Sihir Rocky Gerung dan Paradoks Masyarakat Digital


Oleh: Jumardi Putra*

Nama Rocky Gerung justru lebih populer ketimbang pemikirannya sendiri, sebuah paradoks yang menjangkiti mayarakat digital dewasa ini. Komentar-komentarnya menyoal dinamika politik tanah air tidak saja muncul di layar tivi, kanal youtube dan media jejaring sosial seperti facebook dan twitter, tetapi juga membanjiri bilik perpesanan pribadi seperti WhatsApp. Begitu juga quotes-nya ramai dibagikan nitizen di jagad tiktok. Rasanya Rocky Gerung boleh dikata salah satu ahli filsafat mutakhir yang paling familiar di kancah perpolitikan tanah air saat ini.   

Belum lagi, kemampuanya beretorika dengan pijakan disiplin ilmu filsafat yang ia kuasai acapkali menjadikannya unggul dalam setiap debat bersama politisi dan narasumber lainnya. Bahkan, tak jarang letupan-letupan pendapatnya menghegomi jalannya sebuah dialog.

Rocky Gerung sebagai pribadi, dan bahkan berkat kepercayaan dirinya yang tinggi karena hampir mempercakapkan semua isu, mulai dari politik, hukum, ekonomi, dan sosial, ia seolah menjelma sebagai institusi itu sendiri. Nun, jika dirinya dicibir lantaran mempercakapkan pelbagai isu, ia dengan begitu enteng menjawab bahwa filsafat adalah ibu dari segala ilmu. Dalam konteks itu saya masih bisa memahami sehingga masuk akal bila Rocky Gerung hanya akan menempatkan semua isu ke dalam satu belanga gagasan yakni epistimologi, sebuah cabang dalam ilmu filsafat yang tidak banyak lagi digeluti. Itu juga kenapa ia tampil berani mempertanyakan ulang (kalau bukan meragukan) bangunan argumentasi yang kadung diterima publik sebagai kawajaran selama ini, apalagi bila argumentasi itu datang dari poros kekuasaan. Karena bagi Rocky penguasa adalah pemilik konsep utama (baik standar kebenaran maupun pembangunan) yang membutuhkan kontra konsep. Di ranah itu sejatinya, sesuatu yang kerap muncul darinya, sebut saja seperti kata dungu, akal sehat dan dialektika menemukan problematika dan relevansinya sekaligus.

Salah satu kritik pedas yang dilesatkan Rocky Gerung pada dunia pendidikan dewasa ini yaitu ijazah hanyalah penanda seseorang pernah sekolah/kuliah, tapi bukan menunjukkan seseorang pernah berpikir. Pukulan telak itu tentu saja relevan mencermati perguruan tinggi saat ini yang dinilai gagal menjalankan fungsi dan keberadaannya sebagai pusat akal pikiran. Kerja-kerja akal pikiran itu diharapkan berkontribusi terhadap realitas sosial dan sekaligus kritis terhadap kekuatan dominan yang menyimpang. Sayangnya bagi Rocky, kampus saat ini lebih banyak terjebak dalam kerja-kerja administratif dan melahirkan banyak sarjana plus pelbagai gelar bergengsi tetapi gagap menghadapi realitas sosial yang kompleks. Belum lagi, maraknya jual beli gelar pendidikan di tubuh perguruan tinggi.

Sebenarnya, banyak intelektual di tanah air berlatar belakang ilmu filsafat. Bahkan, bila indikatornya adalah karya tulis dalam bentuk buku dan jurnal, bisa jadi Rocky Gerung kalah ketimbang akademisi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan kampus-kampus ternama di tanah air. Sependek yang saya tahu, Rocky Gerung belum pernah membuat satu buku utuh dalam bidang filsafat. Saya hanya membaca tulisan-tulisannya yang menjadi bagian dari buku, dan selebihnya artikel, makalah dan teks pidato. Sekalipun begitu, wacana-wacana yang dilempar Rocky ke ruang publik telah menjadikannya magnet tanggapan sehingga  menjadi buku, bagian dari buku, dan artikel di koran-koran maupun media online.

Bahwa medan pertarungan pemilihan presiden Indonesia sejak 2014 sampai sekarang sejatinya ikut berkontribusi menjadikan Rocky Gerung dikenal luas adalah juga fakta yang tidak terbantahkan dan sekaligus membuat posisinya justru menjadi menarik sekaligus problematik, tetapi bukan di lapak ini saya mengetengahkannya sebagai sebuah tawaran topik diskusi.

Sesungguhnya fenomena Rocky Gerung ini menandai gejala apa? Saya memaknai wacana atau pun pandangan yang ia lontarkan dalam banyak kesempatan terasa unggul karena umumnya generasi sekarang telah jauh meninggalkan tradisi pengetahuan. Apatah lagi narasi-narasi politik dewasa ini terasa dangkal, serba artifisial dan menjemukan.

Sebut saja pembicaraan seputar kepemimpinan nasional, neoliberalisme, kesejahteraan, demokrasi, politik elektoral, oligarki elit politik, supremasi hukum, ideologi trannasional dan ancaman disintegrasi, korupsi, pengelolaan sumber daya alam, penanaman modal asing, dan isu-isu krusial lainnya, dewasa ini justru muncul sebagai sesuatu yang soalah-olah sudah menemukan jawaban final sehingga dicekoki melalui pelbagai medium (sejauh kepentingan yang melegitimasi dan sekaligus menjaga status quo), ketimbang kesemua pokok-pokok bahasan itu hadir dalam bentuk diskursus yang memadai dan mencerdaskan.

Saya lebih condong menyebut pembicaraan yang demikian itu kini tidak lagi hadir dalam sebuah komunitas epistemik, tetapi isu-isu yang demikian kompleks itu, terutama dalam masyarakat digital, disimplifikasikan melalui teks-teks pendek, didukung audio visual sehingga diminati publik. Begitu juga, lalu lalang gagasan artifisial itu terus diproduksi secara masif melalui media jejaring sosial dan linimaya lainnya dan bahkan melalui aplikasi semacam WhatsApp. Fatalnya, yang direproduksi melalui kanal digital itu dijadikan sebagai satu-satunya sumber rujukan. Sejurus hal itu, insan akademisi yang sejatinya diharapkan bertungkus lumus di ranah epistemik justru kini beramai-ramai berimigrasi ke dalam budaya massa serba artifisial, karena ingin populer dan demi mengakses kepentingan-kepentingan pragmatis di luar tugas kecedekiaan. 

Belum lagi, preferensi politik warga saat ini membuat dirinya tidak lagi mau membaca dan menganalisa pelbagai informasi secara kritis, tetapi justru sebaliknya, ia hanya akan membaca dan membagikannya bila mana informasi tersebut mendukung keyakinan dan pandangannya sendiri. Beberapa tahun belakangan ini populer istilah yang menyebutkan matinya kepakaran. Makin problematik.

Dalam konteks demikian itu, kehadiran Rocky Gerung sebagai bagian dari autentisitas intelektual publik yang menghadirkan kritik melalui kerja-kerja pencerdasan memunculkan paradoks. Rocky Gerung sejatinya telah direduksi ke dalam bilik-bilik serba artifisial dan terjerembab di wilayah permukaan, tetapi tetap memesona. Atau mungkin, yang paling absurd, Rocky Gerung adalah berhala wacana yang seolah dianggap sebagai jawaban itu sendiri, sehingga tidak perlu lagi dikritik. Kenapa? Dalam ranah industri media, ia sedang memperdagangkan dan mempertentangkan kebenaran sehingga menyihir banyak pasang mata. Akibatnya, Rokcy Gerung laiaknya artis yang kerap ditakjubi dan digandrungi.

Dengan kata lain, kehadiran Rocky Gerung akan memberi arti bilamana dibarengi dengan tumbuhnya komunitas-komunitas epistemik, sebuah ruang dilektika yang mengetengahkan anti tesa. Tesa (argumen) dipertemukan dengan argumen lain yang  oposit (antitesa) akan melahirkan sintesa. Hanya dengan cara itu, seperti yang selalu disampaikan Rocky Gerung dalam banyak kesempatan usaha merawat akal sehat (real reasoned thinking) akan menemukan urgensi dan relevansinya.

*Kota Jambi, 28 Mei 2023. Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com. 

*Berikut link tulisan saya lainnya tentang Rocky Gerung: 
https://www.jumardiputra.com/2024/02/obat-dungu-resep-akal-sehat-rocky.html

0 Komentar