Saya, Indonesia dan Duka Palestina

ilustrasi akibat perang Israel-Palestina

Oleh: Jumardi Putra*

Di sini, full 24 Jam, orang-orang begitu getol membicarakan Copras-Capres, sementara di belahan bumi nun jauh di sana, di Palestina, ribuan warga terluka dan terbunuh akibat konflik militer Israel dengan Hamas. Konflik yang berulang-ulang itu bagi kita yang bukan warga Palestina maupun Israel sulit mengenali penyebab utama sampai ke akar-akarnya.

Narasi yang terserak baik di media berita mainstream (cetak dan online) maupun media sosial (macam facebook dan tiktok) dan aplikasi perpesanan Whatsapp makin menambah kerumitan dan membuat publik makin jauh dari akar permasalahan yang melatari konflik dua negara tersebut. Di era tumpahruah informasi sekarang ini, menyeleksi informasi sama sulitnya dengan menjaga kewarasan diri agar tetap kritis dan rasional.  

Saya mengakui keterbatasan pengetahuan saya perihal gejolak berkepanjangan yang menghantui dua wilayah yang terus berseteru itu. Sesama muslim, keprihatinan saya tentu masuk akal. Saat yang sama, sebagai warga negara Indonesia yang menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara, saya pun tidak menutup mata bahwa warga sipil baik di Palestina maupun Israel memiliki hak yang sama untuk hidup aman dan damai. 

Itu kenapa cara pandang saya melihat konflik perang ini sebagai tragedi kemanusiaan. Bukan ansikh perang atau konflik agama. Baik di Palestina maupun Israel, yang menjadi korban adalah pemeluk dari banyak agama. Paradoks memang, ribuan korban berjatuhan saat dimana negara-negara maju di muka bumi ini kerap mengkampanyekan hidup damai bersamaan dengan kemajuan dan kemitraan setara. Namun faktanya, perang antara Israel dengan Palestina (dalam hal ini Hamas) sekarang ini tidak lain adalah potret buram bagi peradaban yang berbusa-busa mendeklarasikan sebagai zaman yang beradab, maju, dan berpengetahuan tinggi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional yang memiliki tujuan menjaga perdamaian dan keamanan dunia, memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan antarbangsa melalui penghormatan hak asasi manusia, membina kerja sama internasional dalam pembangunan bidang ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan, menjadi pusat penyelarasan segala tindakan bersama terhadap negara yang membahayakan perdamaian dunia, justru hingga kini tidak bertaji, dan karenanya kerap dipertanyakan (kalau bukan dicemoohkan).

Gencatan senjata antara militer Israel dengan Hamas harus disegerakan. Warga sipil yang tidak berdosa jangan lagi terenggut nyawanya oleh hantaman bom atau rudal yang datang entah darimana dengan kecepatan tidak terkira. Miris hati saya melihat tangisan orang-orang tua, ayah dan ibu mengetahui anak-anaknya menjadi korban. Jika pun mereka hidup, tapi dalam kondisi badan yang tidak lagi sempurna. Begitu juga fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit serta tempat warga sipil beraktivitas hancur terkena serangan bom. Ketakutan dan trauma jelas akan menghantui jalan hidup generasi mereka di dua negara itu. Begitu juga sikap dendam akan terus berkecamuk dan berkonsekuensi membuat sulit terjadinya perdamaian yang abadi di masa depan.

Bukan hendak menyederhanakan masalah yang kompleks, situasi rumit yang melanda negeri penuh konflik di bumi ini akan selalu berada dalam bayangan dendam kesumat dengan beragam alasan yang mudah disulut kelak. Bak api dalam sekam, ia begitu mudah terbakar. Di situlah, terbesit di hati saya menaruh rasa syukur sebesar-besarnya kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebuah negara kepulauan nan majemuk ini, juga genah saya lahir dan tumbuh besar sampai sekarang berjalan dalam keadaan damai. Sekalipun meletus konflik horizontal (dan ancaman terorisme) di beberapa daerah di tanah air, sejauh ini dapat diredam sehingga tidak mengarah pada segregasi sosial dengan skala besar. Namun demikian, pemerintah pusat maupun daerah harus benar-benar cermat, terutama di tengah kondisi global yang tidak pasti sekarang dan ke depannya, potensi konflik bisa datang dengan mudah dengan pelbagai modus dan kepentingan di baliknya. Di atas itu semua, saya berkeyakinan penuh, negeri yang aman adalah negeri dimana praktik hukum, politik, dan ekonomi dijalankan untuk mewujudkan keadilan sosial. Bukan membiarkan ketimpangan antar sesama. Begitu juga politik luar negeri Indonesia yang diterapkan adalah politik yang menjunjung tinggi perdamaian dunia dan sekaligus memastikan kepentingan nasional.

Perang militer Israel-Hamas sekarang ini jelas berbeda dengan Perang Dunia I (dimulai pada 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918) dan Perang Dunia II (mulai tahun 1939 sampai 1945). Kedua perang tersebut melibatkan banyak sekali negara di dunia —termasuk semua kekuatan besar—yang pada akhirnya membentuk dua aliansi militer yang saling bertentangan: Sekutu dan Poros. Dan kedua perang itu telah memakan korban yang tidak terhitung jumlahnya.

Namun demikian, sekalipun mewakili zaman yang terpaut jauh maupun dinamika yang melatarinya tidaklah bersifat tunggal, situasi perang di pusaran global akan selalu berkait erat dengan hubungan antar negara yang memiliki beragam kepentingan di baliknya. Dan, perang Rusia dengan Ukraina termasuk contoh perang yang melibatkan sejatinya banyak negara, terutama kepentingan negara di benua Eropa, dan itu bisa berpotensi mengarah pada perang global. Oleh karena itu, solusi jitu yang diharapkan bisa menyelesaikan konflik antara Israel dan Palestina menjadi penting ditemukan.

Saya mendukung sepenuhnya posisi Pemerintah Indonesia yang memilih secara sadar dan berani dengan tetap berpijak pada historisitas yaitu mendukung kemerdekaan penuh bagi negara Palestina. Diplomasi pemerintah Indonesia harus berjalan efektif sehingga mampu menggerakkan banyak negara lainnya untuk bersama-sama mendukung penuh kemerdekaan bagi Palestina. Saya merindukan sosok-sosok diplomat Indonesia yang benar-benar tangguh, piawai dan mampu menjadi “penyambung lidah” warga negara Indonesia untuk mengantarkan warga Palestina ke pintu kemerdekaan yang diidam-idamkan oleh mereka, seperti dulu para founding fathers-mothers kita berjuang dengan sepenuh jiwa-raga untuk lepas dari cengkraman penjajah Jepang dan Belanda.  

Saya pun turut bahagia melihat pelbagai cara dilakukan oleh elemen warga negara Indonesia yang mendukung Palestina, tentu dengan kecakapan mempertimbangkan kepentingan negara, situasi politik global dan keamaan di dalam negeri. Saya tidak ingin konflik di luar negeri diniatkan untuk menciptakan ketidakamanan di dalam negeri sendiri dengan dalih apapun. Apatah lagi atas nama kepentingan politik sesaat.

Situasi damai adalah kebutuhan. Karena itu ia mesti diciptakan. Mendesak terciptanya perdamaian di negeri Palestina dan Israel adalah kesemestian, sama halnya keharusan bagi kita sesama tumpah darah Indonesia untuk menciptakan keadaan aman, damai dan sejahtera di dalam negeri.

Menutup catatan ini, di tengah dunia yang serba terhubung dan potensi konflik yang terus mengancam hingga ke depan, kita perlu merenungi pandangan Profesor Karen Amstrong (dalam Compassion, Mizan, 2012) berikut ini, “Dalam masyarakat global, konflik jarang merupakan kesalahan satu pihak saja. Semua peserta dalam suatu konflik telah menaburkan karma buruk pada masa lalu dan kita semua kini menuai hasilnya”.

*Kota Jambi, 4 November 2023. Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com

0 Komentar