NU Jambi, Politik Kekuasaan dan Kemaslahatan Umat

NU

Oleh: Jumardi Putra*

31 Januari organisasi sosial keagamaan Nahdhatul Ulama (NU) genap berusia 95 tahun, terhitung sejak 1926 sampai 2021. Terbesit di pikiran saya bagaimana keberadaan NU di Provinsi Jambi sekarang. Masihkah sepenuhnya berakar kuat pada pesantren yang jumlahnya mencapai 229 di seantero Provinsi Jambi? Masihkah NU Jambi memegang teguh Khittah tahun 1926, tidak lagi terlibat dalam politik kekuasaan, melainkan fokus pada kemaslahatan akidah sekaligus memastikan kesejahteraan umat (mashlahah ammah)? Sebagaimana embrio NU sendiri adalah berdaya secara ekonomi melalui gerakan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Pedagang) yang berdiri pada tahun 1918, berlanjut munculnya Taswirul Afkar (1922), mengembangkan pendidikan dan pemikiran keislaman, dan Nahdlatul Wathan (1924) sebagai gerakan politik dan anti penjajah.

Pertanyaan di atas mungkin klise, tetapi menemukan konteksnya dikarenakan organisasi NU wilayah Jambi yang resmi berdiri sejak tahun 1939 masa K.H. Kemas Abdussomad kerap ditarik ke dalam urusan politik praktis seperti Pemilukada. Para kontestan berlomba-lomba meminta restu dan dukungan kepada Pengurus Wilayah NU (PWNU) maupun kepada Kiai-kiai Pesantren. Tak jarang Kiai-kiai pesantren secara terbuka ikut mendukung dan karenanya menjadi “jubir” para pasangan calon. Begitu juga partai politik berduyun-duyun mengharapkan dukungan yang sama dari NU. Polarisasi di kalangan kaum santri tidak terelakkan. Karena itu, meski preferensi dan orientasi politik warga NU sangat cair dan musykil diseragamkan, pasca K.H. Ma’ruf Amin--representasi NU, terpilih menjadi Wakil Presiden mendampingi Jokowi pada periode kedua kepemimpinannya sebagai orang nomor satu di republik ini, nuansa politis NU selain menonjol juga monolitik.

Politis di sini tidak semata merujuk keterlibatan NU pada suksesi kepemimpinan kepala daerah baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, tetapi juga merambah ke dalam perebutan jabatan strategis di pemerintahan baik pusat maupun daerah, lembaga negara dan lembaga pendidikan, sebut saja seperti Kanwil Kementerian Agama Provinsi dan Kabupaten/Kota, rektor di perguruan tinggi, dan organisasi profesi keilmuan. Pendeknya, aspek politik masih dominan untuk menjelaskan keberadaan NU di wilayah provinsi Jambi dewasa ini ketimbang peran maksimum di bidang kebudayaan (melalui Lesbumi), pendidikan dan keagamaan (Pesantren dan perguruan tinggi), serta pengarusutamaan ekonomi umat, terutama kelas pekerja di perkotaan dan petani di pedesaan.

Gelombang penyeberangan ke arah politik kekuasaan tidak hanya terjadi pada NU, tetapi juga pada organisasi lain di Indonesia. Sejak jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, sebagai komponen gerakan sosial di Indonesia-termasuk NU, cenderung meninggalkan basis akar rumput dan masuk ke ruang-ruang politik kekuasaan. Selebihnya, NU hingga sekarang dikenal publik sebatas melalui agenda sosial keagamaan bersifat rutin maupun eksidentil yang dilaksanakan oleh badan otonom di lingkungan NU, untuk menyebut contoh seperti Gerakan Pemuda (GP) ANSOR, IPNU, IPPNU, PMII, ISNU, LazisNU, Muslimat, dan Fatayat NU.

September 2018, di bandara udara internasional Ahmad Yani, Kota Semarang, saya berjumpa dengan K.H. Yahya Cholil Staqup, yang saat itu menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden Jokowi periode pertama (sekarang beliau menjabat Katim ‘Aam PBNU). Pertemuan tidak sengaja itu kesempatan bagi saya bertanya, “Kenapa anak-anak muda yang berafiliasi dengan organisasi NU, seperti organ ekstra Kampus PMII, IPNU, IPPNU, juga ISNU dan GP Ansor, memiliki kencenderungan menjadikan NU sebagai batu loncatan untuk meraih jabatan baik di pemerintahan dan lembaga negara, bahkan tidak sedikit memilih terjun ke politik praktis seperti bergabung di PKB dan partai lainnya,” tanya saya.

Jawabnya, “NU sebagai organisasi tetap berkomitmen pada Khittah tahun 1926, tetapi NU tidak memiliki hak melarang kadernya yang ingin terjun ke jalur politik praktis maupun menjabat di pemerintahan sebagai salah satu kanalisasi perjuangan idealisme NU. Mari kita saling mengingatkan anak-anak muda NU untuk memperjuangkan idealisme NU bukan dengan cara instan, apalagi menghalalkan segala cara. Yang tidak kalah penting sekarang ini, selain memperkuat peran NU terhadap pembangunan ekonomi dan kemandirian umat, juga membangkitkan kembali tradisi pemikiran di kalangan muda NU dan pesantren”.

Hal serupa diamini oleh KH. H.M. Aminullah Amit, ketua PWNU Provinsi Jambi periode 2015-2020. Saat penulis berkunjung ke kediamannya sekira dua tahun yang lalu, beliau tidak menampik pandangan publik adanya gelombang penyeberangan aktivis yang berafiliasi dengan organisasi NU ke ranah politik kekuasaan. Namun demikian, ia selalu mengingatkan kepada siapapun, terutama warga NU bahwa politik menjadi jalan ibadah bila dilakukan dengan tujuan baik. “Perisai diri anda dengan integritas serta kemampuan berpikir dan bertindak visioner untuk menuntaskan problem struktural, seperti kemiskinan dan kesenjangan antara kaya dan miskin yang kian lebar,” tegasnya.

Intelektual NU

Bagaimana peran intelektual NU di Jambi, baik yang terlibat di struktural maupun bergerak di ranah kultural, yang tidak saja menaruh atensi terhadap kerja-kerja intelektual, kebudayaan, tetapi juga mampu  menjawab pelbagai persoalan riil masyarakat akar rumput, lebih-lebih saat pagebluk Corona setahun terakhir ini yang jelas-jelas merusak pertahanan sistem kesehatan dan ekonomi nasional dan daerah? Faktanya jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Provinsi Jambi pada bulan Maret 2020 mencapai 277,80 ribu orang (7,58 persen), bertambah sebanyak 4,4 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2019 yang sebesar 273,37 ribu orang (7,51 persen). Belum lagi jumlah karyawan terkena PHK yang meningkat tajam seiring perusahaan terpaksa tidak melakukan produksi. Begitu juga pekerja di sektor informal yang sepenuhnya menaruh harapan pada penghasilan harian, sementara virus Corona membuat mobilitas dan pekerjaan macet, dan bahkan terhenti.

Saya belum melihat peran kongkrit dan berkelanjutan organisasi seperti Ikatan Sarjana Nahdhatul Ulama (ISNU) dan badan otonom lainnya di lingkungan NU baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, terutama dalam memproduksi pengetahuan, berjejaring dengan organisasi sipil-progresif, dan konsisten menyampaikan kritik konstruktif terhadap pemerintah pusat maupun daerah, terutama berkaitan penanggulangan covid-19 dan imbasnya terhadap sektor kesehatan, ekonomi dan pendidikan; eksploitasi berlebihan yang dilakukan korporasi terhadap sumber daya alam sehingga mengakibatkan terjadinya bencana alam; korupsi; PETI; konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat lokal; narkoba; punahnya seni tradisi; serta ketegangan hubungan antar umat beragama, yang mudah dipicu oleh karena perbedaan preferensi maupun orientasi politik dengan mendasarkan semata pada paham teologis-skripturalis. 

Selain itu, organisasi NU wilayah Jambi belum sepenuhnya menjadikan pesantren yang tersebar di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah sebagai akar gerakan NU dewasa ini, meski kita menyadari merekalah yang berada di garis depan menjaga sekaligus merawat tradisi NU. Pesantren terlihat berjalan sendiri-sendiri dengan segala persoalan akutnya, yaitu untuk menyebut contoh, seperti minimnya dukungan anggaran dari pemerintah, sarana dan prasarana pembelajaran yang kurang memadai, penyelenggaraan pendidikan yang belum didukung oleh sistem manajemen modern, dan mutu tenaga pendidik yang tidak terpantau.

Dalam sejarahnya, selain sebagai modal sosial, pesantren juga menjadi lumbung intelektual yang ikut menentukan perjalanan NU dan bangsa Indonesia hingga hari ini, dan puncaknya ketika Gus Dur berhasil mengorbitkan kader-kader muda NU, terutama di pulau Jawa, untuk tampil sebagai pemimpin dan aktivis NU masa depan yang kreatif, progresif, dan kompetitif. Kaum muda NU tidak lagi gagap dengan wacana-wacana kontemporer, baik dari Timur maupun Barat, bacaan mereka tidak berhenti pada kitab kuning yang menjadi ciri utama kalangan pesantren dan NU, tapi juga buku-buku berbahasa Indonesia dan asing, seperti Arab, Belanda, Prancis, dan Inggris yang memperkaya perspektif dan menggerakan perubahan.

Tidak banyak intelektual NU yang tumbuh dari kalangan pesantren di provinsi Jambi saat ini. Berbeda halnya dengan ulama-ulama Jambi bereputasi internasional di masa lalu, untuk menyebut contoh, seperti KH. Abdul Qadir bin Syekh Ibrahim bin Syekh Abdul Majid al-Jambi, Syekh Abdul Majid bin al-Haj Abdul Ghaffar al-Jambi, KH. Muhammad Ali bin Syekh Abdul Wahhab, Syekh Hasan Ibn H. Anang Yahya, Syekh Abdus Shomad, dan Guru Muhammad Nashir Yahya bin Ahmad. Lebih lanjut baca tulisan Mohammad Rosadi berjudul Menelusuri Kitab karya Ulama Pesantren di Provinsi Jambi, dalam Jumantara, Vol 5 No. 2 Tahun 2014, yang memuat penjelasan mengenai kuantitas, jumlah kitab karya ulama pondok pesantren di Provinsi Jambi, bidang keilmuan, corak penyajian, motif penulisan,  serta Kondisi fisik kitab-kitab karya ulama.

Hemat saya, PWNU bersama ISNU dan badan otonom lainnya di lingkungan NU Provinsi Jambi seyogyanya kembali menjadikan pesantren tidak semata sebagai penjaga tradisi kegamaan, tapi juga lumbung pengetahuan, garda terdepan moderasi keagamaan, dan patner sepadan dalam melakukan kerja-kerja transformatif di berbagai bidang kehidupan, utamanya mengangkat derajat ekonomi warga akar rumput melalui pendampingan dan pemberdayaan secara tepat dan berkelanjutan. Karena itu, NU memerlukan generasi muda yang berilmu, mampu membangun relasi lintas teritorial negara, kuat secara finansial, adaptif terhadap manajemen modern, sehingga menjadi jaminan untuk menggerakkan roda organisasi NU dengan sukses menuju realisasi cita-cita yang diharapkan oleh seluruh warga NU dan bangsa, yaitu kemandirian ekonomi, kemajuan pendidikan, peningkatan pengetahuan dan teknologi, dan penguatan kapasitas kelembagaan secara profesional.

Dengan demikian, hari lahir NU ke 95 tahun ini adalah momentum strategis untuk membangkitkan spirit NU sebagaimana digariskan oleh Khadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari bersama pendiri lainnya. PWNU Provinsi Jambi, di bawah kepemimpinan Iskandar Nasution, mau tidak mau harus berbenah dan melakukan terobosan, sehingga tidak lagi terjebak pada kerja-kerja politis, berjangka pendek dan jatuh sebagai aktivisme semata. PWNU Provinsi Jambi mesti melangkah bersama dengan badan otonom di lingkungan NU menjadi lokomotif yang  menggerakkan seluruh komponen warga NU di provinsi Jambi, baik alumni pesantren, perguruan tinggi dalam dan luar negeri, kalangan bisnis dan profesional, akademisi, pengusaha, birokrat, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain bersama-sama membesarkan NU, dan puncaknya menghadirkan solusi terhadap persoalan-persoalan krusial di negeri ini. Apa pasal sehingga hal demikian itu menjadi niscaya? Mengaku sebatas jumlah warga NU paling banyak, tetapi lemah bagai buih di lautan, dan faktanya sudah terlalu lama NU menjadi buih di percaturan ekonomi nasional.

*Tulisan ini pertama kali terbit di portal jamberita.com pada tanggal 23 Januari 2021.

0 Komentar