Dari Lubang Tambang Mbah Soero Ke Puncak Cemara Sawahlunto

Lubang Tambang Batu Bara Mbah Soero Sawahlunto

Oleh: Jumardi Putra*

Terperangah, kalau bukan saya dibuat takjub. Bagaimana tidak. Sebuah kota mati yang terletak di lembah sempit di sepanjang pegunungan Bukit Barisan provinsi Sumatra Barat, yang dulunya dikenal sebagai tambang batu bara tertua di Asia Tenggara, yang mulai dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda mengakhiri abad ke-19 dan mengawali abad ke-20, kini mulai bergeliat dan menemukan momentum kebangkitan setelah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto belum genap tiga tahun berjalan.

Usai mengunjungi Silo berukuran raksasa yang berada di daerah Saringan, terpisah beberapa ratus meter dengan Sizing Plant, dihubungkan dengan rel yang menjulang tinggi di angkasa (Baca Bagian I: Menapaki Kota Tua Tambang Batu Bara Sawahlunto), Jumat, 10 Desember 2020, saya melanjutkan rute penelusuran ke lubang bekas tambang batu bara Mbah Soero yang berlokasi di Jalan Diponegoro, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar


Tiga Silo berukuran raksasa di daerah Saringan, Sawahlunto. Dok. JP.

Ini kali pertama saya memasuki lubang bekas utama tambang batubara di pusat kota Sawahlunto. Menimbang penuh resiko, kunjungan ke lubang tambang tersebut saya didampingi seorang pemandu resmi dan arkeolog Bung Afif yang sedang melakukan penelitian di Sawahlunto. Sedangkan rombongan keluarga yang ikut wisata ke kota tua ini memilih menikmati panorama Sawahlunto di halaman gedung PT. Bukit Asam, setelah sebelumnya melihat-lihat isi Goedang Ransoem, dapur umum yang menopang kebutuhan makan sehari-hari ribuan pekerja tambang batubara pada masanya.

Tidak jauh dari kawasan gedung PT Bukit Asam, selain ramai oleh para pedagang kaki lima yang menjajaki makanan dan minuman, juga terdapat Museum Tambang Batubara Ombilin yang berlokasi di Saringan Barangin. Museum ini menyimpan beragam koleksi tentang aktivitas penambangan batubara sejak tahun 1891 hingga 1970 an. Di museum ini pengunjung bisa melihat dari dekat peralatan tambang batubara, kendaraan pengangkut, arsip, kostum penambang, bermacam foto tempo dulu, audio visual, alat kerja penambang, hingga mesin pemilah batubara.

Museum Tambang Ombilin di Kota Sawahlunto. Dok. JP 

Selain museum Tambang Batubara Ombiliin, ada juga Lubang Tambang Sawahluwung yang berada di Desa Rantih. Lubang tambang bawah tanah ini merupakan lokus versi kekinian dari lubang tambang Mbah Soero yang lebih dulu dibuka sebagai destinasi wisata di pusat Kota Sawahlunto padak tahun 2007. Lubang Tambang Sawahluwung dibuka pada tahun 1985 dan mulanya bukan untuk produksi, tetapi untuk ventilasi udara. Berjalannya waktu lubang ini dikembangkan menjadi lubang produksi dan saat ini telah menjadi Lubang Pendidikan. Mahasiswa yang menempuh studi pertambangan kerap menjadikan lubang Sawahluwung sebagai tempat kuliah maupun penelitian lapangan. 

Selain Museum Tambang Batubara Ombilin yang terletak di depan kantor PT Bukit Asam, ada juga museum musik, museum tari, dan museum etnografi kayu yang mengoleksi benda-benda seni dan budaya. Hanya saja hari itu sudah beranjak sore, sehingga tak cukup waktu bagi saya mengunjungi museum-museum tersebut. Harapan saya dapat berkunjung ke Sawahlunto lagi di lain kesempatan. Semoga.

***

Kembali tentang lubang bekas tambang batu bara Mbah Soero. Terowongan yang dibangun pada tahun 1898 ini masih terjaga keasilannya, tampak dari bagian atap dan dinding yang tersusun dari batubara. Bagian tertentu di Lubang bekas tambang batu bara ini telah direhab dan terdapat penambahan fasilitas untuk mendukung aktivitas kepariwisataan yang tengah digalakkan oleh pemerintah kota Sawahlunto, yaitu besi sebagai pegangan bagi pengunjung saat menuruni anak tangga dan udara yang dialirkan dari blower serta dilengkapi kamera pengintai (CCTV) yang dipantau petugas di gedung Info Box. Fasilitas tersebut sangat diperlukan agar pengunjung aman dan nyaman selama menyusuri terowongan tambang batu bara.

Dasar Lubang Tambang Mbah Soero tampak rapi didukung penerangan yang memadai. Udara segar dipompa ke dalam lubang dari permukaan tanah dan dialirkan melalui pipa-pipa, yang membuat udara di dasar Lubang Tambang Mbah Soero tetap segar. Pengeras suara pun terpasang jika sewaktu-waktu diperlukan.

Galeri Museum Lubang Tambang Mbah Soero. Dok. JP

Tidak jauh dari pintu masuk maupun ke luar lubang tambang Mbah Soero, terdapat gedung galeri atau Info Box berisikan barang-barang yang digunakan untuk menambang batubara, seperti martil, linggis, dan rantai tangan dan kaki yang dulu dipakai untuk membelenggu para penambang di masa itu. Di sebelah kiri terdapat Patung 'Orang Rantai' yang tengah mendorong lori berisi batu bara, diawasi oleh seorang mandor. Patung ini berada di halaman diantara Gedung Info Box dan Lubang Tambang Mbah Soero.

Untuk masuk ke dalam lubang tambang Mbah Soero, setiap pengunjung wajib mendaftar dan beli tiket di gedung Info Box. Dari koleksi gedung Info Box itu pemandu bercerita mengenai kisah pahit orang rantai, setelah sebelumnya saya dan Bung Afif diminta memasuki sebuah ruangan untuk memakai sepatu dan helm khusus yang disedikan pihak galeri atau Info Box sebelum memasuki lubang bekas tambang batu bara sepanjang 1,5 kilometer dengan kedalaman 15 meter di bawah permukaan jalan.

Istilah orang rantai merujuk para tahanan yang dipaksa bekerja di areal tambang bawah tanah dengan kaki dan tangan dirantai agar tidak melarikan diri. Mereka dikirim dari berbagai daerah di Hindia Belanda termasuk Batavia. Mereka merupakan tahanan kriminal atau politik dari wilayah Jawa dan Sumatra. Dalam bahasa Belanda, para kuli disebut ketingganger atau orang rantai. Mereka dipekerjakan hingga tahun 1898.

Pihak Belanda sengaja mempekerjakan para tahanan dan pembangkang dari pulau lain di areal tambang kota Sawahlunto untuk menghemat biaya sekaligus membuang mereka dari tanah kelahirannya, serta mendatangkan tenaga murah asal negeri Tiongkok. Orang rantai tak tentu jam kerjanya dan hanya diberi jatah makan seadanya yang dimasak di Goedang Ransoem.

Galeri lubang tambang Mbah Soero dulunya merupakan tempat penumpukan batu bara yang digali dari lubang tambang. Pada tahun 1947 di lokasi ini dibangun gedung Pertemuan Buruh (GPB) yang berfungsi sebagai tempat hiburan sekaligus tempat bermain judi bagi buruh tambang yang tinggal di sekitar Kawasan Tanah Lapang dan Air Dingin. Berselang 18 tahun kemudian, tepatnya tahun 1965 gedung PGB beralih fungsi menjadi Gedung Pertemuan Karyawan (GPK) dan sekaligus dimanfaatkan oleh Partai Komunis sebagai ruang pertemuan, yang setiap minggunya mengadakan pasar murah untuk merekrut anggota baru. Barulah tahun 1970-an gedung ini beralih fungsi menjadi rumah karyawan tambang batu bara sampai tahun 2004. Berdasarkan penelitian Badan Cagar Budaya dari tahun 2004 sampai 2007 disimpulkan bahwa bangunan PGB tidak termasuk dalam kategori benda cagar budaya yang dilindungi sehingga akhir tahun 2007 dirobohkan dan dibangun gedung baru, sebagaimana galeri atau gedung Info Box saat ini.

Penulis (kanan) bersama pemandu resmi lubang tambang Mbah Soero. Dok. JP.

Kenapa lubang bekas tambang batu bara ini dinamakan Mbah Soero? Sang pemandu menuturkan nama Mbah Soero melekat kuat dalam ingatan para petambang saat itu karena menjadi mandor para orang rantai di Sawahlunto. Meski demikian, ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran sumber sejarah di balik penamaan Mbah Soero pada situs lubang tambang batu bara tersebut.

Hasil penelitian kolaboratif antara Kantor Peninggalan Bersejarah dengan Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas Padang pada tahun 2016 menyatakan bahwa tidak ada bukti kuat yang mendukung adanya hubungan antara sosok Mbah Soero dengan lubang bekas tambang, melainkan Mbah Soero hanyalah cerita fiktif yang berkembang di tengah masyarakat yaitu seorang mandor dari Jawa yang menjadi panutan bagi pekerja buruh pada masa Kolonial Belanda.

Selain sebutan Mbah Soero, warga setempat juga menyebut situs bekas tambang batu bara ini Lubang Soegar karena ia lubang pertama di Sawahlunto yang berada di Lembah Soegar. Lubang tersebut memiliki lebar dua meter dengan ketinggian dua meter. Sementara kedalaman Lubang Mbah Suro mencapai 15 meter dari permukaan tanah serta memiliki panjang 1,5 kilometer di bawah Kota Sawahlunto. Sang pemandu menambahkan selain ditemukan botol-botol minuman berakohol yang diduga merupakan peninggalan zaman Belanda, juga ditemukan banyak kerangka manusia di lubang tersebut.

Terowongan Lubang Tambang Mbah Soero. Dok. JP

Terowongan ini dulunya digunakan untuk mengangkut batu bara dari penambangan di bawah Kota Sawahlunto. Dinding terowongan terlihat hitam berkilat lantaran mengandung batu bara kualitas super, yaitu 6.000 hingga 7.000 kalori. Sebelum tahun 1930, Belanda menutup lubang ini karena dekatnya lubang tambang dengan Sungai Lunto, yang mengakibatkan derasnya rembesan air. Lubang Tambang Mbah Soero dibuka kembali pada tahun 2007 untuk dijadikan tempat wisata. Sekali masuk ke Lubang Tambang Mbah Soero ini dibatasi jumlah pengunjungnya maksimum 20 orang untuk menjaga kecukupan pasokan udara di dasar lubang.

***

Jarum jam menunjukkan pukul 16. 45 WIB. Usai dari lubang bekas tambang Mbah Soero, saya bersama keluarga melanjutkan perjalanan menuju lokasi wisata Puncak Cemara. Di puncak ini kami menyaksikan keseluruhan Kota Sawahlunto, bukit-bukit yang menjulang tinggi dan mengelilingi kota tua ini serta sisa bangunan-bangunan kolonial era kejayaan tambang batubara menjadikannya pemandangan yang membuat wisatawan betah berlama-lama di lokasi ciamik ini. Dari puncak cemara pula, kami menyaksikan bangunan yang masih bertahan dengan keasliannya dan sebagian lainnya tidak terawat dan menyisakan puing-puing reruntuhan.

Ket: Puncak Cemara Sawahlunto.

Puncak Cemara berada kurang lebih 6 Kilometer dari pusat kota Sawahlunto. Meskipun kali pertama bagi kami mengunjungi Sawahlunto, untuk menuju ke lokasi tergolong mudah, karena  cukup mengarahkan kendaraan ke Talawi, dan nantinya di sebelah kanan jalan terdapat plang petunjuk menuju lokasi Puncak Cemara.

Tak hanya pemandangan alam yang menarik, di Puncak Cemara juga tersedia berbagai fasilitas seperti gazebo, dimana monyet-monyet sering bermain di atapnya, ada juga areal playground bagi anak-anak, kantin, toilet, dan masih banyak fasilitas menarik lainnya. Tentu saja puncak cemara menjadi tempat yang sangat tepat untuk mengabadikan pengalaman mengasyikkan orang per orang maupun keluarga karena berada di atas hamparan luas kota Sawahlunto yang indah dengan hawa sejuknya.

*Tulisan ini terbit pertama kali tanggal 19 Juni 2021 di rubrik Jejak portal www.kajanglako.com

0 Komentar