Kemasyhuran Istana Maimun Medan

 

Istana Maimun Medan

Oleh: Jumardi Putra

Ingatan saya akan kota-kota di tanah air, selain tentang kampus, pusat studi dan komunitas, perpustakaan dan toko-toko buku, adalah juga bangunan atau gedung serta tempat-tempat bersejarah. 

Demikian pengalaman saya berkunjung ke kota Medan selama empat hari pada Maret tahun 2018. Sebagai kota besar yang tergolong sibuk, Kota Medan menyimpan daya tarik tersendiri. Tidak hanya urusan bisnis yang membuat orang berdatangan ke kota berjuluk Parijs van Soematra itu, tetapi juga untuk menikmati wisata alam dan keunggulan budaya lokal seperti kesenian dan kuliner.

Galibnya kota-kota lainnya di Indonesia, kota Medan menyimpan sejarah yang panjang. Salah satu penanda keberadaan sejarah itu adalah gedung-gedung tua yang berdiri sejak masa kolonial Belanda, sebut saja seperti Istana Maimun, Masjid Al-Mashun, Restoran Tip Top (berdiri sejak tahun 1929 dan dulunya bernama Jang Kie), kediaman si tajir Tjong A Fie dan suasana malam hari di Medan Merdeka Walk.

Bentor Medan.

Selain itu, saya juga menyempatkan naik bentor (becak  motor) selama di Medan. Jenis kendaraan ini merupakan gabungan antara becak dengan mesin motor sebagai tenaga penggerak. Becak motor dikenal sebagai alat transportasi asli Medan yang sampai sekarang masih digunakan.

Dalam catatan kali ini saya menceritakan kunjungan saya ke istana Maimun pada Jumat, 18 Maret 2018.

Betapa tidak, kemasyhuran istana peninggalan kerajaan melayu Deli itu merupakan destinasi wisata yang mesti saya kunjungi selama di Medan. Apa pasal? Ia tidak hanya ikon Kota Medan, Sumatra Utara, tetapi juga penanda keberadaan sejarah kerajaan Melayu di pulau Sumatra.

Istana Maimun (1890-1905)

Kesultanan Deli adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan di wilayah bernama Tanah Deli (kini kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, Indonesia).

Lantaran tidak begitu jauh dari hotel JW Marriot, tempat kami menginap, hanya dalam waktu 12 menit saya dan beberapa kawan sampai di istana yang berdiri megah meskipun telah berusia ratusan tahun tersebut.

Rasa haru menyeruap di hati saya saat kali pertama menginjakkan kaki di Istana Maimun yang berada  di Jl. Brigjend Katamso No.66, A U R, Kec. Medan Maimun, Kota Medan.

Capt. Theodoor van Erp

Istana ini didesain oleh arsitek kelahiran Ambon, 26 Maret tahun 1874, yaitu Capt. Theodoor van Erp, seorang tentara Kerajaan Belanda atas perintah Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah, Sultan Deli ke-9 yang menjabat pada tahun 1873-1924 Masehi. Theodoor van Erp juga terlibat memimpin pemugaran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, tahun 1907-1911.

Pembangunan istana Maimun dimulai tanggal 26 Agustus 1888 dan selesai pada tanggal 18 Mei tahun 1891 dengan menelan biaya 1 juta Gulden (mata uang Belanda sebelum Euro). Periode pembangunan tersebut bersamaan Kesultanan Deli mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Sultan Makmun Al-Rasyid Perkasa Alamsyah (1873-1924), yang mengalami perkembangan pesat berkat usaha perkebunan, khususnya tembakau.

Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah (1873-1924)

Istana megah ini dibangun di atas tanah seluas 2.772 m2 , sedangkan bangunannya seluas 772 m2. Istana ini memiliki 30 ruangan, terdiri dari 2 lantai dan memiliki 3 bagian yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri dan bangunan sayap kanan. Bangunan istana ini menghadap ke Timur dan pada sisi depan terdapat bangunan Masjid Al-Mashun atau akrab disebut warga Masjid Raya Medan yang juga didirikan Sultan Makmun pada tahun 1906 dan selesai tahun 1909.

Sisi dalam istana Maimun didominasi warna kuning emas dan hijau yang mencerminkan kemewahan khas bangsawan Melayu. Gaya arsitektur bangunan memadukan budaya Melayu dengan budaya Islam, India, Spanyol, Italia dan Belanda. Keunikan arsitektur bangunan tersebut bisa dilihat di atap istana yang bentuknya menyerupai perahu terbalik dimana mencerminkan gaya arsitektur khas Melayu dan Timur Tengah.

Bagian dalam istana Maimun

Di samping itu, ornamen yang terdapat di pintu-pintu dan jendela-jendela istana menandai gaya arsitektur khas Spanyol dan Belanda. Begitu juga terdapat 28 anak tangga di depan istana yang terbuat dari marmer khas Italia. Saya dan kawan-kawan pun mengabadikan kunjungan kali ini dengan foto bersama.

Pemberian nama Maimun pada istana itu terdapat dua versi. Versi pertama menyebutkan Maimun merupakan istri dari Sultan Makmun. Singkatnya, istana yang megah ini dibuat sebagai penghargaan untuk istri sang sultan yang dicintainya. Kisah romantisme tersebut sampai kini masih dipercaya. Sementara itu versi kedua, Maimun diambil dari kata dalam bahasa Arab yaitu maimunah yang berarti berkah atau rahmat.

Saya (paling kanan) dan teman-teman di Istana Maimun

Sekalipun Istana Maimun berfungsi sebagai museum, namun pada bagian sayap kanan dari istana maimun masih ditempati anggota keturunan kesultanan Deli. Istana Maimun dibuka untuk untuk umum mulai senin sampai minggu, pukul 08.00 – 17.00 WIB. Harga tiket masuk istana Maimun sebesar Rp 5.000 per orang. 

Beberapa teman saya menyewa baju ala bangsawan tempo dulu yang disediakan oleh pihak Istana. Tarif sewa pakaian tersebut mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 30.000, tergantung pada jenis kostum. Menurut mereka memakai pakaian kebesaran Melayu Deli menambah nuansa sejarah tersendiri dan karena itu sayang dilewatkan.

Sebelum meninggalkan istana Maimun saya membeli buku bersampul warna kuning yang memuat silsilah kerajaan Melayu Deli dan seluk beluk istana Maimun serta buku berjudul Parijs van Soematra karya Alexander Avan (Rainmaker Publishing, 2010).

Bersambung jalan-jalan saya berikutnya yaitu ke Masjid Al-Mashun, Restoran Tip Top (dulunya bernama Jang Kie), Taman Baca Masyarakat (TBM) Tengku Luckman Sinar, dan kediaman Tjong A Fie yang legendaris.

0 Komentar