember 2011 dengan judul Bahasa Asing Dianggap Lebih Bergengsi

0 Komentar