Di Tepi Kali Nologaten, Sendang Tirto, Yogyakarta

Diskusi komunitas Swarnabhumi

Oleh: Jumardi Putra*

Di tepi kali Nologaten, Sendang Tirto, Sleman-Yogyakarta. Tepatnya di warung kopi Ngebanresto, enam lelaki plus seorang wanita mengelilingi lampu teplok dan duduk bersila di atas tikar yang tampak kumuh dan lusuh. Tawa dan canda sesekali menghiasi forum kecil malam itu, 27 Februari 2009. Gemericik air di tepi kali sebelah joglo tempat kami bercakap-cakap menabalkan romansa kehidupan malam.

Obrolan santai tapi serius ketika itu melahirkan gagasan perlunya forum diskusi lintas disiplin ilmu. Terbuka bagi siapa pun, terutama mahasiswa Jambi di Yogyakarta. Salah satu di antara kami menyebut forum itu adalah blok sosial baru sebagai wujud resistensi atas fenomena kaum muda Jambi kini yang enggan memosisikan diri sebagai kaum progresif, untuk menyebut para pemuda terpelajar, terorgansir dan bersetia berdiri tegak bagi kebangunan masyarakat sipil, terutama masyarakat rumput (grasroot).

Wadah atau forum itu disepakati bernama Swarnabhumi. Sebuah nama yang mungkin masih asing bagi publik Yogyakarta. Hal itu disengaja sedari awal karena generasi kami memiliki tanggung terjawab terhadap masa depan dengan tetap melihat secara kritis masa yang telah lewat. Dulu, kini dan masa depan akan selalu bertautan dan karena itu tidak bisa dipisahkan.

Swarnabhumi adalah nama yang pernah ada dalam catatan sejarah Kerajaan Melayu Jambi, tepatnya pada masa Kerajaan Adityawarman (pertengahan abad ke-14 M), sebuah kerajaan pasca tumbangnya Dharmasraya (1270-1297).

Secara etimologi, dua suku kata tersebut memiliki arti Tanah Emas. Maksudnya, Jambi sebagai bagian dari Bumi Pulau Sumatra, memiliki kekayaan bumi berlimpah. Titipan dari Tuhan Yang Maha Esa yang patut disyukuri oleh umat manusia, generasi kami dan terus sampai ke generasi jauh setelah kami kelak. Kiranya tidak berlebihan Koes Plus mengistilahkan bumi Indonesia adalah kolam susu. Bahkan, dilempar tongkat kayu pun bisa jadi tanaman.

Logo Swarnabhumi

Tinggalan arkeologis yang ditemukan di daerah Jambi menunjukkan wilayah ini telah berlangsung aktifitas ekonomi yang berpusat di sepanjang aliran Sungai Batanghari. Begitu juga temuan benda-benda keramik di sana juga membuktikan di daerah ini penduduknya hidup dengan tingkat budaya yang tinggi, tidak terkecuali temuan arca-arca Budha dan struktur Candi yang menegaskan orang-orang Jambi adalah masyarakat religius.

Persoalannya adalah modal kekayaan tersebut tidak berbanding lurus dengan kualitas hidup masyarakat Jambi saat ini. Buktinya, setelah terbentuk sebagai Provinsi Jambi pada 1957 hingga kini Jambi masih bertengger di urutan bawah dibanding beberapa daerah tetangga di Pulau Sumatera. Hal itu mengindikasikan bahwa pengelolaan Sumber Daya Manusia belum dilakukan secara sungguh-sungguh, sedangkan saat bersamaan kekayaan SDA di Bumi Jambi terus dieksploitasi tiada henti.

Sejatinya, otonomi daerah telah memosisikan daerah masing-masing sebagai tuan rumah. Karena itu, persoalan fundamental seperti korupsi, birokrasi rente, kriminalitas, kenakalan remaja, politikus busuk, pembangunan infrastruktur yang timpang, kualitas pendidikan rendah, distribusi kekayaan alam yang tidak merata, dan problem akut lainnya) harus segera dicarikan solusi pengentasannya.

Atas dasar itulah komunitas Swarna Bhumi hadir. Bukan sebagai penyambung feodalisme, tetapi memosisikan sebagai salah satu entitas, bersama entitas progresif lainnya, untuk menciptakan dialog-dialog kritis untuk kemajuan daerah Jambi.  Setakat hal itu, bangunan komunikasi yang kokoh antar sesama pelajar Jambi Yogyakarta maupun di seluruh Indonesia akan mengantarkan pada situasi yang dinamis dan dialektis. 

Gagasan demikian jelas tidak mudah untuk direalisasikan. Akan tetapi optimisme adalah kenyataan yang harus dimaterialisasikan ke dalam program-progam aksi jangka pendek, menengah dan panjang sehingga Jambi yang maju adalah mungkin, bukan utopia. Relevan kita merefleksikan ungkapan sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer berikut ini, “Apakah Bangsa/daerahmu akan kau biarkan terbungkuk-bungkuk dalam ketidaktahuannya. Siapa yang bakal memulai kalau bukan kalian, pemuda”.

Kepada segenap civitas akademika asal Jambi, di mana pun kawan-kawan berada. Melalui forum ini kami mengajak bergabung guna berbagi ilmu dan pengalaman. Menyongsong setahun usia Swarnabhumi, pelbagai kalangan dari unsur dosen, mahasiswa, jurnalis dan aktivis LSM asal Jambi maupun dari luar Jambi telah sudi berbagi ilmu dan pengalaman. Panjang umur perjuangan!.

 *Yogyakarta, 29 November 2009. Tujuh orang dalam tulisan ini adalah Rudi Hartono, Jumardi Putra, Aris, Erni, Widodo, Azkan dan Iwan. #arsip

0 Komentar