Oleh: Jumardi Putra*
"Negeri ini tidak pernah kurang calon presiden. Bahkan mereka umumnya berlagak laiaknya Satrio Piningit yang berjanji membawa perubahan besar di republik ini".
Meski
pemilihan presiden baru akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024,
sekarang bermunculan pelbagai hasil survei yang menyebutkan (kalau bukan
sengaja untuk mendongkrak popularitas) beberapa calon presiden potensial baik
yang berlatar belakang ketua umum partai politik, kepala daerah maupun
profesional.
Fenomena ini
bukan sesuatu yang sama sekali baru, apatahlagi suksesi kepemimpinan nasional
maupun lokal (provinsi/kabupaten) per lima tahun di republik ini baru sebatas
demokrasi prosedural, yang sejatinya belum berhasil menggerakkan semua elemen
bangsa untuk melakukan kerja-kerja fundamental demi memastikan Indonesia
benar-benar tampil sebagai bangsa yang berdaulat.
Belum lagi,
problem yang mengerikan dari polarisasi imbas pemilihan presiden dua tahun lalu
kini masih begitu terasa, dan bisa jadi akan terulang kembali dua tahun
mendatang bila tidak segera ditemukan jalan keluar.
Mencermati
pasat-pasat setiap calon yang digadang-gadang oleh parpol, selain secara umum
mereka merupakan wajah-wajah lama, yang disebut wajah baru pun, kesemuanya itu
masih menjadi bagian dari problem masa lalu dengan segala bentuk ketersangkutan
dan dinamika yang melingkupinya.
Di tengah
semua itu, rakyat di akar rumput masih merasakan negeri ini belum
sepenuhnya berhasil keluar dari krisis multidimensi. Kemiskinan, terbatasnya
lapangan pekerjaan, dan buah dari eksploitasi atas sumber daya alam tidak
sepadan dengan akibat yang ditimbulkannya serta ketergantungan negara pada
hutang luar negeri yang terus meningkat drastis-seiring efek domino pagebluk Corona
yang melanda banyak negara-adalah problem akut yang menghendaki kerja keras
dan kerja cerdas para pemimpin serta kolaborasi pelbagai stakeholder baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam
catatan ini saya tidak mengulang kembali hal-ihwal reka kemasan secara massif
yang dilakukan pelbagai konsultan politik untuk menampilkan calon presiden maupun
kepala daerah melalui media massa atau medium alternatif lainnya. Kerja yang
demikian itu agaknya akan terus digunakan sejauh masyarakat belum bisa
membedakan secara tegas dan konsekuen mana kemasan dan mana pula isi.
Setakat hal
itu, realitas kepemiluan di negeri ini masih menunjukkan bahwa money politic dalam banyak bentuk maupun modus operandinya, adalah wujud potret buram demokrasi negeri ini, dan karena
itu semua kita berkewajiban mengoreksinya bersama-sama.
Negeri ini
kaya. Semua orang tahu itu, lebih lagi para pejabat dan elit politik di negeri amat lihai menarasikannya di forum-forum publik maupun melalui
media cetak dan elektronik, bahkan didukung media sosial serta
kehadiran para buzzer rupiah. Dalam pada itu praktik korupsi masih terus
terjadi baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ironi.
Oleh karena
itu, tidak bisa tidak, calon presiden republik Indonesia ke depan ditentukan karena menyatunya kemampuan, integritas dan keberanian bertindak
besar untuk kemajuan bangsa ini sekalipun tidak populer. Ibu Pertiwi sudah terlalu
lama menantikan terwujudnya kemakmuran dan kesejahteran bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Undang-undang
Dasar 1945, Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus bisa
dihadirkan secara kongkrit oleh pemimpin berikutnya. Bukan sebatas propaganda
resmi pemerintah maupun warna wicarana para oposan yang piawai menarasikan segala bentuk ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat di akar rumput
untuk dipertukarkan dalam bentuk jabatan per lima tahun maupun bentuk-bentuk
menguntungkan lainnya.
Melingkupi
itu semua, agama harus menjadi piranti “nilai” sehingga janji politik untuk
membawa perubahan fundamental bagi negeri ini tidak sebatas retorika belaka.
Agama tidak boleh menjadi kuda tunggangan para pihak (apalagi para pemodal)
yang hanya menginginkan tujuan jangka pendek yaitu menguasai aset sumber daya
alam di negeri ini untuk kepentingan segelintir orang dan kelompok.
Agama juga
tidak boleh dijadikan alat politik yang bisa memecah belah persatuan Indonesia
yang telah susah payah diperjuangkan oleh para founding fathers dan seluruh rakyat Indonesia. Sekali lagi, agama adalah nilai,
dan karenanya harus menjadi pijakan utama bagi pemimpin negeri ini agar
tidak semena-mena.
Kenapa hal
demikian itu perlu menjadi perhatian bersama? Tidak sedikit negara nun jauh di sana,
di belahan dunia ini, tidak terkecuali negara-negara Islam sekalipun, yang
hancur lebur lantaran jatuh dalam kubangan politik identitas (agama, ras dan
warna kulit), dan akhirnya terjerembab dalam kemiskinan dan konflik berkepanjangan.
Inikah yang kita inginkan?
Saya
teringat sebuah buku terbitan Qaf
Media Kreativa tahun 2020 yang berjudul Adab Berpolitik karya Imam Al Ghazali. Kandungan
kitab klasik ini sarat dengan etika berpolitik yang berharga, seperti tersirat
dalam judul aslinya al-Tibru al-Masbuk fi
Nashihat al-Muluk (Emas yang Didesain untuk Nasihat bagi Para Penguasa).
Mulanya isi nasehat di dalam buku ini ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn
Malik Syah dari Dinasti Saljuk, tapi isinya terus menginspirasi lintas
generasi.
Buku ini
dilengkapi berbagai sub pembahasan yang tak kalah menarik dicermati, antara
lain tentang keadilan dan sirah para penguasa, manajemen pemerintahan dan perilaku
para menteri, para sekretaris dan adab mereka, cita-cita tinggi para penguasa,
sifat santun para ahli hikmah, kemuliaan akal dan rrang rerakal serta terakhir
tentang wanita.
Imam Ghazali
dengan terang benderang menjelaskan bahwa di dalam Islam menjadi pemimpin itu
sungguh mulia dan mendapat ganjaran pahala besar dari Allah SWT. Tidak heran
bila pemimpin didukung anggaran, seperangkat peraturan perundang-undangan, dan
bahkan lembaga beserta sumber daya manusia yang menopangnya. Namun dalam buku
ini juga tegas dikatakan bahwa menjadi pemimpin yang tidak menjalankan secara
benar atas tugas yang diamanahkan kepadanya adalah juga dosa besar. Bukan
sesuatu hal yang mudah bukan?
Mungkin buku
ini jarang dirujuk, apalagi dipelajari oleh mahasiswa ilmu politik di tanah
air. Karena itu saya menyambut baik kehadiran buku ini dalam bahasa Indonesia
sehingga bisa menjangkau publik lebih luas yang terkendala bahasa maupun akses terhadap sumber karya tulis tangan pertama.
Buku ini
tidak saja mengetengahkan teks-teks ajaran Islam dan peran ulama serta
hubungannya dengan tugas pokok penguasa dalam sejarahnya yang panjang di masa
lampau, sebut saja seperti kisah kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid ketika
meminta nasihat kepada Syaqiq al-Balkhi dan al-Fudhail bin Iyadh. Sedangkan
Khalifah Umar bin Abdul Aziz meminta nasihat kepada Muhammad bin Ka’ab
al-Qarzhi, Abu Qalabah dan Abu Hazim. Masih banyak kisah menarik kepemimpinan
lainnya yang termaktub di dalam buku ini. Dengan kata lain, melalui kisah-kisah
tersebut pembaca akan mengetahui bahwa pijakan akidah tauhid bagi pemimpin,
kekuatan moral, keadilan, keutamaan ilmu dan keberadaan ulama yang senantiasa
mengingatkan penguasa dengan cara baik, adalah faktor penentu terciptanya
negeri yang damai, sejahtera sekaligus pemimpin yang betul-betul mencintai rakyatnya.
Meskipun
sistem ketatanegaraan maupun politik negeri ini berbeda dengan kisah-kisah
negeri yang disebut dalam buku ini, secara substansi karya ulama yang berjuluk
“Hujjatul Islâm” (Sang Hujah atau Pembela Islam) dan “Mujaddid Al-Qarn
Al-Khâmis” (Pembaharu Abad ke-Lima) ini menurut hemat saya tetap menemukan
relevansinya, lebih-lebih di tengah krisis kepemimpinan di semua level
pengambilan kebijakan di negeri ini.
*Tulisan ini terbit pertama kali di portal www.kajanglako.com
0 Komentar