Tragedi Dinihari di Kediaman Jenderal Besar A.H. Nasution

Jenderal A.H. Nasution beserta istri dan dua anaknya

Oleh: Jumardi Putra*

Langit Jakarta berawan cerah. Jarum jam menunjukkan ke angka 09.45 WIB (30/1/22). Saya bergegas berangkat dari Jalan Hayam Wuruk menuju museum Sasmitaloka  Jenderal Besar A.H. Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40, Menteng Jakarta Pusat, menggunakan ojek online.

Setiba di lokasi saya langsung menuju pos jaga menyampaikan maksud dan tujuan. Suasana di sekitar museum tampak sepi. Saya berjumpa sersan mayor Royen Suryanto yang hari-hari bekerja sebagai pemandu wisata. Pak Royen berlaku ramah dan mempersilakan saya memasuki museum A.H. Nasution seluas 2.000 meter persegi tersebut.

Keinginan berkunjung ke museum Abdul Haris (AH) Nasution ini sejatinya sudah lama, tepatnya bertepatan kunjungan saya ke museum Penyusunan Naskah Proklamasi (baca di sini: (Saksi Bisu Perumusan Naskah Proklamasi) dan museum Sasmitaloka Jendral Ahmad Yani pada tanggal 19 Juli tahun 2019 (baca di sini: (Tragedi Pagi Buta 1 Oktober 1965)

Ruang Tamu Museum A.H. Nasution. Dok. JP

Galibnya kunjungan ke tempat-tempat bersejarah lainnya, kunjungan kali ini memiliki nilai penting buat saya, karena melihat langsung jejak peristiwa tragis pada dinihari hampir 57 tahun yang lalu. Sebuah tragedi dalam perjalanan republik Indonesia yang meninggalkan trauma mendalam sampai sekarang.

Museum ini dulunya adalah kediaman Jenderal Besar A.H. Nasution yang ditempati bersama dengan keluarganya sejak menjabat sebagai KASAD tahun 1949 hingga wafatnya pada tanggal 6 September 2000. Barulah pada 3 Desember 2008, tepat pada hari kelahiran sang Jenderal, rumah ini diresmikan sebagai Museum Samitalokasi A.H. Nasution oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

“Saat kasus pandemi Corona sedang tinggi-tingginya tahun 2020, Museum A.H. Nasution ditutup untuk umum. Barulah September tahun 2021 dibuka secara bertahap. Sejak Januari tahun 2022 museum kembali dibuka setiap hari dari pukul pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB,” ungkap pak Royen kepada saya.

Meja tulis Jenderal A.H. Nasution. Dok. JP

Seisi Museum

Usai bincang-bincang singkat dengan pak Royen, saya langsung menuju ruang tamu museum.  Sebelum menikmati berbagai koleksi bersejarah di dalamnya saya mengisi buku tamu terlebih dahulu. Saya pengunjung pertama hari itu, Jumat, 30 Januari tahun 2022. 

Selain patung sang jenderal dengan disertai di belakangnya gading gajah pemberian kenang-kenangan Garuda III, di ruangan yang sama saya masih melihat keaslian beberapa barang seperti meja dan kursi. Begitu juga lemari berisikan cinderamata dari kerabat maupun pejabat penting semasa A.H. Nasution aktif dinas militer sampai menjadi KASAD.

Pakaian seragam kebesaran Jenderal Nasution. Dok. JP

Masih di ruangan yang sama saya melihat miniatur Tank pemberian Jenderal Malinovsky dari Rusia tahun 1964,miniatur meriam dari Leningrad tahun 1963, miniatur meriam dari Odecca Rusia tahun 1963, dan beberapa foto kedinasan Jenderal A.H. Nasution, salah satunya foto Presiden Soekarno bersama A.H. Naustion dan istri.

Dari ruang tamu saya menuju ruang kerja A.H. Nasution. Menurut pak Royen, di ruang kerja inilah pria kelahiran 3 Desember tahun 1918 itu kerap mengisi waktu dengan membaca dan menulis. Tidak heran bila di ruangan ini terdapat meja tulis, mesin tik dan lemari kaca penuh buku-buku, utamanya buku karangan sang Jenderal.

Di dinding belakang meja kerja Jenderal A.H. Nasution terpajang surat keputusan penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (Doctor of Laws) dari Mindanao State University Filifina tahun 1971 kepada dirinya. Begitu juga surat keputusan penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa bidang hukum ketatanegaraan kepada dirinya dari Universitas Islam Sumatera Utara pada 6 Januari tahun 1962. Menyusul berikutnya penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa bidang Ilmu Politik dari Universitas Negeri Padjadjaran Bandung pada 2 April tahun 1962 dan selanjutnya ia menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Hukum Ketatanegaraan dari Universitas Andalas pada 16 Juli tahun 1962.

Rak buku koleksi karya Jenderal A.H. Nasution. Dok. JP

Ruangan ini sebenarnya meneguhkan bahwa pria kelahiran Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, itu adalah juga seorang pemikir dan penulis produktif, yang barangkali tidak banyak diketahui generasi setelahnya. 

Beberapa karya tulis A.H. Nasution yang saya lihat di museum ini, antara lain buku berjudul Sekitar Perang Kemerdekaan  terbit tahun 1994 sebanyak sebelas jilid. Penulisan buku ini dibantu Moela Marboen, pengajar Universitas Indonesia dan beberapa perwira dinas sejarah TNI, yang berisikan bahan-bahan yang dikumpulkan A.H. Nasution dari tahun 1953-1955. Bahkan setelah pensiun tahun 1975, A.H. Nasution menulis memoarnya yang berjudul Memenuhi Panggilan Tugas sebanyak  tujuh jilid, dan buku berjudul Pembangunan Moral Inti Pembangunan Nasional  terbit pada tahun 1995.

Penulis di ruang kerja Jenderal Nasution. Dok. JP

Masih ada beberapa buku karangannya semasa hidup sampai ia jatuh sakit dan diterbitkan setelah ia menghembuskan nafas terakhir kali pada tanggal 6 September tahun 2000, seperti Buku berjudul Mengawal Nurani Bangsa, terbitan Yayasan Kasih Adik bekerja sama dengan Disbintal AD tahun 2008. Selain buku-buku tersebut, tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilya, Jenderal A.H Nasution menulis sebuah buku berjudul Fundamentals of Guerrilla Warfare (Pokok-Pokok Perang Gerilya dan pertahanan Republik Indonesia di masa lalu dan akan datang)

Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri berperang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Awalnya buku itu dirilis pada tahun 1953, dan menuai sukses karena menjadi salah satu bacaan wajib para kader akademi militer di seluruh dunia termasuk Akademi Militer bergengsi Amerika Serikat, West Point. Tak syak, bila A.H. Nasution dijuluki sebagai cendekiawan Tentara Nasional Indonesia.

Buku karya Jenderal A.H. Nasution (Angkasa, 1980).

Usai dari ruang kerja A.H. Nasution, saya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang  khusus menerima tamu penting sang jenderal semasa menjabat sebagai KASAD. Ruangan ini sedari dulunya dicat warna kuning karena mendiang menyukai warna tersebut.

Dinihari 30 September 1965

Suasana mencekam tragedi pada dinihari 30 September tahun 1965 begitu terasa saat saya melanjutkan langkah kaki menuju kamar sang Jenderal. Betapa tidak, di lorong dari arah ruang tamu ke kamar terdapat diorama yang mengisahkan kronologi penyerangan pasukan Tjakrabirawa yang hampir merenggut nyawa Jenderal A.H. Nasution. Beruntung Jenderal Nasution berhasil kabur dengan melompati tembok.

Diorama tragedi dinihari 30 September 1965. Dok. JP

Pak Royen mengajak saya melihat langsung tembok yang dimaksud yaitu tembok pembatas antara rumah pak Nasution dengan rumah kedutaan Iraq yang mengakibatkan pergelangan kaki kanan sang jenderal retak.

Tidak hanya itu, detail lubang bekas tembakan di pintu (dilingkari warna kuning), tembok dan meja di kamar sang jenderal masih dipertahankan, ditandai jelas dengan lingkaran merah.

Selanjutnya saya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang makan. Di situ tampak patung pasukan Tjakrabirawa mengarahkan senjata ke arah Ibu Nasution yang sedang mengggendong Ade Irma yang sudah berlumuran darah. Gadis berusia lima tahun bernama Ade Irma Suryani Nasution merupakan putri bungsu Jenderal AH Nasution. Dikisahkan beberapa peluru dari senapan pasukan Tjakrabirawa menembus punggung Ade Irma yang tengah memegangi ayahnya.

Diaroma ruang tengah/makan. Dok. JP

Lukisan-lukisan Ade Irma menghiasi salah satu kamar di Museum AH Nasution. Di kamar Ade Irma tersebut saya melihat foto dirinya terbingkai rapi di atas potongan puisi bersama foto Lettu Pierre Tendean.

Begitu juga beberapa barang peninggalan Ade Irma semasa hidup tertata rapi di ruang tersebut. Salah satu lukisan yang terdapat di ruangan ini yaitu peristiwa pertempuran lima hari antara rakyat Indonesia melawan tentara Jepang di Semarang pada masa transisi kekuasaan kepada Belanda yang terjadi pada tanggal 15 sampai 19 Oktober 1945.

Foto Ade Irma dan Lettu Pierre Tendean. Dok. JP

Selain Ade Irma, dalam tragedi 30 September tahun 1965 itu juga gugur Lettu CZI Pierre Tendean, ajudan A.H. Nasution. Dikisahkan malam itu terjadi peristiwa penyerangan kediaman Sang Jenderal oleh pasukan Tjakrabirawa. Mendengar suara gaduh, Pierre Tendean yang tengah beristirahat di ruang tamu pun bangun dan mendatangi sumber suara. Begitu sampai, ia langsung disambut senapan. Masih menurut penuturan Pak Royen, Pasukan Tjakrabirawa mengira Pierre Tendean adalah Jenderal AH Nasution dan langsung menculik sekaligus membawanya ke Lubang Buaya.

Diorama tentang penculikan Pierre Tendean itu terdapat di ruang depan di sebelah gedung utama museum. Pierre Tendean ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965. Pangkatnya pun naik menjadi kapten sebagai bentuk penghormatan kepada Pierre Tendean.

Selain ruangan dengan dilengkapi diorama tersebut di atas, museum A.H. Nasution juga memiliki ruangan berisikan pakaian sehari-hari dan seragam kebesaran, senjata, foto pribadi, keluarga dan dinas militer sang jenderal, berbagai tongkat komando milik sang jenderal, hingga perabotan yang masih dipertahankan keaslianya.

Putri bung Jenderal Nasution: Ade Irma. Dok. JP

Di setiap ruangan di dalam museum ini dilengkapi keterangan masing-masing dan jumlah koleksi seperti di ruang tidur, ruang senjata, ruang Ade Irma, ruang tengah/makan dan ruang dapur. Cara demikian selain memudahkan juga membantu pengunjung untuk melakukan penelusuran lebih lanjut setiap objek di dalamnya.

Sebut saja di dalam museum ini juga terdapat Ruang Relik berisi pakaian yang dikenakan para korban saat diculik, serta hasil visum dari dokter. Ada juga alat bantu pernafasan yang dikenakan tim evaluasi jenazah dari dalam sumur, serta dipan dan alat tongkat yang pernah digunakan untuk merawat Jenderal A.H. Nasution di MAKOSTRAD tahun 1965.

Diorama penculikan Lettu CZI Pierre Tendean. Dok. JP

Belum lama saya menyusuri beberapa ruangan di museum A.H. Nasution, tiba sekelompok pelajar dari SMK Jayawisata di Jakarta bersama guru-gurunya. Sebagaimana saya, mereka juga berkunjung ke museum ini karena ingin mengetahui koleksi-koleksi bersejarah sang jendral sekaligus sejarah yang melingkupinya saat tragedi berdarah pada 30 September hingga 1 Oktober tahun 1965. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari Jakarta Walking Tour 2022: History and Heritage.

Usai menyusuri ruangan-ruangan di dalam gedung utama, saya melanjutkan langkah kaki ke bagian belakang museum Sasmitaloka Abdul Haris Nasution. Di situ terpajang sebuah mobil Volvo hitam bernomor 02-00 warna merah dilengkapi bintang lima.

Koleksi senjata Jenderal Nasution. Dok. JP

Menurut pak Royen Suryanto, mobil Volvo itu masih berfungsi dan bisa dikendarai. Mobil ini diberikan oleh Presiden BJ Habibie untuk mengantarkan Abdul Haris Nasution menghadiri acara pelantikannya menjadi Jenderal Besar. Sebelum memiliki mobil Volvo tersebut, Jenderal Nasution tidak mempunyai mobil.

“Gelar kehormatan sebagai Jenderal Besar dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997 bertepatan dengan ulang tahun ABRI. Indonesia memiliki tiga perwira tinggi berpangkat Jenderal Besar. Mereka adalah Jenderal Besar Soedirman, Jenderal Besar Soeharto dan Jenderal Besar Abdul Haris Nasution,” lanjutnya.

Tidak jauh dari mobil Volvo itu, terdapat sebuah ruangan khusus yang menyimpan diorama kisah perjuangan sekaligus keterlibatan Jenderal Nasution dalam merebut kemerdekaan Indonesia, khususnya selama berkarir di TNI, dan bahkan menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah militer tanah air, khususnya TNI Angkatan Darat (AD) Republik Indonesia.

Kendaraan milik jenderal A.H. Nasution. Dok. JP

Tidak terasa hampir dua jam saya menyusuri seisi ruangan yang terdapat di Museum Sasmitaloka Jenderal Besar A.H. Nasution. Perjalanan yang berharga. Saya memilih pamit dan mengucapkan terima kasih atas keramahan maupun penjelasan pak Royen.

Perlahan-lahan museum A.H. Nasution menjauh dari penglihatan saya. Menggunakan ojek online saya pun melanjutkan perjalanan menuju Mesjid Istiqlal untuk menunaikan shalat Jumat.

*Kota Jambi, 10 Maret 2022.

0 Komentar