Kami Tahu Mesin Berhenti, Sebab Kami Nyawa yang Menggerakkannya

Marsinah, aktivis buruh. 

Oleh: Jumardi Putra* 

Marsinah adalah simbol perlawanan kaum buruh di Indonesia. Setiap tanggal 1 Mei buruh di tanah air selalu mengenangnya. Ulah keberaniannya menentang refresifitas militer Orde Baru dan pengusaha di tempat ia bekerja ketika itu (PT Catur Putra Surya) membuatnya diculik dan ditemukan dalam kondisi tak bernyawa pada 8 mei 1993.  

Keberanian karyawati kelahiran 10 April 1969 asal Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur itu telah mengilhami semangat kaum buruh pada masanya sampai sekarang menuntut hak-hak mereka yang terabaikan, seperti pembatasan upah minimal yang tidak koheren dengan batas kelayakan hidup, kenaikan gaji berkala yang sering diperlambat, dan tunjangan sekaligus jaminan kesehatan yang tidak diatur secara tegas, serta menolak pemberlakukan outsourching.

Keadaan pelik demikian menggambarkan dua macam situasi secara bersamaan. Pertama, perlawanan kaum buruh menandai tingkat kehidupan rakyat Indonesia yang tidak memiliki pilihan lain selain bertahan sebagai buruh berupah murah dan rentan terkena PHK. Ini antara lain, dikarenakan sebagian besar buruh kita tidak memiliki keahlian khusus dan tingkat pendidikan yang rendah. Tenaga kerja pada kategori ini jumlahnya melimpah, presentasenya paling tinggi dalam komposisi ketenagakerjaan di Indonesia.

Kedua, aksi buruh di seluruh pelosok tanah air memperlihatkan bahwa kemiskinan telah merata secara nasional. Ini antara lain, disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang responsif dan akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, sehingga membuat lemahnya posisi tawar tenaga kerja berhadapan dengan pemilik perusahaan atau industri.

Sejatinya, baik buruh maupun perusahaan saling membutuhkan dan menguntungkan, karena itu tidaklah patut perusahaan memberlakukan peraturan yang menyengsarakan para buruh, sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 dengan tegas menjamin, “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara berdasarkan ketentuan pasal 28 ayat 2 berbunyi, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Arah Gerakan Buruh

Menurut Arief Budiman, sebagaimana dimuat Sedane (Jurnal Kajian Perburuan, 2012), kekuatan riil politik gerakan buruh saat ini sangat lemah. Hal itu dapat dilihat melalui dua indikator. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia lemah, sehingga kita sangat tergantung pada investor asing. Kedua, pengangguran tinggi, sehingga posisi tawar majikan kuat sekali.

Badan Pusat Statisktik Nasional (BPSN) menyebutkan, angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9, 39 juta jiwa. Sekitar 30, 6 juta orang oleh BPS dimasukkan dalam kategori setengah menganggur. Sedangkan angka kemiskinan masih berjumlah 34, 96 juta orang (15, 42 persen). Itu artinya, kita lebih butuh mereka (pengusaha) dari pada mereka butuh kita. Kalau upah buruh naik atau sering terjadi pemogokan, mereka akan pindah. Apalagi potensi penanaman modal atau investasi alternatifnya banyak, seperti Vietnam, RRC, India, dan lain-lain.

Saat yang sama, negara tersandera oleh kondisi ekonomi yang lemah, sehingga negara lebih butuh investor dari pada membela buruh. Ringkasnya, mengorbankan buruh resikonya lebih kecil dari pada mengorbankan modal. Itulah akar persoalan buruh, meski mereka bisa saja mogok, bisa macam-macam, tapi penyelesaiannya selalu kalah.

Ke mana strategi perlawanan kaum buruh diarahkan? Masih menurut Arief Budiman (2012), ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain, pertama, memperkuat organisasi buruh, termasuk membangun solidaritas dan melakukan pendidikan. Kedua, membangun solidaritas internasional. Kenapa? Tekanan terhadap perusahaan, terutama perusahaan asing dilakukan di negara asal perusahaan tersebut, itu biasanya lebih efektif.

Di samping itu, isu utama kaum buruh yang tepat adalah ketidakadilan. Kaum buruh harus disadarkan bahwa mereka dieksploitasi, sehingga timbul gairah perlawanan dari satuan sosial yang mampu menggerakkan perubahan, sebagaimana tercermin dalam penggalan puisi satir penyair Wiji Tukul yang berjudul Maka Terang bagi Kami, “Kami satu: Buruh/kami punya tenaga/jika kami satu hati/ kami tahu mesin berhenti/sebab kami adalah nyawa yang menggerakkannya.”

Eggi Sudjana dalam bukunya, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia (Renaisan, 2005), mengatakan dibutuhkan beberapa agenda kerja bagi kaum buruh: Pertama, meningkatkan program pembinaan pandangan dasar dan orientasi pembaruan buruh Indonesia. Kedua, membangun kemitraan sesuai dengan pandangan dasar kaum buruh, sehingga saling mempunyai loyalitas, integritas, dan profesional di segala bidang. Ketiga, dalam mengatasi konflik perburuhan, maka diperlukan pelayanan mediator bila terjadi perselisihan serta pembelaan hukum bagi kaum buruh. Keempat, memberikan pelayanan informasi tentang peluang kerja bagi kaum buruh. Kelima, menggalang dana untuk kesejahteraan kaum buruh, yakni setiap buruh sepakat dan setuju dengan visi, misi, dan tujuan yang sesuai dengan pandangan dasar.

Hal penting lainnya, menurut hemat saya, kaum buruh dengan berbagai persatuan serikatnya harus lebih terkoordinasi secara baik dalam satu usaha bersama. Kenapa? Gerakan yang mulanya hanya mengandalkan militansi dan mobilisasi massa, perlahan-lahan harus dibawa ke arah gerakan yang memiliki kecakapan dalam berorganisasi, kemampuan dalam bernegosiasi, dan mampu menawarkan alternative kebijakan menyangkut sistem perburuhan itu sendiri. Apa sebab?, sebagaimana disinggung sejak awal, penderitaan kaum buruh bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Derita itu datang melalui proses yang panjang. Proses yang mereka kerapkali tidak turut campur di dalamnya.

Dalam makna yang lebih luas, keadaan tersebut mengingatkan saya pada pokok pikiran Paulo Freire (Pedagogy of the Oppressed, 1968), “Dehumanisasi, meskipun merupakan sebuah fakta sejarah yang konkrit, bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi akibat dari tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari tangan-tangan para penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas.”

*Yogyakarta, 2012.

0 Komentar