Malam Keagungan Melayu Jambi (Tanggapan Atas Komentar Budayawan Maizar Karim)

Koreografer Tom Ibnur pada MKMJ 2014. Sumber foto: DK-Jambi.

Oleh: Jumardi Putra*

Komentar budayawan Maizar Karim terhadap tulisan saya terdahulu, Malam Keagungan Melayu Jambi (MKMJ) dan Hal-hal yang Belum Selesai, menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Ada dua hal yang sama-sama urgen sekaligus problematis dari komentar budayawan Maizar Karim. Pertama, identitas Melayu Jambi, dan kedua, seni pertunjukan (artikulasi identitas yang disajikan dalam format pementasan) yang bertitik pijak pada budaya Melayu Jambi itu sendiri.

Meski terlibat dalam penyusunan konsep MKMJ I, untuk menyebut beberapa orang, seperti budayawan Ja’far Rasuh, Sonny Sumarsono, dan Totom Kodrat (pengarah artistik) Wiro A. Sanie (penata Musik), M. Husyairi, H. Suwendri, Didin Sirojuddin, Eri Argawan (Tim Artistik), komentar budayawan Maizar terhadap keberadaan Tom Ibnur (Sutradara) dalam MKMJ memang tidak bisa dinafikan, tetapi saat yang sama Maizar Karim “menagih” konsepsi pemikiran seputar pertujukan seni Melayu Jambi dalam formatnya yang segar dan baru. 

Itu berarti, ketiadaan, di(ti)adakan, atau memang belum ada yang sepadan, sebagaiamana ada dalam pemikiran Maizar Karim atau adakah kategori lain yang lebih tepat untuk menggambarkan bahwa kita membutuhkan hal-hal yang fundamental, terutama di bidang seni pertunjukan seni Melayu Jambi dewasa ini? Ketimbang membuat pesta-pesta kesenian yang menyerah pada romantisme masa lampau.

Sekali lagi, pernyataan budayawan Maizar Karim segera memunculkan beberapa pertanyaan yang mesti kita jawab. Pertama, kenapa tidak muncul individu selain Tom Ibnur? Jika pun muncul, siapa, dalam bentuk apa, dan dalam intensitas yang bagaimana? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut menghantarkan kita pada sebab dan akibat kenapa ketidakmunculan invidividu dan pemikiran segar sehingga terbuai pada pengulangan-pengulangan?

Terhadap persoalan itu, saya berpandangan, ada beberapa hal yang sama-sama sedang kita hadapi saat ini. Pertama, kehadiran Tom Ibnur, yang notabene kita ketahui memiliki reputasi internasional, terutama di bidang seni tari. Apatahlagi, ia menjadi bagian dari sejarah seni pertunjukan di Jambi melalui Langkan Budaya Taratak, penelitian, dan pemikirannya di bidang seni (khusus tari). Tetapi di sisi lain, kita patut khawatir, sebagaimana celetukan beberapa seniman yaitu tidak adakah individu lain? Seolah gerak-gerik pertunjukan seni Jambi dalam skala yang lebih luas seperti MKMJ diperangkap oleh jerat gergasi ‘pendekar’ ternama itu?

Hemat saya, kita mesti mengukur, kalau pun ada, untuk sampai pada jawaban bahwa Jambi memiliki selain Tom Ibnur, mari kita kaji-seriuskan. Paling tidak, MKMJ III tanpa ada keterlibatannnya. Bagaimana outputnya? Tentu selain MKMJ juga menjadi bagian tak terpisahkan untuk kita lacak siapa dan bagaimana kontribusinya? Pembacaan terhadap dua hal itu penting, karena berimplikasi pada pembibitan calon pendekar-pendekar seni Jambi lainnya, yang mulai tumbuh dari bawah sehingga berkualitas dan berumur panjang dalam beraktivitas di jalur kesenian.

Namun yang jelas, pada dua hal itu ada satu garis tegas, bahwa meski MKMJ bertitik pijak pada budaya Melayu Jambi, tetapi ia tidak berarti ‘nol’ kehadiran individu-individu yang notabene datang dari luar budaya Jambi. Apa pasal? Di situlah letak keistimewaan sebuah panggung pertunjukan yang berhasil memperlihatkan Melayu Jambi hadir dengan dimensi universalitas sekaligus partikularnya. Hal itu mesti berlaku pada tataran konsepsional sekaligus keterlibatan konkrit dalam aktivitas pertunjukan di atas panggung. Sesiapa saja mendapat tempat dan kesempatan.

Kenapa hal itu saya kemukakan di sini, karena mungkin ada pemikiran di antara kita yang bermula dari ketidakbenaran informasi (incorrect information) tentang pergelaran MKMJ I dan II, yaitu keterlibatan indvidu-individu seniman yang notabene datang (dan diundang) dari luar Jambi. Obrolan di seputar itu penuh samar. Ada yang mengkritik hal ihwal kualitas, tetapi kita tidak pernah menemukan penjelasan yang memuaskan. Jadi, atas fenomena itu, hemat saya, panggung pertunjukan kita masih didominasi oleh hal-ihwal di luar kualitas pertunjukan dan lebih kepada soal “terlibat” atau “tidak dilibatkan”, yang pada gilirannya menggiring iklim berkesenian kita pada wilayah kontraproduktif.

Kedua: MKMJ, bak dua sisi dalam satu mata uang, yang memuat dua hal yang sama-sama penting, yaitu Melayu Jambi dalam ranah sejarah dan indentitas serta pertunjukan seni dalam bentuknya yang lain, karena melibatkan unsur-unsur pertunjukan, seperti waktu, ruang, seniman, dan hubungan seniman dengan penonton, tata panggung, tata pencahaan, audio visual, dan dukungan intrumen fisik lainnya.

Untuk kepentingan analisis, tentu kedua wilayah tersebut perlu dijamah agar mendapatkan gambaran atau lebih dari itu, analisa yang multisisi dari Budaya Melayu Jambi dewasa ini, sebagaimana wataknya yang terbuka dan dinamis. Dalam kaitan itu, pandangan Maizar Karim tentang Melayu secara ontologis juga menemukan bentuk konkrit dan relevansinya dalam ruang dan waktu yang kian mengglobal kini. Dan implikasinya tentu akan berbeda dan kaya makna.

Namun demikian, asumi saya di atas bisa saja keliru, ketika saya sendiri tidak mendapatkan penjelasan yang memadai dari budayawan Maizar Karim secara lengkap, apa yang dimaksudkan Melayu secara ontologis dalam ranah MKMJ itu sendiri? Tentu perlu diperjelas dalam kedua aspek tersebut di atas. Karena keduanya dapat memberikan implikasi yang berbeda, meski dalam satu tarikan nafas: Inilah Melayu Jambi!

Ketiga, meski tidak dilengkapi penjelasan tentang Melayu secara ontologis oleh budayawan Maizar Karim, saya berusaha mencari basis argumentasinya. Merujuk pendapat Mahyudin Al Mudra, secara ontologis, kemelayuan dan keislaman merupakan dua dimensi yang berbeda. Etnik Melayu merupakan kumpulan individu-individu yang hidup di suatu tempat dan membentuk struktur sosial. Sementara itu, Islam adalah agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Melayu untuk menjalin hubungan dengan Tuhan. Yang pertama menciptakan hubungan horizontal, sedangkan yang kedua hubungan vertikal (Redefinisi Melayu, BKPBM, 2008).

Beranjak dari hal itu, saya berpendapat Melayu secara ontologis merupakan ranah falsafi (konsepsi ideal) Melayu Jambi, yang dalam sejarahnya bisa ditautkan pada babat pra dan paska Islam hingga dewasa ini, sebagaimana tercermin dalam beberapa bentuk seni tradisi yang ada di wilayah provinsi Jambi. 

Paling tidak, dalam bentuknya yang terbatas, buku kecil Uniquely of Swarnabhumi memperlihatkan seni tradisi, seperti tari, musik dan sastra, yang tumbuh pra dan paska Islam, yang secara keseluruhan (keberlanjutan) membuat identitas Melayu Jambi semakin kuat dan sadar akan sejarahnya. Lebih lanjut baca tulisan Julianti L. Parani tentang Jambi sebagai Khazanah Multikultural: Suatu Perspektif Kesenian (Junal Seloko, Vol.1, No.2, 2012: 191-213).

Kenapa hal itu saya ketengahkan, dan justru menjadi kekuatan Melayu Jambi (saya menyebutnya sebagai Melayu “sini”), karena kita melihat di saat yang sama, bagaimana Melayu “sana” dengan terang benderang menyempitkan pembulu darah identitasnya pada Melayu paska Islam, dan kemudian berujung pada legitimasi Melayu adalah Islam, serta dalam formatnya kemudian merambah ke ranah politik, yang perubahan itu, memperlihatkan “ketaksadaran” akan ruang dan waktu bahwa Melayu dalam pusaran globalisasi, bersamaan dengan percepatan pembangunan di bidang telekomunikasi dan transportasi modern, yang menjadikan dunia tak ubahnya sebuah kampung global (global village)—merujuk pemikiran Marshall McLuhan—memungkinkan orang bergerak secara lebih leluasa, berpindah dari kawasan ke kawasan yang lain, dan atau mengadopsi identitas dan budaya orang lain.

Saya bahagia, Jambi saat ini masih konsisten di jalur sejarah dan ruang kulturalnya, meski saya melihat dewasa ini, ada gelagat sebaliknya, yaitu dalam bentuknya yang parsial, makin kuatnya pemahaman yang menjustifikasi Melayu adalah Islam. Tidak Islam Tidak Melayu!

Keempat: Apakah MKMJ memberi kontribusi pada pengayaan seni pertunjukan Melayu Jambi atau lebih dari itu, penguataan sekaligus pengayaan identitas Jambi yang multikultural, atau justru sebaliknya (dalam istilah Maizar Karim, “kaburisasi” Melayu)? Hemat saya, topik itu membutuhkan analisa lebih lanjut, bahkan kajian khusus, karena tidak kelar ditilik dalam waktu serba singkat. Jadi, terbuka untuk dikaji oleh sesiapa saja untuk menguaknya.

Kelima, gagasan awal dan dinamika MKMJ dari awal hingga saat ini perlu ditinjau kembali dalam medium diskusi atau kajian yang memadai. Soal kemudian subjektif, objekif ataupun intersubjektif, tetap meminta dalil-dalil yang argumentatif. Karena itu, terbuka catatan di atas untuk diteruskan ke dalam bentuk yang lebih mendalam dan sfesifik, seperti ulasan terhadap materi seni tradisi Melayu Jambi yang ditampilkan sejak MKMJ I hingga kali ketiga dan keempat yang tengah berlangsung persiapannya saat ini.

Keenam, di luar soal MKMJ, tetapi penting, sebagaimana informasi dari budayawan Maizar Karim, bahwa 42% dari skripsi mahasiswa di UNJA merupakan penelitian tentang seni budaya Jambi, tentu kabar yang membuat lega. Meski masing-masing kita segera setelah itu diberondong pertanyaan berikut ini, antara lain, sudahkah dilakukan profiling untuk mendapatkan gambaran utuh sekaligus sfesifikasi dari penelitian tersebut? 

Kemudian, untuk tidak menjadi “rongsokan”, sudahkah ia ditindaklanjuti ke dalam bentuknya yang efektif dan menjadi penyulut bagi penelitian lanjutan yang sfesifik dan mendalam? Lalu, seberapa persen di antara yang ada, berhasil dipublikasi ke dalam medium media massa (cetak dan elektronik), jurnal, atau bahkan seminar serta konferensi? Singkat kata, pekerjaan kita untuk sampai pada kontribusi pada wilayah yang jauh lebih luas dan legitmit dalam bidang ilmu pengetahuan masih terbuka dan menuntut segera diwujudkan, terutama oleh kalangan perguruan tinggi. Sementara itu, Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitas bagi persemaian gagasan dan gerakan itu.

*Tulisan ini dibuat pada 22 September 2015. Tanggapan penulis atas komentar budayawan Dr. Maizar Karim atas tulisan saya sebelumnya berjudul “Malam Keagungan Melayu Jambi dan Hal-hal yang Belum Selesai” pada 18 September 2015.

0 Komentar