Antony Zeidra Abidin dan Kabut Zaman 1965

Antony Zeidra Abidin

Oleh: Jumardi Putra*

November 2019 saya bersua Prof. Asvi Warman Adam di ruang kerjanya di lantai 11 gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), Jakarta. Pertemuan saya dengan sejarahwan spesialis 1965 itu untuk menelusuri keberadaan sejarahwan Jang Aisjah Muttalib yang menulis disertasi berjudul “Jambi 1900-1916: From War to Rebellion" tahun 1977 di Universitas Columbia, Amerika Serikat (Lebih lanjut baca di sini: Jejak Pemikiran Jang Aisjah Muttalib dan Mengintip Celah Penelitian Sarikat Abang Jambi Tahun 1916).

Dalam obrolan santai kami, pak Asvi sempat menyinggung novel berjudul kabut zaman karya Antony Zeidra Abidin dengan latar belakang peristiwa kelam 1965. Selain menulis novel, Antony tergolong aktif menulis artikel dan karya future, lebih-lebih bila dirinya melakukan lawatan ke daerah-daerah yang menarik perhatiannya baik dalam maupun luar negeri.    

Sontak saya penasaran dengan sosok Antony ini, lantaran selain sesama Jambi, ia juga pernah menjabat sebagai wakil Gubernur Jambi periode tahun 2015 sampai 2010. Tidak banyak pejabat Jambi aktif menulis baik karya fiksi maupun non-fiksi. Di antara koleksi kepustakaan saya (fiksi-non fiksi) yang bertitimangsa pada peristiwa 65, jelas saya tergolong terlambat mengetahui novel terbitan Imago 2011itu.

Dibanding sebagai penulis, hemat saya Antony masyhur sebagai politisi. Bahkan jejak politik itu kini diteruskan oleh anaknya yaitu Pinto Jayanegara yang terpilih sebagai anggota dewan sekaligus menjadi wakil ketua DPRD Provinsi Jambi periode 2019 sampai 2024. 

Dalam dunia politik, pria kelahiran Bangko, 15 Oktober 1951 itu aktif sebagai Pengurus DPP Golkar (1999-2004) dan menjabat sebagai Ketua Dewan Penasehat DPD I Golkar Provinsi Jambi. Pada tahun 2011 Antony menjadi Anggota DPR-RI periode tahun 1999-2004 melalui Pergantian Antar Waktu (PAW). Di Senayan, Antony terpilih menjadi Ketua Sub Komisi Perbankan dan Lembaga Keuangan Non-Bank Komisi XI.

Antony menempuh pendidikan bangku sekolah dasar di SD Negeri I Bangko, Jambi, SMPN 4 di Kota Jambi dan lulus di SMA Negeri V Jakarta Tahun 1971. Selanjutnya pada tahun 1973 ia meneruskan pendidikan ke jenjang strata satu di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (sekarang FISIP UI) hingga menamatkannya tahun 1979.

Kepiawaian pria asal Bangko, Merangin, itu sebagai organisatoris ternyata berakar kuat sedari mahasiswa. Bahkan Antony mulai terlibat dengan aktivitas gerakan sejak ia masih duduk di bangku SMA. Namanya terdaftar dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) pada tahun 1966-1970 dan kemudian menjadi Ketua Ranting Pelajar Islam Indonesia (PII) Kampung Bali di tahun 1968-1970. Selanjutnya Antony menjabat sebagai Pengurus PII cabang Tanah Abang.

Mungkin ini sudah jadi tradisi, kampus adalah tempat bersemainya aktifisme. Begitu juga yang dijalani Antony saat kuliah di Universitas Indonesia. Sejak 1970 ia menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Keikutsertaannya di organisasi pers menjadi bekal dirinya mendirikan dan menjadi Pemimpin Umum Majalah TEMA FIS-UI (1971-1974) dan menjabat sebagai Pemimpin Umum Majalah Prohumanika FIS-UI (1972-1974). Antony terpilih menjadi Anggota MPM-UI (1975-1976) serta menjabat sebagai Ketua HMI Komisariat FISIP UI di tahun yang sama.

Tidak berhenti sampai di situ, pada tanggal 14 Januari 1976 Antony selaku pemimpin umum pertama, bersama nama-nama beken lainnya, antara lain Zulkarimen Nasution/Pemimpin Redaksi; Masmiar Mangiang/Redaktur Pelaksana; Prof. Zulhasril Nasril/Penanggung Jawab Rubrik Apokromat; Pamusuk Eneste/Penanggung Jawab rubrik kebudayaan; Prof. Ikrar Nusa Bakti/Staf redaksi; mendirikan Surat Kabar Kampus-Universitas Indonesia (SKK-UI) SALEMBA. 


Surat Kabar kampus UI yang memuat konten seputar mahasiswa dan dinamika politik nasional ini dua kali dibreidel rezim Orde Baru dengan dicabutnya izin penerbitan Salemba oleh Menteri Penerangan yang ketika itu dijabat Ali Murtopo pada 6 Mei 1980-sehari setelah terbit edisi 88 pada tanggal 5 Mei 1980.

SKK UI Salemba didirikan sebagai koran mahasiswa alternatif ketika aktivitas mahasiswa di Indonesia sedang dalam masa kebangkitan dari keterpurukan pasca sikap represif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru akibat dampak dari peristiwa Malari 1974. 

Antony, dalam tulisan Lisan Sulaiman berjudul “Suara Kritis dari Salema SKK Salemba Menanggapi Permasalahan Kemahasiswaan dan Dinamika Politik Nasional pada Masa Orde Baru (13/3/2013)”, mengatakan Salemba muncul saat dunia kemahasiswaan sedang mendapat sedikit “angin segar” dari pemerintah lewat Laksamana TNI Sudomo selaku kepala Staf Kopkamtib karena keprihatinannya terhadap aktivitas dunia kemahasiswaan yang dinilainya menjadi sangat monoton dan tidak berkembang pasca Malari.

Pada titik itu kiprah Antony terus mengalami perkembangan pesat. Selain aktif di pergerakan maupun pers mahasiswa, Antony kerap diminta mengisi dalam berbagai forum diskusi di berbagai kampus serta menyumbang tulisan dan kritikannya di berbagai surat kabar nasional maupun lokal.

Usai merampungkan jenjang S1 Antony menjadi pengajar FISIP UI tahun 1980 sampai 1982 dan turut mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang pers, real estate dan konstruksi. Beberapa media yang dimiliki Antony, antara lain majalah Properti Indonesia dan Uang & Bank, serta koran Pelita Bangsa dan Jurnal Indonesia.

Kabut Zaman

Novel Kabut Zaman terbitan Imago diluncurkan pertama kali pada 15 Oktober 2011, bertempat di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kehadiran karya Antony ini menambah daftar panjang buku fiksi maupun non-fiksi yang  mengangkat tema dan latar belakang pemberangusan komunisme di Indonesia terutama pasca September 1965. Bahkan, pada minggu pertama sebelumnya di Goethe Institute, Jakarta, diluncurkan buku “Memecah Pembisuan” yang memuat tuturan penyintas tragedi 65-66, dengan editor Putu Oka Sukanta.

Diakui Antony, penulisan novel Kabut Zaman memakan waktu hampir enam bulan, tepat saat dirinya menjalani masa tahanan kasus suap Bank Indonesia di penjara Cipinang. Novel setebal 606 halaman ini adalah bagian pertama dari trilogi yang direncanakan dengan setting tahun 1960-an sampai reformasi. Sependek penelusuran saya, trilogi yang dicanangkan Antony belum terealisasi hingga sekarang. Berhenti pada Kabut Zaman delapan tahun lalu.

Novel karya Antony Zeidra Abidin

Kabut Zaman ditulis Antony Zeidra Abidin untuk mengenang mantan wakil Perdana Menteri/Menlu RI Soebandrio dan mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Oemar Dhani yang lebih dari 30 tahun mendekam di Penjara Cipinang. Meski Antony tidak mengenal kedua tokoh itu, tetapi dirinya membayangkan dan merasakan apa yang terjadi pada diri dua tokoh itu, secara fisik maupun kejiwaan, selama dalam Penjara Cipinang.

Bagi Antony, situasi yang dialami kedua tokoh itu jelas berbeda dengan dirinya ketika menjalani masa tahanan di LP Cipinang. Semasa di penjara dirinya justru berkesempatan belajar banyak dan merasa diperlakukan dengan baik dibandingkan orang-orang dan simpatisan PKI yang dipenjarakan tanpa proses hukum dan diabaikan hak-hak asasinya. 

Menurutnya ada orang yang diadili tetapi umumnya tidak diproses hukum. Lebih banyak lagi, ratusan ribu bahkan jutaan tewas dalam peralihan kekuasaan Sukarno ke tangan Jendral Soeharto yang memimpin republik ini selama 32 tahun.

Peristiwa seputar 1965 merupakan suatu peralihan kekuasaan yang berlumuran darah, bahkan banjir darah. Namun sayangnya, hingga tumbangnya Suharto, bahkan sampai kepemimpinan presiden Jokowi sekarang, tidak ada proses hukum maupun rekonsiliasi. Semuanya meninggalkan tanda tanya. Itu semua menjadi kabut zaman. Bahkan menjadi semacam “hantu” yang sengaja diciptakan oleh mereka yang berkepentingan menjaga status quo kekuasaan sekarang ini.

Bukan tanpa alasan Prof. Asvi Warman Adam memberitahu novel kabut zaman kepada saya, selain tentu saja karena saya dan Antony sesama Jambi, sebagaimana di muka tulisan, tetapi juga karena dirinya diminta menjadi salah satu pembicara yang diundang untuk membedah novel ini delapan tahun yang lalu. 

Dalam pandangannya, kabut zaman merupakan novel yang layak dibaca, karena mengangkat penggalan-penggalan fakta sejarah di sekitar peristiwa 1965 melalui kisah dua orang bersahabat yang terus berusaha menghindar dari kejaran rezim berkuasa yang ingin memberangus orang-orang yang dinilai terlibat PKI, demi menyelamatkan anak, istri dan saudaranya. Bahkan yang membuat novel kabut zaman menarik, lanjut Asvi, selain geger 65 yang hingga kini masih menyisakan pelbagai tafsir, Antony tidak berasal dari korban 65, tetapi justru dari kalangan yang bisa dianggap berseberangan.

*Tulisan ini terbit pertama kali di kajanglako.com pada 22 Januari 2020. 

0 Komentar