Slamat Trisila; Oase dari Pulau Dewata

Slamat Trisila. Dok. Penulis.

Oleh: Jumardi Putra*

23 April diperingati sebagai hari buku sedunia (world book day). Hari besar bagi para pejuang literasi dan sesiapa saja yang mencintai dunia buku. Tetiba saya teringat seorang laki-laki bersahaja, intelektual yang memilih bertungkus lumus di dunia penerbitan buku. Namanya Slamat Trisila. 

Ayah dari Karang Jimbaran Setya Trisila ini bisa disejajarkan dengan intelektual sejarah seperti J.J. Rizal (Komunitas bambu), Bonie Triyana (Historia), dan Muhammad Nursam (Ombak). Ketiganya sama-sama banting setir ke dunia penerbitan buku. Hanya Bonny Triyana, setelah tak lagi menerbitkan Historia versi majalah (2017), kini ia serius menahkodai portal sejarah populer tanah air beralamatkan historia.id.

Perjumpaan saya dengan Slamat Trisila menambah daftar sahabat di Bali yang telah lebih dahulu saya kenal dan saya baca karya tulisnya, sebut saja seperti Warih Wisatsana, Wayan Jengki Sunarta, Ni Made Purnama Sari, Frischa Aswarini, dan Dhenok Kristianti. Bagaimana dengan Umbu Landung Paranggi? Saya pikir tidak ada sastrawan, lebih-lebih penyair di tanah air yang tidak mengenal sosok karismatik satu ini, tetapi sayang beberapa kali ingin menemui beliau, terutama saat saya berkunjung ke Bali, berujung gagal. Syukurlah, nama-nama tersebut tak asing bagi Trisila, meski diakui jarang berjumpa.

Kali pertama saya bersua Trisila dua tahun lalu di Kota Denpasar, Bali, tepatnya tanggal 11 Juli 2018. Meski pria lulusan Universitas Udayana ini lebih dahulu berkunjung ke Kota Jambi, bagian dari program pengumpulan kepustakaan lokal di beberapa daerah di tanah air yang ia lakukan bersama KITLV-Jakarta. Sayang, karena suatu hal, kami gagal jumpa saat itu.

Setiba di Bali, usai merampungkan tugas masing-masing, kami bersepakat bertemu. Saya pun diajak singgah di rumahnya yang sekaligus berfungsi sebagai kantor penerbitan. Jujur, penerbitan yang ia kelola belum banyak saya ketahui ketimbang Ombak, Komunitas Bambu, Yayasan Obor Indonesia, untuk menyebut beberapa contoh penerbit yang juga menitikberatkan pada konten sejarah dan budaya. Mungkin karena keberadaannya di Bali, sehingga tidak setenar penerbit-penerbit yang bermarkas di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta.

Sesampai di rumahnya, di jalan Tunggal Ametung III A, Denpasar, saya dibuat berdecak kagum. Baru melewati pagar utama rumahnya saya langsung berhadapan dengan tumpukan buku. Dari lantai hingga mencapai atap garasi. Pemandangan serupa saya temukan setelah memasuki ruang tengah rumah.  Penuh buku. Hanya tersisa dua kamar tidur dan dapur. Saya bisa membayangkan hari-harinya bergelut dengan buku. Memang, ketika saya berkunjung istri dan anaknya sedang berada di Yogyakarta. Di rumah inilah, dengan disaksikan buku-buku yang ia kelola dengan jerih payah, rekam jejak penerbit yang diberi nama Pustaka Larasan ini ia ceritakan kepada saya.

Sependek penelusuran saya, karena bermukim di Bali, kepustakaan sejarah dan budaya Bali terbitan Pustaka Larasan tergolong lebih beragam. Namun bukan berarti buku-buku yang mengangkat sejarah dan budaya dari daerah-daerah lain di tanah air tidak ada. Tersedia beberapa judul dan bahkan menunjukkan tren meningkat.

“Saya terus membangun komunikasi dengan kawan-kawan di berbagai daerah di Indonesia. Jika mutu tulisannya bagus akan kami terbitkan secara mandiri. Selain itu kami juga melakukan kerjasama penerbitan buku dengan kalangan perguruan tinggi maupun pusat studi. Alhamdulillah hingga sekarang terus berlanjut,” kilahnya.

Uniknya, di saat penerbit-penerbit lain dikelola dengan melibatkan banyak karyawan dan didukung seperangkat manajemen modern, apatahlagi memanfaatkan masifnya media online sekarang ini, Trisila masih mengelola penerbit Larasan dengan cara jadul. Selain editor, ia juga merangkap sebagai layouter, bahkan mengurusi langsung teknis percetakan. Ia menyadari kerja-kerja demikian sangat melelahkan,  dan menyebabkan tidak tercapainya jumlah terbitan buku yang ditargetkan saban bulan. Namun diakuinya bukan semata-mata target nomina yang dikejar. Sekali lagi, dengan yakin-seyakinnya, bahwa cara yang ia pilih, dengan berhasil menekan ongkos produksi dan biaya operasional, Trisila mampu menghadirkan buku-buku bermutu (termasuk karya terjemahan) dengan biaya terjangkau.

Saya berulang kali mengorek (kalau bukan meragukan) pilihannya mengelola penerbit dengan cara demikian itu, terutama di saat perubahan besar-besaran terjadi dalam industri buku karena keberadaan media online, menjamurnya penerbit-penerbit baru, sistem cetak menggunakan print on demand (POD), serta dinamika pasar buku yang labil. Tetap saja Trisila tak merubah pendirian. Sejauh ini dirinya berjalan sebagaimana sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangan.

“Tujuan saya ingin menghadirkan buku-buku bermutu dengan harga terjangkau, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Namun, bukan berarti saya menafikan dinamika industri buku sekarang ini. Saya akan terus memutar otak agar penerbit Larasan dapat bertahan dan terus berkembang tanpa menanggalkan idealisme,” tegasnya.

“Dengan cara apa,” sambung saya

“Selain di Denpasar, saya berencana membuka kantor cabang di Yogyakarta. Kita tahu Yogyakarta masih menjadi magnet bagi banyak pembaca. Di samping itu, selain terlibat aktif dalam kegiatan bazar buku, kami juga akan menggalakkan penjualan secara online karena memang pembaca sekarang praktis terhubung dengan media online, seperti facebook, twitter, instagram dan aplikasi perpesanan seperti whatsapp,” lanjutnya.

Kunjungan ke rumah Trisila ini segera saya kabarkan ke Mas Didi Kwartanada, peneliti Tionghoa, yang beberapa hari sebelumnya saya jumpai ketika kami seforum dalam diskusi Big Data Kebudayaan pada Pra Kongres Kebudayaan Indonesia di The Sultan Hotel, Jakarta (2018).

“Saya salut dengan mas Slamat. Harga buku-buku terbitan Pustaka Larasan sangat bersahabat. Beda dengan penerbit lain. Mas Slamat orangnya idealis. Masak hari gini masih bikin buku-buku bagus dengan harga terjangkau,“ balas Mas Didi dengan nada gurau via WhatsApp.

Segera ungkapan Mas Didi Kwartanada mengingatkan saya pada prinsip penerbit Inggris, walter Hines Page, “Bikin buku adalah kerja seni. Jual buku adalah profesi terhormat. Pilih buku yang baik untuk dicetak adalah tugas intelektual.”

Memang, sependek penelusuran saya, bila dibandingkan dengan harga buku-buku sejarah dan budaya terbitan lainnya, harga Pustaka Larasan tergolong murah. Padahal, buku-bukunya tergolong tebal serta didesain apik.

Kepada Trisila saya utarakan, ambil misal, tidak sedikit buku-buku terjemahan bermutu baik dijual dengan harga tinggi, padahal biaya produksi sebagian besar ditanggung oleh lembaga/pihak yang diajak kerjasama oleh penerbit buku tersebut. Sungguh keadaan ini tidak ramah bagi pembaca yang mengalami kesulitan ekonomi,” imbuh saya.

“Nah, idealnya buku-buku terbitan dengan pola kerjasama tersebut dapat dijual dengan harga murah, karena penerbit tidak menanggung biaya produksi. Itulah yang menjadi prinsip Pustaka Larasan sampai sekarang,” celetuknya.

Seturut hal itu, diakui Slamat, harga buku menjadi mahal juga disebabkan pelaku industri perbukuan diberatkan dengan berbagai pajak, mulai dari pajak kertas, pajak penjualan buku, dan pajak penghasilan. Padahal, lanjutnya, keuntungan penerbit tak lebih dari 20%, sedangkan royalti yang diterima penulis hanya 10%. Presentasi keuntungan lebih besar justru diterima oleh pihak distributor dan toko buku, sekitar35-50%.

“Jika pemerintah ingin daya beli sekaligus minat baca masyarakat terhadap buku meningkat, pajak berlapis terhadap industri buku mesti dihapus. Selain itu, pemerintah juga bisa mengalokasikan anggaran lebih besar untuk pengadaan buku. Buku-buku bermutu, ambil misal tentang sejarah dan budaya, dibeli oleh pemerintah untuk didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah, Desa dan Kabupaten/Kota,” tuturnya.

Saya dapat menyebutkan beberapa buku-buku bagus terbitan Larasan, antara lain, Peradaban Pesisir, Menuju Sejarah Budaya di Asia Tenggara karya Adrian Vickers (2013); Bali Benteng Terbuka 1995-2005, Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral dan Identitas Defensif karya Henck Schulte Nordholt (karya terjemahan. Kerjasama dengan KITLV-Jakarta); Melayu Klasik, Khazanah Sastra Indonesia Lama karya Shaleh Saidi; Memetakan Masa Lalu Aceh karya Michel Feener, dkk (karya terjemahan); Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia, 1950-1965 dengan editor Jennifer Lindsay dan Maya Liem (kerjsaama dengan KITLV-Jakarta); Aceh Setelah Tsunami dan Konflik dengan editor Patrick Daly, Antony Reid, dkk; Kekerasan Anti-Tinghoa di Indonesia: 1996-1999 karya Jemma Purdey (2013); Negara Teater di Bali Abad XIX karya Clifford Gertz (2013); Kritik Terhadap Pemikiran Pascakolonial karya Gayatri C. Spivak (2013); Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia karya Bambang Purwanto, dkk (kerjsama dengan Yayasan Obor dan KITLV-Jakarta); Cina Pesisir, Jaringan Bisnis Orang-orang Cina di Pesisir Pantai Utara Jawa Abad XVIII karya Retno Winarni; Pramoedya Postcolonially (Re)viewing History, Gender, & Indentity in the Buru Tetralogy karya Razif Bahari; dan The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940 karya Henk Schulte Nordholt. 

Demikian penggalan obrolan dan pertemuan antara saya dan Trisila. Tiga bulan usai perjumpaan di Bali, kami kembali bersua di acara Borobudur Writers and Cultural Festival di Yogyakarta dan berlanjut di Kawasan Situs Cagar Budaya Dunia, Borobudur, di Magelang, Jawa Tengah. Tak ada perubahan dari dirinya. Pembawaannya selalu tenang. Selain tentang buku, Trisila bercerita kegiatanya tetap menulis, riset, mengisi seminar atau konferensi, meski di saat bersamaan harus mengurusi penerbit Larasan miliknya.

Kini, dua tahun setelah perjumpaan kami, korona melanda banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Ancaman resesi di hadapan mata. Tak ada satu pun negara yang kebal dari pandemi ini. Ekonomi dunia mengalami perlambatan. Industri berhenti beroperasi. Jutaan pekerja dirumahkan. Banyak UMKM gulung tikar. Dan, faktanya, penerbit buku juga ikut merasakan imbas Covid-19. Pembelian menurun. Pendapatan nyungsep. Semoga Pustaka Larasan, juga penerbit-penerbit lainnya di tanah air, dapat bertahan dan bangkit (lagi).

*Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 23 April 2020 di rubrik Sosok portal kajanglako.com

0 Komentar