Politik Identitas dan Sampah Politik

ilustrasi/jaring

Oleh: Jumardi Putra*

Pemilihan Presiden akan berlangsung 14 Februari 2024, disusul Pilkada serentak pada 27 November di tahun yang sama, tetapi suhu politiknya sudah mulai panas dari sekarang. Masing-masing partai politik sudah mengumumkan calon presiden. Pro-kontra seiring kemunculan nama-nama calon presiden memenuhi jagad virtual hingga menjadi obrolan di warung-warung kopi. Saat yang sama, dinamika pembentukan koalisi antar partai politik masih menunjukkan kepentingan kaum elit sebagai nomor wahid sehingga “berkoalisi dengan the losing side, bukan the winning side” adalah sebuah kesia-siaan.

Begitu juga diskursus politik kiwari baik yang katanya menawarkan “perubahan” maupun “keberlanjutan” masih sama-sama bak pepesan kosong. Politik dalam praktiknya masih jauh dari konsepsi ideal sebagaimana dikatakan Aristoteles sebuah usaha yang dijalani oleh warga negara dalam mewujudkan kebaikan bersama. Dengan kata lain, politik kekinian masih terjebak rebutan jabatan dan transaksi kepentingan struktural, bukan lagi politik yang berpendulum pada kemanusiaan. Itu kenapa dinamika perpolitikan di tanah air berbiaya tinggi, dan karenanya terasa panas dan gerah.

Pelbagai opini, komentar, parodi, meme, dan bahkan informasi gelap (saya menyebutnya sampah politik seperti hoax, ujaran kebencian dan perbagai macam bentuk hasutan yang mengarah pada keterbelahan sosial destruktif) seputar masing-masing kandidat calon Presiden berseliweran di jagad digital bak cendawan di musim hujan. Keakurasian data maupun informasi menjadi pekerjaan rumah (kalau bukan pertaruhan) bagi homo digital sekarang ini. 

Bak air bah, informasi di linimaya memerlukan kanalisasi secara tepat sehingga tidak berubah menjadi bencana sosial yang tidak tertanggungkan. Segregasi sosial akibat pemilihan Presiden 2024 jangan sampai terjadi. Perhelatan demokrasi lima tahunan tidak boleh merobek-robek tenunan kebangsaan yang susah payah diperjuangkan oleh founding fathers bersama seluruh rakyat di segala penjuru tanah air. Rasionalitas harus menjadi pijakan. Mengenali pasat-pasat rekam jejak masing-masing calon presiden maupun wakil presiden adalah keniscayaan. Janji-janji manis politik mesti dicerna, bukan semata karena sentimen tak berdasar, apatahlagi bila hanya bersandar pada rasa suka atau tidak suka (like and dislike) yang berujung pada pemaksaan dan tindakan diskriminatif terhadap sesama warga negara.

78,19% (215 juta lebih) dari keseluruhan populasi warga negara Indonesia (275 juta lebih) adalah pengguna internet. Itu artinya lalu lintas informasi di dunia maya riuh rendah. Tempat semua hal hadir bersamaan dan berkelindan mengikuti sederet kepentingan yang dinegosiasikan. Batas antara pendapat, gosip dan bahkan hasutan menjadi sumir. Bercermin pada pemilihan Presiden 2019 dan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, rasanya sulit mengelak bahwa momen periodik lima tahun tersebut telah menyulut pertikaian serta polarisasi di akar rumput yang berimbas hingga sekarang akibat para elit politik gencar memanfaatkan politik identitas secara gebyah-ubyah dan tidak bertanggung jawab.

Politik identitas dalam demokrasi, apalagi memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan adalah jenis politik identitas yang good. Namun politik identitas yang secara sadar mengkampanyekan kebencian dan supremasi satu kelompok agama atau etnik tertentu atas yang lain, maka hal itu dapat disebut politik identitas yang bad, dan dapat menjadi ugly ketika berlanjut menjadi hasutan untuk melakukan kekerasan dan pelbagai tindakan diskrimatif lainnya. Pilpres 2019 maupun Pilgub DKI Jakarta adalah contoh kongkrit politik identitas yang bad, dan karenanya perlu menjadi bahan refleksi bagi publik tanah air. Ringkasnya, agar politik identitas menjadi basis untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan di seluruh wilayah Indonesia (untuk menyebut politik identitas yang good), ia mesti melampaui politik identitas yang sekadar bertujuan dan berhenti sebagai paham sekaligus tindakan rasis dan diskriminatif.

Setakat hal itu, agar tidak terbawa arus air bah informasi di jagad maya, publik perlu diperisai dengan kesadaran kritis, bukan kesadaran magis, apalagi naif. Dengan begitu, suhu panas politik bisa dilalui secara wajar. Begitu juga publik dapat mengarungi tahun politik 2024 di tengah sampah-sampah politik yang berserakan. Sampah politik berbeda dari sampah lainnya, kalau digolongkan dalam bentuk kimia maka sampah politik itu tergolong sampah non organik, sampah yang sulit didaur ulang. 

Dengan demikian, guna mencegah politik identitas yang bad, apalagi ugly, serta mengurai sampah politik 2024 di tengah prahara revolusi digital, maka pikiran kritis dan terbuka serta hati yang lapang adalah mutlak. Apa sebab? Jangan sampai anggaran sebesar 100 triliun rupiah untuk Pemilu 2024 habis percuma dan fatalnya bila berujung pada keterbelahan sosial yang merusak sendi-sendi persatuan dan kebhinekaan Indonesia.  

* Tulisan ini pertama kali terbit di portal jamberita.com dan portal kajanglako.com.

0 Komentar