Ine Cynthia, Riak Paripurna dan Hari Jadi Provinsi Jambi (Entah) Milik Siapa

Ine Cynthia
Oleh: Jumardi Putra*

Ine Cynthia, artis ibu kota sekaligus jebolan grup manis manja, tampil anggun membawakan lagu Batanghari jelang rapat Paripurna Istimewa Hari Jadi Provinsi Jambi ke-58 (6/01/2015). Tidak hanya puluhan juru warta, ratusan gawai berteknologi tinggi milik tamu undangan berlomba-lomba mengabadikan kecantikan paras dan kesyahduan suaranya. Singkat cerita, kehadirannya membius seisi ruangan paripurna. 

Menginjak lagu kedua, Ine, biasa ia dipanggil, mendapat interupsi dari dua anggota DPRD Provinsi Jambi dari fraksi yang sama yakni PDIP. Lebih kurang bunyi interupsi mereka berikut ini:

“Pak ketua, rapat paripurna hari ini bernilai istimewa dan sakral. Jadi, cukupkan hiburan artis dan bersegeralah beranjak ke rapat paripurna,” kata salah satu anggota.

Menanggapi interupsi itu, pimpinan sidang, Cornelis Buston, sang ketua DPRD, tanpa tedeng aling-aling mengatakan, “semua rangkaian kegiatan hari ini bersifat istimewa, jadi kita lanjutkan saja sesuai isi acara.”

Tidak puas mendengar jawaban sang ketua, salah satu anggota DPRD lainnya kembali menginterupsi, “menimbang rapat paripurna hari ini penting, maka sudah selaiaknya kita mendahulukan rapat. Hiburan kita langsungkan usai rapat paripurna.”

Usulan tersebut langsung diterima Ketua dan disepakati seluruh anggota DPRD Provinsi Jambi.

Interupsi tersebut membuat suasana yang semula riang-gembira, yang ditandai tepuk tangan dan kilatan kamera, mendadak berubah menjadi senyap. Panitia penyelenggara terlihat gagap menguasai suasana. Riuh-rendah komentar tetamu yang hadir memenuhi seantero ruangan. Sebagian menganggapi interupsi tersebut tidak penting, lalu menyorakinya. Separoh lainnya berpandangan perlu.

Bagaimana dengan Ine Cynthia? Di hadapan anggota DPRD Provinsi Jambi dan penuh sesak tamu lainnya (lain soal bila di hadapan penonton), ia tampak berusaha enjoi, meski rona wajahnya menampakkan raut sebaliknya. Tetapi yang pasti, kehadirannya di ruang paripurna DPRD Provinsi Jambi profesional sebagai penyanyi yang bertugas menghibur tamu undangan, sebagaimana isi kontrak dengan panitia yang memboyongnya dari Jakarta ke Jambi.

Galibnya, bisik teman di sebelah saya, tepat satu tahun sebelumnya, ketika artis Ike Nurjanah didapuk sebagai bintang tamu pada rapat Paripurna Istimewa Hari Jadi Provinsi Jambi ke-57, faktanya tak ada satu pun anggota DPRD yang melakukan interupsi. Mereka semua enjoi dan menikmati suguhan sang artis Ibu kota itu. Mungkin, mengawali periode pertama sebagai wakil rakyat, anggota DPRD terpilih sekarang ini ingin memperlihatkan kesungguhannya. "Tetapi apa hubungannya?" seloroh kawan di sebalah saya. "Jauh panggang dari api," tandasnya.

Panitia (tim Sekretariat DPRD) harus menyadari kelalaian mereka dalam mendesain isi acara untuk takaran rapat paripurna istimewa. Saya pun secara pribadi tidak menaruh kerisauan yang berarti. Mungkin begitu juga dengan tuan dan puan yang hadir saat itu.

*** 

Rapat paripurna terus berlanjut. Mulai dari pembacaan kalam ilahi, menyanyikan Indonesia Raya, pembukaan oleh Ketua sidang, lalu dilanjutkan pembacaan Naskah Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) tentang Kebulatan Tekad Rakyat Djambi Menghendaki Berdirinya Provinsi Jambi, disusul sambutan Gubernur Jambi dan Menteri Agama yang diwakili Dirjen Haji, serta doa sekaligus penutup. 

Tetamu terlihat khusyuk mengikuti keseluruhan rangkaian acara, meski rasa kantuk begitu kentara pada sebagian besar tamu yang hadir. Fenomena nguap mudah ditemui di segala sisi ruangan. Saya kira, teman-teman jurnalislah yang lebih pandai mengabadikan peristiwa demikian.

Nah, sampai di tahap ini, tak ada jalan terjal yang mengganggu. Justru yang menjadi buah pikiran saya adalah saat penyebutan penghargaan yang diterima HBA-Fachrori semasa kepemimpinannya periode 2010-2015, yaitu mulai dari tingkat lokal, regional maupun nasional. Mulai dari soal juara lomba masak-memasak Ema-emak PKK, pemberdayaan perempuan, mutumanikam, bantuan sosial, Samisake, Bedah rumah, Bebas Pasung, Buta aksara dan al-Quran, dan berbagai jenis penghargaan di bidang program pembangunan lainnya.

Sampai-sampai, pimpinan sidang kewalahan dan memutuskan tidak membaca keseluruhan penghargaan tersebut. Singkat kata, di bawah kepemimpinan HBA-Fachrori, pembangunanan Jambi berjalan pesat, sebagaimana headline di banyak koran lokal Jambi di hari itu. Apa betul demikian faktanya? Atau ini semacam advetorial yang dikemasberitakan. Entahlah. Yang jelas, Pilkada kian dekat sekaligus diprediksi berjalan alot.

Rapat Paripurn HUT Provinsi Jambi Ke-58

Menanggapi keadaan tersebut, tidak hanya saya saja, tak sedikit dari tetamu yang hadir, dengan suara pelan dan berantai mengatakan, “Sudahlah. Tidak perlu membacakan satu per satu penghargaan itu. Tidak begitu penting. Bukankah bingkisan yang didapatkan oleh masing-masing tamu di ruangan ini, dalam rupanya yang beragam, seperti kalender, buku (HBA New Hope I-II), majalah, koran lokal Jambi, mentabalkan keberhasilan pasangan HBA-Fachrori. Tidak cukupkah itu!”.

Khusus untuk dua buku HBA New Hope I-II, saya mengapresiasi karena di tengah kesibukannya, orang nomor satu di provinsi Jambi ini masih menyisakan waktu untuk menulis, tetapi saya sangat kecewa dengan editornya, lantaran tak bekerja dengan baik. Dari mulai halaman awal sampai akhir, begitu mudah kita menemukan kesalahan penulisan dan sangat miskin data. Padahal jenis kertas dan kavernya menunjukkan kegiatan ini menelan biaya yang tidak sedikit.

***

Kembali ke soal rapat paripurna hari jadi Provinsi Jambi ke-58. Menyeruak pertanyaan, apa makna Hari Jadi ke-58 provinsi Jambi di tengah semua ini? Bukankah rapat paripurna hari jadi Provinsi Jambi, yang hanya separoh hari itu ditanggung oleh APBD dan sudah barang tentu menghabiskan tidak sedikit biaya.

Pikiran yang selalu berorientasi kepada kegiatan seremonial menunjukkan telah terjadi disfungsi anggaran publik. Anggaran publik sesungguhnya harus dikembalikan untuk hajat hidup orang banyak dengan membuat program-program yang mampu meningkatkan kualitas hidup. Tetapi mungkin saja, program elitis dengan anggaran serupa kadung merasuk dalam sukma kita. Karena menjadi rahasia umum, begitu banyak kegiatan dalam skala besar (nasional-internasional) yang berlangsung di wilayah Provinsi Jambi beberapa tahun terakhir ini terlewatkan begitu saja, tanpa ada telaah yang memadai dan sepi dari tanggapan pemerhati dan akademisi.

Padahal, betapa sebagian besar kabupaten di provinsi Jambi hanya punya sedikit madrasah ibtidaiyah negeri (MIN), banyak jembatan putus, sekolah roboh, rakyat miskin banyak, harga BBM melonjak naik, kasus narkoba meningkat, kerusakan hutan meningkat, serta korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela. Lalu, bagaimana kehidupan rakyat Jambi, yang saat ini berada di pelosok dusun, warga di daerah perbatasan dan kaum miskin kota?

Saat bersamaan, di pusat kota, Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah, dalam beberapa tahun terakhir ini, begitu silau dengan mega proyek yang dilabeli Jambi EMAS (Ekonomi Maju, Aman dan Sejahtera), yang tentu saja menelan dana ratusan milyar, antara lain perbaikan trotoar kantor Gubernur Jambi, Tugu dan Perpustakaan Pers, Jembatan Pedestarian dan menara Gentala Arasy, serta Jambi Bisnis Center (JBC).

Bahkan, akselerasi pembangunan (fisik) di atas tersebut terus digenjot dengan alasan menopang pertumbuhan (pro-growth), perluasan lapangan kerja (pro-job) dan pengurangan kemiskinan (pro-poor), sekaligus mengejar impian sejajar dengan daerah-daerah maju lainnya. Hal demikian menjelaskan rakyat Jambi terus dihadapkan pada simpul-simpul rasionalitas pembangunan, yang sejatinya tanpa ada turut campur masyarakat di dalamnya, memuluskan program-program mercusuar pemerintah daerah dalam berbagai bentuk pembangunan infrastruktur fisik. Tak heran, bila kata “pertumbuhan”, “mengejar ketertinggalan” dan mewujudkan “impian bersama” mewabah dalam kebijakan pembangunan provinsi Jambi saat ini.

Akselerasi pembangunan dan kalkulasi ekonomi yang disampaikan oleh pemerintah, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, investasi, dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) mengalami perbaikan, justru faktanya pelaku usaha kecil dan warga miskin umumnya merasa tidak merasakan langsung dampaknya, sehingga kehidupan ekonomi di “akar rumput” berjalan tak menentu. Buahnya, kesenjangan kaya-miskin kian tajam dan konflik horizontal kerap terjadi.

Keadaan demikian mengingatkan saya pada pendapat Peter Lang, dalam bukunya berjudul Mortal City (1995) mengatakan “Kota-kota besar di dunia sekarang dapat diibaratkan sebagai ajang peperangan bisnis dan ekonomi. Yang diuntungkan dalam peperangan ini-ia menyebutnya sebagai everyday war-adalah para pengusaha kelas kakap. Merekalah yang berkesempatan memanipulasi dan mengeksploitasi berbagai paradok perkotaan demi keuntungan mereka sendiri.

Setelah Hari Jadi

Realitas satu hari setelah 6 Januari 2015 tetap sama—kita memiliki rezim ekonomi-politik yang sama, pasar yang sama, dan ketimpangan yang tak kunjung lerai. Ya, kemeriahan hari jadi provinsi Jambi ke-58 adalah suatu momen yang menjanjikan harapan, tapi kehidupan rakyat Jambi tidak berubah dalam waktu sekejap. Pertanyaannya, apa yang telah engkau lakukan hari-hari jelang momen ulang tahun ini wahai pemimpinku? Masyarakat patut menagih.

Sama-sama kita ketahui, begitu banyak ikon yang dihadirkan, tetapi itu belum juga menjawab kebutuhan asasi warga masyarakat di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Ironis? Memang. Karena itu, sesederhana apapun adanya, momen hari jadi provinsi Jambi ke-58 saat ini, mengajak saya, anda, dan kita semua menatap lekat-lekat wajah Jambi yang masih diliputi beragam persoalan mendasar: kemiskinan, pengangguran, kualitas pendidikan yang tak kunjung membaik, dan kohesi sosial yang mulai luntur buah dari kebijakan pembangunan yang timpang.

*Oretan ini ditulis pada tahun 2015 selepas rapat paripurna Hari Jadi Provinsi Jambi ke-58.

0 Komentar