Menjadi Diktator: Kisah-kisah Edan di Sekitarnya


ilustrasi. Pemimpin buruk. Foto: IST

Oleh: Jumardi Putra*

Ditemani lagu-lagu Bob Marley, selama penerbangan Jakarta-Jambi saya membaca buku karya Mikal Hem, jurnalis asal Oslo, ibu kota Norwegia. Judul bukunya agak lain yaitu Kiat Menjadi Diktator dengan huruf kapital berukuran tidak lazim disertai anak judul berbunyi Pelajaran dari Para Pemimpin Edan. Belum lagi keberadaan lukisan seorang penguasa bertubuh tambun terpampang di kaver depan buku tersebut sehingga membuatnya mencolok. 

Tetiba, perempuan di sebelah kiri saya bertanya dengan nada khawatir, “Suka baca ya Bang. Ngeri amat judul bukunya”. Sontak saya tersenyum kecil mendengarnya. Meski belum kenal, saya lantas menceritakan kepada penumpang berkacamata itu bahwa buku setebal 191 halaman ini mengisahkan para despot sekaligus tiran di beberapa negara di luar Indonesia. 

“Tenang aja mbak, meski didasari dengan penelitian yang mendalam lewat berbagai jurnal dan kajian politik, buku ini digarap dengan cara jenaka sehingga membuat sesiapa saja akan betah membacanya hingga halaman terakhir,” ungkap saya sekenanya. 

“O, gitu ya Bang,” balasnya sembari membuka lembar-lembar halaman majalah Garuda yang ia baca. “Apakah saya tampak sebagai diktator atau akan menjadi diktator seperti anjuran Mikal Hem,” ujar saya mencairkan suasana. “Saya nggak yakin Bang,” kilahnya tersenyum.

Dari balik kaca jendela pesawat, saya melihat gumpalan awan putih tebal berdekatan antara satu dengan yang lainnya sehingga membuat badan pesawat yang kami tumpangi bergetar beberapa kali saat menembusnya, sesuatu yang lazim bagi penumpang maskapai. Namun, itu tidak lantas membuat kami melepaskan buku bacaan di tangan kami masing-masing.

Karya Mikal Hem (Marjin Kiri, 2023)

Ceritanya, buku Mikal Hem ini saya beli dua hari lalu di kedai buku Patjarmerah di Gedung Pilateli Jakarta atau populer dengan sebutan kawasan Pos Bloc, Jakarta Pusat. Buku ini merupakan terjemahan Irwan Syahrir terhadap karya asli Mikal Hem berbahasa Norwegia. Sejauh ini, saya mengapresiasi buku-buku yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, sebuah penerbit kritis independen yang berhasil menghadirkan buku-buku bermutu di bidang sosial, ekonomi, politik, sastra, sejarah, dan filsafat. Nah, buku Mikal Hem ini salah satu contoh.

Galibnya membaca buku, saya selalu diperisai pulpen dan stabilo. Maka, dua perkakas itu sangat membantu saya menyelami isi buku dengan cara menandai bagian-bagian penting atau kata-kata kunci (key-world) dari karya Mikal Hem. Melalui buku Mikal Hem ini publik kembali diingatkan bahwa dalam sejarah negara-negara di dunia ini, ternyata tidak semua pemimpin negaranya mendapatkan sambutan hangat dari rakyatnya sendiri, juga dari kalangan internasional. 

Bahkan, tidak sedikit pemimpin negaranya berujung menjadi tiran dengan segala kebijakan aneh dan membahayakan rakyatnya, seperti nama-nama yang dikisahkan oleh Mikal Hem dalam bukunya ini, sebut saja Ilham Aliyev (Presiden Azerbaijan), Rafael Trujillo (Presiden Republik Dominika), Francois Duvalier (Presiden Republik Haiti), Ali Soilih (Presiden Komoro), Felix Houphouet-Boigny (Presiden Pantai Gading), Than Swe (Penguasa Myanmar), Nursultan Nazarbayev (Prsiden Kazakhstan), Kim il Sung (Pemimpin komunis Korea Utara), Saddam Husein (Presiden Irak), Charles Taylor (Presiden Liberia), Alexander Lukashenko (Presiden Belarus), Mao Zedong (Pemimpin komunis China), Mugabe (Presiden Zimbabwe), atau Theodore Nguema Obiang Mbasogo (Presiden Guinea Khatulistiwa).

Nama-nama tersebut tentu asing bagi publik tanah air, tapi buku ini akan mengantar pembaca untuk mengetahui konstelasi politik global dengan cara yang mudah. Bahkan, beberapa di antara para diktator tersebut pernah mengaku sebagai tuhan dengan membuat aturan-aturan nyeleneh agar kekuasaannya terus langgeng, mulai dari sentralisasi kekuasaan hanya pada beberapa elite, pembatasan kebebasan pers, pelarangan musik, penentuan hari libur nasional atas dasar kepentingan keluarga dan ahli warisnya, membangun gedung-gedung menjulang seenaknya di tengah kehidupan rakyat yang miskin, hidup jumawa, akses seluas-luasnya kepada pasangan seks yang atraktif dan bergelimang kemewahan, alat kontrasepsi dilarang dan menetapkan pajak bagi perempuan yang tidak memiliki anak, dan masih banyak lagi kebijakan aneh lainnya.

Karya Mikal Hem (Pax Forlag, 2012)

Seperti judul bukunya, Mikal Hem dengan terang benderang menguraikan cara-cara para diktator mengabadikan kekuasaannya dengan memberi petunjuk bagaimana cara menjadi dan bertingkah laku sebagai diktator, berdasarkan contoh-contoh dari rezim-rezim terbaik di bidangnya. Sesiapa saja yang mau mengikuti petunjuk- petunjuk dalam buku ini, maka akan berada di jalan yang benar dalam rangka menjadi penguasa mutlak yang takkan terlupakan. Sampai di sini saya sempat benar-benar dibuat tertawa. Walakin, anjuran Mikal Hem itu dalam pemahaman saya boleh dikata semacam satire politik alias sindiran bagi praktek kekuasaan menyimpang tersebut.

Mikal Hem tidak hanya membentangkan cara merebut dan merawat kekuasaan, tapi juga disertai konsekuensi dari setiap cara yang dipilih untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, melalui proses kudeta, pemilu curang, membungkam kelompok oposisi, meminta dukungan Asing, memperkaya diri sendiri dan kroni, hingga membangun kultus individu untuk melanggengkan kekuasaan. Meski begitu, diakui Mikal Hem bahwa segala macam pilihan yang dilakukan untuk memuluskan kehendak berkuasa selama-lamanya tetap ada konsekuensinya, dan itu harus disadari oleh siapapun yang berniat ingin menjadi diktator di dunia ini.

Sekalipun dikemas dengan jenaka, tapi berbagai persoalan serius yang dituangkan Mikal Hem dalam bukunya ini juga tak lupa diselipkan, terutama lewat lelucon-lelucon gelap yang membuat pembaca menyunggingkan senyum atau bahkan sumpah serapah. Misalnya saat mantan Presiden Republik Demokratik Kongo, Mobutu Sese Seko yang lebih berhasrat menimbun pundi-pundi hartanya alih-alih membangun infrastruktur pelayanan publik bagi rakyat. Kisah itu diungkap Mobutu saat bertemu mantan Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana.

"Aku sudah berkuasa di Zaire selama 30 tahun, dan aku tidak pernah membangun jalan satupun," kata Mobutu. "Kau tahu kenapa aku melakukannya, karena nanti mereka bisa dengan lancar menangkapmu," tandas lelaki yang dijuluki The Rumble in the Jungle itu.

Selain lelucon gelap dan pelbagai fakta yang mencengangkan dari kekuasaan para diktator dalam buku ini, sebagai pembaca saya juga mendapat banyak informasi seputar tingkah-polah sekaligus kebiasaan para diktator, mulai dari kehidupan pribadi, menu makan, hingga mitos-mitos yang menyertai perjalanan kekuasaan mereka. Termasuk tentang bagaimana mereka melakukan propaganda, baik dengan menggunakan karya seni, membuat buku, atau hobi yang mereka tekuni, yang membuat siapapun akan geleng-geleng kepala. 

*Jambi, 22 Mei 2024. Tulisan ini terbit pertama kali di portal kajanglako.com

0 Komentar