Ramdani Sirait, Presiden Gus Dur dan Isu Sosial yang Berserakan

Ramdani di Timor-Timur (sekarang Timor Leste, 1999)
 
Oleh: Jumardi Putra*

Siang itu langit Tanah Pilih Pusako Betuah, Kota Jambi, berawan cerah. Saya bergegas menyalakan motor usai mendapati kepastian wawancara bersama Ramdani Sirait di rumahnya, yang berlokasi di Jalan Kapten Dirham No. 20, tepatnya belakang Masjid Nurul Hikmah, antara Kantor Samsat dan CPM, Jelutung, Kota Jambi.

Kunjungan ini bukan kali pertama bagi saya, setelah tiga pertemuan sebelumnya berlangsung di kediaman warisan orangtuanya itu. Terakhir kali saat bedah buku terbarunya, Going Global (2017), yang mengangkat pengalaman empiris belasan individu dari pelbagai daerah di Indonesia, yang dengan segala keterbatasan berhasil meraih prestasi sekaligus bekerja di berbagai lembaga internasional.

Publik Jambi mungkin belum banyak mengetahui rekam jejak Ramdani Sirait,  sosok pria yang hingga sekarang telah mengunjungi 26 negara di 5 Benua. Mula perkenalan saya dengan lelaki yang pernah bekerja sebagai koresponden Kantor berita Antara di Amerika Serikat periode 2001-2004 ini medio 2016 di sebuah cafe di pusat belanja Kota Jambi. Jejaring sosial facebook menghubungkan kami yang sebelumnya tidak kenal satu sama lain, apatahlagi bertatap wajah langsung dalam sebuah majelis ilmu.

Kala itu kami bertukar pikiran mengenai situasi Jambi,  utamanya paska Zumi Zola Zulkifli, yang dikenal luas sebagai artis pemeran film nasional, dilantik sebagai Gubernur Jambi periode 2016-2021 setelah sebelumnya berhasil mengalahkan kandidat petahana, yaitu Hasan Basri Agus (HBA) pada pilkada serentak dua tahun lalu (2015).

Jumpa perdana kami ketika itu dipungkasi berbagi buku karya pribadi. Ramdani menghadiahi saya novel berjudul Green Card (2014), sebuah novel yang mengangkat sisi pelik migran ilegal di Amerika Serikat dan buku “Jangan Bawa Pulang HIV” yang berisikan pengalaman sekaligus data riset seputar HIV /AIDS (2015), utamanya karyawan perusahaan berpenghasilan tinggi yang sering melakukan perjalanan jauh.

Dua buku itu (plus Going Global) seakan menjadi saksi bagi perjalanan sekaligus orientasi karirnya, yang belasan tahun bekerja sebagai jurnalis, juru bicara perusahaan multinasional, hingga memilih berkecimpung dalam dunia pemberdayaan kesehatan (utamanya HIV/AIDS) dan hingga sekarang aktif sebagai konsultan bidang komunikasi serta pemberdayaan kaum muda kreatif Kota.

Kepadanya saya memberikan buku sepilihan puisi “Ziarah Batanghari” (2013) dan kumpulan esai-esai budaya bertajuk “Kami Tahu Mesin Berhenti, Sebab Kami yang Menggerakkannya (2015)”. “Semoga menguatkan kerinduan Anda pada tanah kelahiran sekaligus berbuat untuk kemajuan Jambi, imbuh saya disambutnya dengan tawa.

Meski sejak 1986 hingga sekarang memilih tinggal di Jakarta dan pernah beberapa tahun di Amerika Serikat serta Inggris, bagi Ramdani, Jambi telah meletakkan landasan kuat dalam kedewasaannya baik sebagai pribadi maupun pekerja profesional. “Itu sebabnya saya selalu ingat dan menyempatkan diri berkunjung ke Jambi, meskipun dinamisasi Jakarta lebih pas untuk saya, keindahan Bali lebih enak untuk dilihat, kesederhanaan Yogyakarta lebih nikmat untuk dirasakan, atau kota megapolitan New York City yang ngangenin,” tutur pria yang pernah bertugas dalam ketakutan pasca Referendum di Timor-Timur pada 1999 itu.

“Sayangnya, setiap kali saya pulang ke Ibu Kota Provinsi ini selalu menyembulkan tanda tanya besar, yaitu kenapa Jambi bergerak lamban. Kenapa dak ado perubahan fundamental di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah ini, seperti masih sedikitnya lapangan pekerjaan (di tengah keumuman warga muda berlomba-lomba menjadi PNS), tumbuhnya kaum terdidik yang menjadi pengangguran ‘baru’, dan kualitas pendidikan masih jauh dari harapan,” imbuhnya keheranan.

“Kontribusi kongkrit Anda bagi Jambi ditunggu lo?” timpal saya seolah menagih.

“Medio 2016 lalu kita pernah membicarakan kinerja Zola sebagai Gubernur Jambi, dan pahitnya, baru-baru ini, 28 November 2017, Jambi gempar oleh OTT KPK terkait uang “Ketok Palu” RAPBD Jambi 2018, sehingga bawahannya (Plt. Sekda, Asisten III, dan Plt. KadisPUPR) ditahan KPK,  dan dirinya sendiri dijadikan tersangka grativikasi RAPBD Jambi. Ini pukulan berat bagi pemerintahan Jambi yang dihadapkan pada pekerjaan rumah nan kompleks ke depan,” tuturnya.

Namun demikian,  lanjut pria penyuka empek-empek ini,  semua Kabupaten/Kota dan pemerintah Provinsi Jambi sekarang dan ke depan mesti bekerja keras dalam bingkai transparansi, akuntabel dan menerapkan konsep keberlanjutan, sehingga bisa mensejajarkan diri dengan provinsi lain di Indonesia yang sudah lebih maju, terutama pencapaian-pencapaian pembangunan seperti Human Development Index, Indeks Kesehatan Masyarakat, Indeks Kota Cerdas untuk ibukotanya, dan indeks kelayakan hidup.

Kerja Jurnalistik

Ramdani Sirait lahir 3 Desember 1967 di Kota Jambi. Masa kecilnya banyak dilalui di rumah orangtuanya, yang kini ditempati dua adiknya di Jelutung Kota Jambi. Rumah ini juga tempat tinggalnya ketika dia pulang ke Jambi.

Ayah Ramdani Sirait asli dari Kisaran, Sumatera Utara, dan Ibunya dari Kuningan, Jawa Barat. Mereka bertemu di Palembang mulanya, ketika ayah Ramdani yang anggota Polisi Militer saat itu, sedang bertugas di kota Palembang, dan kemudian bertemu dengan ibunya yang saat itu sedang bersama bibinya yang tinggal di kota itu.

“Menikahlah mereka, dan berpetualanglah mereka dari satu kota ke kota lain di Sumatera sebagai keluarga Polisi Militer. Sementara dua abang saya lahir di Palembang dan Kerinci, sementara saya dan dua adik saya lahir di kota Jambi. Dari lahir hingga lulus SMA pada 1986, yaitu SMA Negeri 3 Jambi, saya tinggal di Jambi. Karenanya, saya merasa bahwa saya orang Jambi.Tempat tanggal lahir saya di semua dokumen kehidupan saya adalah Jambi, tukas Ramdani.

Lulus kuliah tahun 1991, Ramdani Sirait mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan periklanan sebagai customer service officer. Belum satu tahun di perusahaan ini, Ramdani melihat lowongan pekerjaan sebagai wartawan dari sebuah Lembaga Psikologi yang melakukan rekrutmen.
Berbekal ilmu praktek menulis sejak SMP hingga diasah selama di perguruan tinggi mendorong Ramdani untuk melamar. Lalu setelah 3 bulan proses seleksi, Ramdani dan 9 orang lainnya diterima menyisihkan banyak pelamar lainnya.

“Ternyata yang mencari wartawan baru itu adalah Kantor Berita Antara. Dulu Lembaga Kantor Berita Nasional namanya. Januari 1992 saya mengikuti pendidikan dan pelatihan di Kantor Berita Antara ini,” tuturnya.

Juni 1992 Ramdani resmi diterima sebagai wartawan kantor berita Antara dan tugas pertama saat itu adalah meliput Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Non Blok yang diselenggarakan di Jakarta Hilton Convention Centre (saat ini namanya Jakarta Convention Centre).

“Itu adalah pengalaman luar biasa buat saya, karena saya melihat banyak kepala negara asing, para diplomat dan orang-orang hebat lainnya. Pengalaman lapangan saya ketika itu adalah mewawancarai Nur Misouri, pemimpin Front Kemerdekaan Filipina Selatan yang juga hadir di perhelatan internasional yang menjadi kebanggaan Presiden Soeharto saat itu,” ungkapnya.
Sepanjang bekerja di Antara, Ramdani pernah menempati posisi-posisi strategis, antara lain Kepala liputan bidang ekonomi, koresponden di Timor-Timur tahun 1999, Koresponden untuk Istana Presiden 2000, dan Kepala Biro di New York, Amerika Serikat, 2001-2004 serta mendapat fellowship British Chevening Award, Pemerintah Inggris untuk Advanced Journalism dan belajar di Cardiff University, di Wales, United Kingdom, pada 1998.

“Khusus fellowship, saya tidak sendirian. Ada jurnalis dan host ternama Kick Andy, yakni Andi F. Noya dan tiga wartawan lainnya dari Indonesia,sambungnya.

Ramdani bersama Andi F. Noya, dkk

Presiden Gus Dur

Mengetahui Ramdani pernah menjadi koresponden berita Antara di Istana Presiden tahun 2000, pandangannya terhadap sosok santri neomodenis ‘par excellence’, yang adalah Presiden RI keempat, yaitu Abdurrahman Wahid,  akrab disapa Gus Dur, saya korek perlahan-lahan.
Ambil misal, sosok Gus Dur yang menjadikan Istana sebagai “rumah rakyat” sehingga mudah didatangi warga, utamanya dari kalangan Kiai dan ulama; sejumlah kerja  bilateral Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara lainnya (tak luput kontroversi Gus Dur saat bertemu Menteri Perdagangan Israel di bandara sebelum lawatan kenegaraan ke luar negeri).

Begitu juga  hubungan Gus Dur yang amat cair dengan para jurnalis dan kelompok pejuang demokrasi, situasi yang amat berbeda bila dibandingkan dengan sosok Soeharto, yang dikenal ketat dan kaku; serta kedekatan Ramdani selaku teman dengan Yenni Wahid, anak bungsu Gus Dur. Bahkan, tak luput joke-joke Gus Dur (ciri utama presiden yang humoris itu),  yang ia dengar secara langsung juga diceritakan kepada saya dan wiwin.

Tak hanya itu, Ramdani menceritakan pengalamannya menikmati fasilitas VVIP dengan berpergian bersama Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000; meliput pertemuan Gus Dur dengan para kepala negara asing, mengikuti forum-forum internasional, menyaksikan kehidupan sangat miskin di negara Haiti, di Selatan Amerika Serikat; menyaksikan tari perut yang sangat seronok di pinggir Sungai Nil, Kairo, ibukota Mesir, salah satu negara Islam itu, bersama rombongan Presiden saat itu, dan itu pertunjukkan yang legal dan siapa saja boleh datang asalkan sudah dewasa.

Lalu saat bertugas di Amerika Serikat selama empat tahun, Ramdani turut menyaksikan runtuhnya Word Trade Centre di New York yang kemudian membuat kaum imigran termasuk warga negara Indonesia was-was diusir dari Amerika Serikat karena berasal dari negara Muslim yang dinilai inteligen negara itu potensi terorisnya banyak. Ketika itu ada sekitar 100 ribuan orang Indonesia tinggal di Amerika Serikat, baik tinggal maupun bekerja, termasuk mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik orang-orang Yahudi.

Dalam pada itu, Ramdani bertemu dan menyaksikan para tenaga kerja Indonesia di Malaysia, Singapura, Arab Saudi yang semangat hidupnya luar biasa besarnya. “Mereka adalah orang-orang yang pergi jauh dari negara untuk mencari kehidupan lebih baik dengan caranya sendiri, bukan dengan teriak-teriak protes dan mengeluh,” kilahnya.

“Wah, menarik pengalaman Anda. Penting ditulis secara khusus agar dibaca khalayak,timpal saya.

“Cukup banyak buku soal itu. Semoga ke depan saya bisa menulis pengalaman saya yang terserak semasa Gus Dur jadi orang nomor satu di republik ini sekaligus pengalaman berkunjung ke beberapa negara konflik, seperti Iran, Pakistan, dan Haiti, ” ungkapnya sembari menyebut beberapa contoh publikasi buku sekaligus beberapa lembar fotonya bersama Gus Dur  semasa menjadi presiden, dan bahkan meminjamkan saya salah satu koleksi buku di rumahnya, yang diberikan langsung oleh Yenni Wahid kepadanya, yaitu Gus Dur di Istana Rakyat (Catatan Tahun Pertama), yang dieditori oleh budayawan Mohamad Sobary dan kawan-kawan. 

Tsunami Aceh dan Juru Bicara PT Freeport Indonesia

Pulang dari New York pada akhir 2004, Ramdani sempat kembali bekerja di Kantor Berita Antara. Tetapi Ramdani sepertinya ingin pengalaman baru. Di antara pencariannya, Ramdani tertarik dengan tawaran bekerja untuk lembaga kemanusiaan internasional untuk program pemulihan anak-anak korban tsunami Aceh.

“Awal tahun 2005, saya mulai bekerja di Banda Aceh selama enam bulan. Saya senang, karena saya bekerja di lapangan lagi, bertemu banyak kawan lama dan baru, dan tidak harus bekerja di belakang meja terus menerus,” ungkap Ramdani yang selalu hoki dengan angka 3.

Usai membantu rakyat Aceh yang terkena dampak gempa bencana tsunami pada 2005, Ramdani ditelepon oleh PT Freeport Indonesia untuk bergabung dengan tim komunikasi perusahaan itu. Sampai akhirnya ia bekerja resmi di perusahaan ini sejak Maret 2006 di kantor pusat di Plaza 89, kawasan Kuningan, Jakarta selatan.

Ramdani menuturkan bekerja di perusahaan ini dengan beberapa tanggung jawab. Mulai dari supervisor untuk hubungan dengan media massa, lalu Wakil Manajer untuk hubungan dengan media massa dan program CSR dengan nama "Freeport Peduli," hingga menjadi Manajer Komunikasi yang dipaksakan mengingat manajer sebelumnya sudah pindah ke perusahaan lain, dan sekaligus menjadi juru bicara perusahaan karena pejabat sebelumnya meninggal dunia dan belum ada pengganti resminya setelah itu.

"Bagi saya, bekerja di Freeport adalah sebuah tahapan luar biasa lainnya yang saya lalui dalam hidup saya. Bayangkan, saya tidak hanya bekerja di perusahaan multi nasional yang mengolah sumber daya alam dengan teknologi tinggi dan modal luar biasa besarnya.Tetapi juga menangani berbagai pekerjaan yang berhadapan dengan banyak pihak yang sangat berseberangan dalam hal cara memahami industri ekstraktif seperti Freeport. Belum lagi banyaknya warna politik dalam permasalahan yang kami hadapi setiap harinya saat itu.Tetapi saya bersyukur karena saya pernah menjalani semua itu," ungkapnya.

HIV/AIDS dan Isu Sosial Lainnya yang Berserakan

Maret 2013, paska berhenti dari Freeport, Ramdani diminta oleh manajemen PT Gadjah Tunggal Tbk, yang memproduksi ban dengan merek GT Radial, sebagai Senior Manager Komunikasi Perusahaan yang juga membawahi program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/ CSR.

Akan tetapi, tidak lama Ramdani bekerja di perusahaan yang sudah Go Public di Bursa Efek Indonesia ini, Oktober 2014, Ramdani diminta untuk menjadi Direktur Eksekutif sebuah organisasi kesehatan tenaga kerja yang dibangun tujuh perusahaan nasional dan multi nasional yaitu Unilever, Chevron, Gajah Tunggal, Freeport Indonesia, British Petroleum/ BP, Sintesa Group, dan Sinarmas.

Organisasi itu adalah organisasi yang mengkampanyekan pentingnya program yang cerdas dan tepat dalam merespon HIV dan AIDS di tempat kerja. Organisasi ini dibangun didasari semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja yang terinfeksi HIV, lalu kemudian menjadi AIDS, dan sebagian meninggal karena penyakit-penyakit akibat AIDS. Ini tentunya mengkhawatirkan bagi manajemen sumber daya manusia di dunia usaha.

Tak terasa, dua tahun Ramdani memimpin organisasi dengan nama Indonesian Business Coalition on AIDS ini. Setahun di antaranya Ramdani juga diminta oleh Pemerintah Indonesia, tepatnya Kementerian Tenaga Kerja RI, untuk menjadi Koordinator program serupa untuk kawasan Asia Tenggara, ketika Indonesia menjadi Ketua organisasi tingkat ASEAN ini.

Sambil bekerja di organisasi ini, Ramdani mendapat tawaran untuk mengikuti program eksekutif tentang kemitraan untuk keberlanjutan di Pascasarjana Universitas Paramadina. Program ini kerjasama antara Pasca Sarjana Universitas Paramadina dengan sebuah LSM di Jakata, Company - Community Partnership on Health in Indonesia, dan Ford Foundation.

“Program tersebut mempertemukan para eksekutif dari kalangan pemerintah, swasta, LSM, media massa selama tiga bulan untuk memahami lebih jauh apa yang harus dilakukan dalam mengusung kemitraan dalam setiap program pembangunan. Kami juga belajar banyak best practices dalam kemitraan,” tuturnya.

Waktu terus berjalan, Ramdani terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Bertemu dan bertukar pikiran dengan banyak orang dari pelbagai kelompok, baik dalam mapun luar negeri. Berpikir lalu bertindak demi capaian yang direncanakan untuk dikejar menjadi ciri utama dari pribadinya yang sulit berhenti bekerja untuk sebentar.

“Apa arti kesuksesan bagi Anda, sebagaimana keberhasilan yang anda raih hingga sekarang”, tanya saya.

“Mungkin banyak orang akan terkesima membaca rekam jejak saya, tetapi pointnya tidak semata pada hasil yang saya raih, melainkan sikap bekerja keras tanpa perhitungan dan fleksibilitas yang tinggi dalam karir akan mengantarkan sesiapa saja pada tahap-tahap menggairahkan dalam dunia kerja. Dalam kaitan itu, sukses adalah ketika kita berhasil mengumpulkan pengalaman luar biasa, yang bermanfaat untuk banyak orang. Itu yang nyata saya alami dan lakukan.  Proses tidak akan mengecewakan anda,” jawabnya penuh yakin.

Setakat hal itu, kesuksesan Ramdani seperti karang, justru ia raih setelah melewati fase terberat dalam hidupnya, yaitu ketika sang ibu meninggal dunia saat Ramdani masih di bangku kelas 6 SD, dan berselang setahun setelahnya giliran sang bapak menyusul pergi meninggalkannya.

Di titik itu terjadi perubahan mendasar dalam hidup saya. Saya lebih banyak sendiri. 
Menghabiskan waktu di rumah dengan membaca dan mengisi diari. Hidup bersama dua adik perempuan saya, dan juga bersama paman sekeluarga yang rumahnya tetanggaan dengan kami. Bahkan, ia sempat beberapa bulan pindah ke Sumatera Utara, tapi tak betah sehingga kembali lagi ke tanah lahirnya dan melanjutkan sekolah hingga tamat di SMA N 5 Kota Jambi pada 1983.

Masa-masa SMA dilalui cukup berarti. Ramdani sekolah di SMA N 3 Kota Jambi.Tidak jauh dari tempatnya tinggalnya, sehingga bisa berjalan kaki pulang dan pergi. Semasa SMA, dia pernah menjadi ketua kelas, pengelola majalah sekolah, dan aktif di pramuka dan Drum Band Cakra Bahana Nada, milik Pemerintah Provinsi Jambi. Namun, diari tetaplah sahabat terdekatnya saat itu.

“Apa pendapat Anda tentang kegagalan dalam dunia kerja,” tanya saya. 

Ramdani langsung mencontohkan, yaitu sebelum terjun di dunia jurnalistik, awalnya ia kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan, sebuah perguruan tinggi yang dikelola Departemen Perindustrian RI (saat itu) dan berlokasi di perbatasan antara Jakarta Selatan dan kota Depok.
“Kenapa memilih Akademi Pimpinan Perusahaan?” sambut saya

“Saya gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pilihan saya ketika Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 1986 yaitu Sastra Inggris dan Sastra Perancis di Universitas Indonesia, gagal. Nama saya tidak ada dalam daftar yang dipublikasikan koran-koran ibukota saat itu. Nangis? iya! Patah semangat? hampir!” kenangnya.

“Tapi dari situ saya berusaha bangkit. Gigih belajar. Bekerja di banyak tempat dengan gaji tak seberapa. Bahkan saya terus menerus belajar bahasa Inggris secara otodidak tanpa pernah berpikir apakah kelak terpakai atau sebaliknya. Alhamdulilah, berjalannya waktu, perlahan-lahan usaha keras saya membuahkan hasil. Adalah sebuah proses panjang bahwa saya bisa menjadi orang yang terpilih di setiap kompetisi, ujian, tes dan penempatan di sejumlah posisi dan tempat, termasuk ke luar negeri. Itu semua berkat prinsip saya yaitu tidak pernah perhitungan dalam belajar dan bekerja,” jelasnya.

“Apa kesibukan Anda sekarang,” tanya saya.

Akhir 2016 Ramdani Sirait memutuskan untuk independen. Ia kerap mengisi waktu sebagai pembicara, pemateri, motivator di sejumlah kampus, pemerintah daerah dan komunitas-komunitas muda di beberapa kota di Indonesia.

Ramdani juga diundang untuk bicara di sebuah kampus di Bangkok Thailand bersama Diaspora Indonesia Thailand, serta bertemu mahasiswa asal Indonesia dengan para anak muda Thailand. “Ada satu kekosongan di diri saya  yang ingin saya isi, yaitu membantu banyak pihak dalam melihat apa yang terjadi di depan, dan bagaimana sukses menangkap peluang-peluang yang ada,” ujarnya.

Seiring mengisi berbagai forum motivasi dan pemberdayaan komunitas kreatif, sejak 2017, hari-hari Ramdani dilalui dengan memimpin perusahaan konsultan strategi komunikasi yang ia bangun bersama seorang kawannya di Jakarta, bekerja untuk para klien. Namun, akunya,  memberi kelas-kelas motivasi tetap ia lakukan selagi diberi waktu dan enerji.

“Apa pesan Anda untuk kaum muda Jambi,” tanya saya menutup pembicaraan.

“Ketika saya pertama datang di New York, Maret 2001, di apartemen tempat saya tinggal, suatu waktu saya melihat kota New York dari jendela kamar saya. Saya berkata kepada diri sendiri. Ini luar biasa. Saya bisa berada di tengah kota megapolitan ini, padahal kalau dilihat ke belakang, saya hanyalah anak dari kota Jambi, yang ketika saya kuliah di Jakarta sering dibecandain oleh kawan-kawan, Jambi itu dimana? Ada gak di peta?" kelakarnya.

Dari situ, laiaknya anak-anak yang lahir dan besar di daerah, Ramdani berkeyakinan penuh dan mengatakan bagi sesiapa saja, yaitu jangan pernah berhenti bermimpi. Gigihlah bekerja. Hiduplah berdampingan dalam perbedaan. Karena, untuk mewujudkan mimpi, bukan ditentukan darimana kita berasal, tetapi kemana kita menuju sekaligus kemampuan bekerjasama.

*Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com pada Senin, 26 Februari 2018.

0 Komentar