Dari Tanah Pilih Pusako Betuah Kota Jambi Ke Bumi Sakti Alam Kerinci

 

Perkebunan Teh di kaki gunung Kerinci.

Oleh: Jumardi Putra*

Rabu, pukul 08.06 WIB kami mulai bergerak dari Jalan Ahmad Yani, Telanaipura, Tanah Pilih Pusako Betuah, kota Jambi, menuju daerah berjuluk Salahun Suhak Salatuh Bdei, Kota Sungai Penuh (28/7). Perjalanan sejauh 420 km melintasi kabupaten Muarojambi, Batanghari, Sarolangun dan Merangin akan kami lalui untuk sampai di Bumi Sakti Alam Kerinci. Perjalanan yang menarik. Pikirku seketika.

Lawatan kali ini saya tidak sendirian, melainkan bersama Bu Emi Nopisah, Pak Muhibbang, Bu Rasmi Murdani, dan Mbak Suzie Ollivianty serta Bang Giring selaku sopir, menghadiri rapat kerja Asosiasi Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota (Asdeksi) se Provinsi Jambi di hotel Grand Kerinci beralamat di Jalan Yos Sudarso, Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh.

Dalam forum yang ditaja Setwan DPRD Kabupaten Kerinci dan dibuka secara resmi oleh pak Adirozal, Bupati Kerinci, Bu Emi, begitu beliau akrab disapa, didapuk sebagai pembicara utama dengan tajuk presentasi optimalisasi peran Sekwan mendukung tugas dan fungsi DPRD.

Betapa tidak, pengalamannya menjadi Sekwan di DPRD Provinsi Jambi dari tahun 2009 sampai sekarang, meneruskan estafet Sekwan DPRD Provinsi Jambi sebelumnya, yaitu Ibrahim Lakoni (1972-1990), Lukman Hakim, SAID (1990-2000), dan Rosmeli (2000-2009) membuatnya kaya akan pengalaman lengkap dengan manis, pahit dan getir selama memimpin Setwan di gedung wakil rakyat tersebut, bersebelahan dengan kantor Gubernur Jambi. Tak syak, sekretaris Dewan DPRD Kabupaten/Kota beserta jajaran yang hadir dalam rapat kerja tersebut antusias mengikuti pemaparan Bu Emi sampai akhir sesi diskusi.

Presentasi Sekwan DPRD Provinsi Jambi

Ini kali kedua saya ke Kerinci setelah sebelumnya pada tahun 2013. Ketika itu saya bersama tim dan dikomandoi budayawan Jafar Rassuh mengunjungi Kerinci menemui pemuka adat dan OPD Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kerinci (Disbudparpora) dan Kota Sungai Penuh.

Kunjungan tersebut sehubungan perubahan Peraturan Daerah Provinsi Jambi 5 Tahun 2007 tentang Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi yang merupakan inisiatif Komisi IV DPRD Provinsi Jambi. Kunjungan kami saat itu bagian dari upaya menghimpun masukan, saran dan aspirasi dari pengurus lembaga Adat Kabupaten/Kota yang ada di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah. Lebih lanjut Perda Nomor 2 Tahun 2014 tentang LAM Provinsi Jambi bisa dinduh di portal Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) pemerintah provinsi Jambi berikut ini https://jdih.jambiprov.go.id/.

Saat itu, kadung di Kerinci, rugi rasanya bila saya tidak memanfaatkan waktu luang mengunjungi tokoh ternama asal Kerinci yaitu maestro tradisi pak Iskandar Zakaria. Nama yang sudah tidak diragukan lagi baik kafasitas, konsistensi dan kesungguhan beliau merawat dan melestarikan seni tradisi budaya Kerinci melalui sanggar seni Ilok Rupo miliknya. Saya merasa tidak perlu pula menyebut daftar prestasi yang diraihnya semasa hidup di sini. Sila berselancar di dunia Maya, niscaya ditemukan. Melimpah. 

Setelah perjumpaan itu, dalam beberapa iven seni budaya, terutama di Kota Jambi, saya kerap menemui beliau di sela-sela perhelatan, sebut saja seperti perhelatan Malam Keagungan Melayu Jambi yang ditaja Dewan Kesenian Provinsi Jambi (DK-Jambi), bertepatan dengan perayaan HUT Provinsi Jambi ke-56 tahun 2013, dan berlanjut pada iven seni budaya lainnya.

Seniman Iskandar Zakaria (Tengah) bersama Sanggar Seni Ilok Rupo (2013)

Beberapa hari ke depan genap berusia tiga tahun beliau wafat (10 Agustus 2018). Allahuyarham. Riang hati saya bertemu beliau semasa hidup dan berkunjung ke kediamannya yang sekaligus menjadi museum. Ribuan benda-benda cagar budaya tersimpan rapi di museum miliknya itu. Lepas wafat pengelolaan museum peninggalan beliau diteruskan oleh putrinya yaitu Maizatety Qadarsih, yang juga mengelola sangar Seni Ilok Rupo.


Bang Giring, Siang yang Terik dan Kecepatan yang Terjaga

Rabu, 28 Juli 2021. Siang yang terik.

Kendaraan yang membawa kami ke Kerinci adalah jenis kijang Toyota innova reborn warna hitam. Paten untuk perjalanan jarak jauh.

Bang Giring, sang pengemudi, hemat saya tipikal sopir yang santai dengan kecepatan terjaga. Karena kepiawaiannya laju mobil senantiasa dalam keadaan stabil meski jalan banyak berlobang, apalagi memasuki daerah Kerinci dengan kondisi jalanan sempit dan di kanan-kiri terdapat tebing tinggi dan jurang yang curam.

Selama dalam perjalanan (pulang-pergi), Bang Giring tidak mudah terpancing oleh sahutan klakson pengemudi lainnya yang ingin cepat-cepat, apalagi saat berpapasan truk batubara yang berjejer dan jelas menciptakan kemacetan.

Rasa bosan sempat menghampiri diri saya, yang kebetulan duduk di kursi paling belakang. Saya ingin segera sampai di lokasi tujuan, dengan demikian Bang Giring perlu tancap gas. Tetapi itu tidak pernah terjadi selama kurang lebih 10 jam perjalanan.

Saya seolah dibuat berpikir masak-masak oleh Bang Giring, apatahlagi menimbang medan jalan terutama dari arah Merangin ke Kerinci yang berkelok, mendaki dan menurun serta berjurang. Bahkan pada beberapa ruas jalan tertutupi sisa tanah longsor dan air menggenang.

Dalama situasi itu, untung saja saya membawa buku kumpulan tulisan ekonom HMT Oppusunggu berjudul Pengecam Polos Indonesia Tiada Tara (KPG, 2019), sehingga perjalanan yang melelahkan seolah terbayarkan dengan asupan nutrisi pikiran yang berhasil mengusir rasa bosan sepanjang jalan.

Karya HMT Oppsunggu (2019)

Tidak hanya itu, selain menikmati keindahan alam di kanan-kiri jalan, galibnya saya mencatat teks-teks di bokong truk selama dalam perjalanan (PP). Hanya karena duduk di kursi paling belakang membuat saya tidak leluasa mengabadikan teks di setiap bokong truk yang saya jumpai. (Baca di sini: Bokong Truk Adalah Wajah Kita).

Bang Giring sosok yang tidak banyak bicara, kecuali seperlunya. Diakuinya profesi sebagai sopir telah lama ia geluti sejak menjadi sopir pribadi Pak Suwarno Surinta baik sebelum dan sampai beliau menjadi Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi periode 2004-2009, berlanjut ke ketua DPRD Provinsi Jambi Efendi Hatta periode 2009-2014 dan Cornelis Buston tahun 2014-2019.

Warung Monggo, Anna Catharina Block Caspari dan Desa Muara Emat

Perjalanan jarak jauh jelas tidak membuat kami menetapkan target sampai di lokasi acara secara terburu-buru. Masih cukup waktu, pikir kami. Perjalanan perlu dinikmati agar bisa mencecap warna warni keindahan dan bahkan kesumpekan akibat kamacetan di beberapa ruas jalan. Pun rute jalan ke Kerinci tak membuat kami pusing lantaran selain Bang Giring yang kerap ke Kerinci, Mbak Suzie sendiri adalah perempuan kelahiran Kerinci yang mengerti seluk beluk kota bersegi banyak ini. Keikutsertaannya ke Kerinci kali ini boleh dikata semacam pulang kampug.

Pukul 13.11 WIB, memasuki kota Sarolangun kami memilih singgah sejenak di Warung Monggo. Warungnya tidak begitu mencolok dari pinggiran jalan lintas Sumatra (karena berdempetan dengan ruko bengkel mobil dan motor serta toko mebel). Tak syak, masing-masing kami perlu cermat untuk menemukannya. Dalam pada itu, keinginan santap siang di warung tersebut lebih karena pengalaman Bu Emi setahun sebelumnya yang pernah makan siang di warung tersebut. Selain harganya terjangkau, makanannya juga enak. Begitu kata Bu Emi.

Kami pun sampai di lokasi warung Monggo dan menikmati suguhan lele krispi plus sambal cabe merah, beberapa potong tempe goreng dan minuman es teh dan jeruk manis. Benar yang dikatakan Bu Emi, harganya murah. Cukup untuk menyanggah perut masing-masing kami sampai ke daerah tujuan, Bumi Sakti Alam Kerinci. Alhamdulillah.     

Selepas dari Warung Monggo, kami melanjutkan perjalanan dan singgah menunaikan salat Zuhur di Masjid Raya Al Falah Kota Sarolangun, tak jauh dari jembatan Cik Minah, kawasan yang familiar bagi penjaja makanan di pinggiran sungai Batang Tembesi di malam hari. Umumnya warga menyebut kawasan ini Ancol. Saya tidak tahu persis awal mula penyebutan istilah tersebut kecuali mengingatkan saya pada tempat rekreasi di Ibu Kota yakni Taman Impian Jaya Ancol.

Singgah sejenak di kawasan ini menyegarkan ingatan pada kunjungan saya sekira empat tahun lalu di Sarolangun. Tidak jauh dari Masjid Raya Al Falah Sarolangun terdapat monumen tenggelamnya kapal Opelhia pada 24 November tahun 1931 yang membawa rombongan Asisten Residen Bangko (membawahi onder afdeling Muaro Tebo, Muaro Bungo, Sarolangun dan Bangko) Juriaan Blok. Rombongan ini dikawal oleh tentara KNIL yang dikomandoi oleh Kapten T. P. Fikenscher.

Anna Catharina Block Caspari (Dilingkari). Sumber: Geni.com

Peristiwa naas yang menimpa kapal Ophelia dan merenggut nyawa anak dari asisten Residen Bangko Jurian Blok, yaitu Anna Catharina Blok Caspari serta 14 tentara KNIL tersebut diabadikan oleh pemerintah Hindia-Belanda dalam sebuah monumen VERDRONKEN BIJ DE OPHELIA RAMP (Tenggelam Pada Bencana Ophelia) pada tahun 1932 yang berada tepat di bibir tebing Batang Tembesi, kawasan Ancol Kabupaten Sarolangun saat ini. Hanya saja kondisi monumen, karena ulah tangan manusia dan faktor cuaca, tulisan yang terpahat di situ tidak mudah dibaca lagi.

Tidak jauh dari monumen itu pula, masih berkaitan dengan peristiwa tenggelamnya kapal Ophelia tahun 1931, pemerintah kolonial membangun Jembatan Beatrix yang memiliki panjang 197,4 meter dan lebar empat meter, dengan empat lengkungan. Konon Beatrix diambil dari nama putri Beatrix Wilhelmina Armgard, yaitu cucu dari Ratu Belanda, Wilhelmina, pada tahun 1938, setahun sebelum rampungnya jembatan. Sayang, kondisi jembatan bersejarah ini tak lagi indah dipandang, terutama di malam hari. Catnya sudah pudar.

Usai rehat sejenak di Masjid Al Falah Sarolangun kami melanjutkan perjalanan menuju arah Merangin. Dua setengah jam sebelum memasuki Kota Sungai Penuh, kami singgah di salah satu warung di Desa Muara Emat. Di kanan-kiri jalan terdapat beberapa warung yang menjajaki makanan dan kue khas Kerinci dan Padang (Provinsi Sumatra Barat). Beberapa kendaraan tampak menepi di warung-warung tersebut. Kami sempat berbincang-bincang dengan para pengendara lainnya yang sama-sama bertujuan ke Kerinci. Di warung itu kami menikmati bakwan goreng, kue lapis dan minum teh pucuk botol sekadar untuk menyanggah perut.

Saya sendiri menyempatkan berjalan ke arah belakang warung. Saya senang melihat bentangan sungai yang jernih penuh bebatuan. Jelas ini bisa menjadi potensi wisata Desa Muara Emat bila dikelola baik, terutama bentuk sungai dan debit airnya cocok untuk arung jeram. Jernih sungai Desa Muara Emat ini mengingatkan saya pada sungai di Desa Rantau Pandan, Kabupaten Bungo.

Sungai di Desa Muara Emat

Desa Muara Emat berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di sebelah utara dan timur, kabupaten Merangin di sebelah selatan dan Desa Batang Merangin di sebelah barat. Desa ini memiliki luas wilayah 126,45 ha dengan jarak tempuh berkisar 6 jam dari Kota Jambi atau sekitar 350 km dari Kota Jambi dan 58 km dari Kota Sungai Penuh. Sebagai daerah yang berada di dataran tinggi provinsi Jambi dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Desa Muara Emat menawarkan landscape alam memukau dengan segala potensi tersembunyi di dalamnya. 

Kerinci: Sekepal Tanah Surga dan Ghazali Burhan Riodja

Pengalaman ke Kerinci jelas sulit dilupakan. Mereka yang pernah melawat ke Bumi Sakti Alam Kerinci tentu sepakat dengan saya. Perbukitan nan hijau, perkebunan teh yang membentang luas di kaki Gunung Kerinci yang menjulang, benar-benar membuat berpasang-pasang mata yang menyaksikannya takjub dan tiada henti menyebut-nyebut lafadz Allah Azza Wajalla. Belum lagi Danau Kerinci atau kerap disebut warga Danau Gedang.

Dalam banyak literatur, Kerinci dikenal menyimpan banyak kekayaan. Mulai dari alam, adat istiadat, kesenian, kuliner, religi, hingga wisata. Kerinci memiliki dua administrasi daerah yaitu Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Keduanya sering disebut sebagai “Sekepal Tanah Surga”.

Menuju perkebunan teh kayu aro di Kerinci.

Dalam kunjungan terbatas di Kerinci, selepas kegiatan Asdeksi, kami (minus pak Muhibbang) memilih mengunjungi kawasan perkebunan teh di kaki Gunung Kerinci. Sebagaimana yang lainnya, saya juga senang bisa menyaksikan secara langsung keindahan Bumi Sakti Alam Kerinci.

Sebelum menikmati keindahan sore hari sampai ambang magrib di bukit penginapan Swarga dan perkebunan teh Kayu Aro, kami singgah sejenak di kawasan Air Panas Semurup, salah satu objek wisata yang terletak di Desa Air Panas Baru, Kecamatan Air Hangat Timur. Sumber air panas Semurup ini memiliki luas 76 m², dan merupakan sumber mata air panas alami dari kegiatan vulkanik. Sesuatu yang mudah dijumpai di daerah lain di wilayah Kerinci.

Di sini kami berjumpa dan berbincang-bincang dengan Bu Siti Nurbaya yang sehari-hari berjualan makanan ringan dan telur rebus dari air panas Semurup itu tadi. Melaluinya pula kami bisa menyaksikan air panas tersebut secara dekat, karena sebelumnya pintu wisata air panas ini dalam keadaan terkunci. Diakui Mbak Suzie, yang lahir dan tumbuh besar di Kerinci, pemagaran dan sekaligus penguncian pintu masuk ke objek wisata ini merupakan upaya menghindari dari tindakan gegabah warga Kerinci yang dengan sengaja memasukkan badannya ke sumber air panas tersebut (baca: bunuh diri). Entah karena alasan apa, dan itu kerap terjadi.  

Secara umum kondisi sarana prasarana objek wisata Air Panas Semurup ini sudah tidak memadai lagi. Tidak terurus. Gapura utama pintu masuk objek wisata air panas ini juga dalam kondisi memperihatinkan. Hanya tampak tiga orang yang berjualan ketika kami berkunjung ke sini setelah sebelumnya masing-masing kami dikenai biaya masuk sebesar Rp5.000.

Air panas Semurup.

Keindahan alam, sejarah yang panjang, seni dan buda karya masyarakat Kerinci tampaknya belum tergarap secara baik untuk menopang agenda kepariwisataan yang kerap didengungkan oleh para pengambil kebijakan di Kota Sungai Penuh maupun Kabupaten Kerinci. Begitu juga pengarusutamaan pariwisata berbasis kearifan lokal selama ini belum sepenuhnya berhasil menghidupi para pendukung kebudayaan (masyarakat) di mana mereka bertumbuh di seluruh kawasan Bumi Sakti Alam Kerinci. Apatahlagi dalam kondisi pandemi Covid-19 sekarang ini. Pariwisata adalah sektor yang mengalami koreksi secara mendalam.

Menyaksikan keindahan alam Kerinci, meski hanya dua hari, mengingatkan saya pada penyair kelahiran Kerinci Ghazali Burhan Riodja (1943-1970) yang meninggal di usia muda (27 tahun), sama halnya penyair si "Binatang Jalang" Chairil Anwar.

Berikut puisi penyair Ghazali Burhan Riodja (GBR) yang kerap disebut oleh petakjub keindahan Bumi Sakti Alam Kerinci, yang bisa jadi tidak tahu siapa pencipta puisi "Kerinci Sekepal Tanah Surga" itu sendiri.

Sebuah anugerah untuk dunia

Kita sudah sama-sama mengecapnya

O, tanah juita 

Pusaka sepasang arwah cinta

Hembusan wangi nafas sejukmu

Menenteramkan hidup insani.

Demikian sepenggal kesaksian saya akan keindahan Bumi Sakti Alam Kerinci. Semoga di lain kesempatan saya dapat ke sini lagi dalam waktu yang cukup. Amin

*Kota Jambi, 31 Juli 2021.

0 Komentar