Dari Kuburan ke Kuburan: Usaha Ngangsu Kawruh

 

Penulis ziarah ke makam penyair Chairil Anwar

Oleh: Jumardi Putra*

“Sowan kepada orang mati lebih baik, karena tak mungkin bohong. Beda dengan yang masih hidup, banyak kepentingan, banyak gak jujurnya,” begitu humor Gus Dur yang amat terkenal.

Meski kerap disampaikan dengan guyonan-memang Gus Dur sendiri adalah sosok yang humoris-sejatinya yang dikatakan ketua umum PBNU periode 1984-1999 itu mengandung pesan reflektif, bahkan otokritik, terutama bagi calon pejabat dan politisi yang kerap mengunjungi makam-makam ulama, pahlawan, dan makam yang dianggap keramat demi meraih simpati publik, galibnya pada momen-momen periodik seperti pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif.

Dengan demikian, ziarah kubur adalah juga arena sosial politik, tempat beranak-pinak pelbagai kepentingan, di luar pemahaman yang secara turun temurun kita dapatkan dari tetua kampung selama ini yakni sebagai tradisi berdimensi spiritual (mengingat akan kematian).

Hasil penelitian dan sekaligus memuat perdebatan yang tajam tentang kenapa dan bagaimana keberadaan tempat-tempat suci atau makam keramat menjadi jamak diziarahi, bisa dibaca lebih lanjut melalui karya Syaifudin Zuhri berjudul Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia: Inventing a Sacred Tradition (2022), Mircea Eliade dalam The Sacred and The Profane: The Nature of Religion (1987), karya Jonathan Z. Smith berjudul To Take Place: Toward Theory in Ritual (Chicago: University of Chicago, 1987), dan artikel Joel P Brereton di The Encyclopedia of Religion yang berjudul ”Sacred Space” (1987, Vol 12:526).

Begitu juga buku terjemahan berjudul Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam, yang dieditori Henri Chambert-Loir & Claude Guillot dan diterbitkan oleh Serambi Ilmu Semesta, bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris tahun 2007, sebuah buku dengan pendekatan antropologi yang mengkaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern dan sekaligus memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia.

Semula karena memang Tuhan telah menjadikannya suci melalui kalamnya atau berkat jasad mulia yang dimakamkan di sebuah tempat dan keistimewaan yang berbeda dari tanah lainnya terutama dari sisi sejarah, dalam perkembangannya makam keramat atau tempat suci itu bergerak dan berkembang menjadi wisata religi (bertemunya kegiatan ekonomi dan keagamaan dalam waktu bersamaan) maupun bentuk turutan kekinian lainnya, meminjam analisa Syaifudin Zuhri, telah terjadi 3 tahapan berikut ini yaitu memory-making, canonization, dan branding. Bagaimana 3 tahapan itu bekerja dan saling berkelindan sehingga berhasil membentuk pandangan sekaligus sikap masyarakat yang menjadikannya sebagai tempat suci atau makam keramat yang harus dikunjungi? Saya menyarankan lebih lanjut membaca buku tersebut.

Catatan saya dalam kesempatan ini tidak hendak mengupas yang dikatakan Gus Dur, apalagi membentangkan pokok-pokok pikiran buku-buku yang saya sebut itu tadi, melainkan hanya ingin berbagi pengalaman saya menziarahi makam-makam para ulama, ilmuwan, pahlawan dan individu-individu yang semasa hidup telah berkontribusi bagi masyarakat luas, dimana mereka bertumbuh dan menjadi teladan sekaligus menginspirasi, sebut saja seperti seniman, sastrawan dan jurnalis. Dengan kata lain, ziarah ini melampaui sekat-sekat formal keyakinan agama tertentu, jabatan atau profesi, dan bahkan paham tokoh-tokoh itu sendiri.    

Penulis ziarah ke makam Pramoedya Ananta Toer

Sebelum pagebluk Corona menyerang, ziarah kubur itu kerap saya lakukan di sela-sela menjalani tugas di beberapa daerah di tanah air, selain juga mengunjungi akademisi/peneliti, perpustakaan, pesantren, pusat studi, bangunan bersejarah, toko-toko buku, museum dan galeri seni. Saya berpandangan, selain dimensi spiritual, ziarah ke makam-makam sebenarnya adalah juga cara belajar, usaha ngangsu kawruh (menimba ilmu). Itu kenapa, selain membaca buah pemikiran mereka semasa hidup melalui buku-buku maupun dari pelbagai bentuk dokumentasi pengetahuan lainnya, saya juga mengunjungi makamnya sebagai ruang belajar dalam bentuk yang lain. Dengan cara itu, yang mati itu sebenarnya hidup.

Saya mulai berpikir, meski sebenarnya terlambat, ke depan saya mencoba menulis catatan perjalanan dari kuburan ke kuburan yang pernah saya lakukan di pelbagai daerah di tanah air, tidak terkecuali makam-makam Wali Songo di Pulau Jawa, makam orangtua dan sanak saudara serta tokoh-tokoh, ulama dan keluarga Kesultanan Melayu Jambi. Mungkin saja kelak catatan tersebut berguna, setidaknya pengingat bagi saya sendiri.

Di Jakarta, saya menziarahi makam Fatmawati, penjahit bendera pusaka Merah Putih yang sekaligus istri dari presiden Soekarno, penyair Chairil Anwar, budayawan Betawi Benjamin Sueb, dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Mereka semua dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, di Jl. Karet Pasar Baru Barat, Karet Tengsin, Tanahabang, Kota Jakarta Pusat. Sedangkan di TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, saya menziarahi makam Jang Aisjah Muttalib, penulis disertasi “Jambi 1900-1916: From War to Rebellion (Columbia University, 1977) dan sekaligius menziarahi peristirahatan terakhir ratusan korban tak bernama dalam tragedi Mei 1998.

Begitu juga di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, saya menziarahi makam Wakil Presiden pertama republik Indonesia yaitu Bung Hatta dan istri, Prof. Hamka (H. Abdul Malik Karim Abdullah) atau familiar dikenal sebagai Buya Hamka, serta tokoh nasional lainnya seperti juru runding handal Mr. Mohammad Roem (perundingan yang dikenal Roem-Royen pada 14 April 1949), jurnalis sekaligus pejuang kemerdekaan A.R. Baswedan, dan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977.

Penulis ziarah ke makam Habib Luar Batang

Selanjutnya, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, saya menziarahi makam Sutan Sjahrir, Adam Malik, Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, Djoeanda Kartawidjaja, Hasri Ainun Habibie, BJ Habibie, dan Ali Alatas. Di TMP Kalibata itu saya juga menziarahi makam cendekiawan muslim Nurcholis Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur. Di lain kesempatan, saya berkesempatan menziarahi makam Habib Husein Bin Abu Bakar Al-Aydrus atau lebih di kenal Habib Luar Batang (Jakarta Utara) dan makam Sayyid Abu Bakar bin Sayyid Aluwi Bahsan Jamalulail (Keramat Mangga Dua, Jakarta Pusat).

Masih di Jakarta, saya menziarahi prasasti nisan aktivis pergerakan cum intelektual Soe Hok Gie di Taman Prasasti di Jl. Tanah Abang I, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat. Selain Gie, terdapat nama-nama tokoh penting yang dulunya dimakamkan di sini, sebut saja seperti A.V. Michiels (tokoh militer Belanda pada perang Buleleng), Dr. H.F. Roll (Pendiri STOVIA atau Sekolah Kedokteran pada zaman pendudukan Belanda), J.H.R. Kohler (tokoh militer Belanda pada perang Aceh), Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles, mantan Gubernur Hindia Belanda dan Singapura), dan Kapitan Jas, dan Miss Riboet, tokoh opera pada tahun 1930-an.

Sedangkan di Yogyakarta, saya menziarahi makam Jenderal Raden Soedirman selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia pertama, pendiri organisasi keagamaan Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, dan makam Raja-Raja Mataram di Imogiri. Berlanjut ke Jawa Tengah, saya menziarahi makam Sunan Kudus, Sunas Muria, Sunan Kalijaga, dan beberapa ulama lainnya di komplek pemakaman keluarga besar KH. Kholil Bisri serta makam Raden Ajeng Kartini dan keluarganya di Rembang.

Penulis mengunjungi prasasti nisan Soe Hok Gie

Di provinsi Jawa Timur, saya menziarahi 5 dari 9 makam Wali Songo yaitu Sunan Ampel Surabaya, Sunan Giri, Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Drajat Lamongan dan Sunan Bonang Tuban. Di Kabupaten Jombang, khususnya di Pesantren Tebuireng, tempat saya pernah nyantri terdapat makam Khadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdatul Ulama (NU) beserta keluarganya, tidak terkecuali makam cucunya yakni Presiden Republik Indonesia periode 1999-2021 yaitu KH. Abdurrahman Wahid (lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil; 7 September 1940 – 30 Desember 2009), atau yang akrab disapa Gus Dur. Selanjutnya, saya menziarahi makam K.H. Raden Syamsul Arifin dan K.H. Raden As'ad Syamsul Arifin di Pesantren Salafiyah Syafi'iah, di Dusun Sumberrejo, Kec. Banyuputih, Kabupaten Situbondo, ujung timur pulau Jawa.

Di pulau Kalimantan, tepatnya di Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjar Kota, Kota Madya Banjarmasin, saya mengunjungi makam Sultan Suriansyah, Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam. Sedangkan Kepulauan Riau, saya menziarahi makam pahlawan nasional Raja Ali Haji (1808-1873), seorang pujangga yang juga dikenal sebagai pengarang gurindam 12, tepatnya berlokasi di jalan Pendidikan, pulau Penyengat, Kec. Tj. Pinang Kota, Kota Tanjung Pinang.

Selanjutnya, saya pernah menziarahi makam pahlawan nasional Sultan Syarif Kasim II yang terletak di sisi barat dari komplek masjid Syahbuddin, di kota Siak Sri Indrapura, provinsi Riau. Di komplek pemakaman itu terdapat makam Sultan Syarif Kasim beserta permaisuri Tengku Agung Sultanah Latifah dan Tengku Maharatu beserta panglima Sultan. Berlanjut ke kota Palembang, saya menziarahi makam-makam raja di Bukit Siguntang, tepatnya berlokasi di kelurahan Bukit Lama, kecamatan Ilir Barat (IB) I Palembang, provinsi Sumatera Selatan.

Penulis ziarah ke makam Sultan Syarif Kasim II

Rekam jejak perjalanan saya dari kuburan ke kuburan tersebut di atas, menyusul kemudian secara lengkap dalam rentang waktu tahun 2001-2020. Sekali lagi, ziarah kubur bagi saya adalah tergolong usaha menimba ilmu (ngangsu kawruh) di luar bangku sekolah atau medium belajar lainnya yang umum kita kenal sampai saat ini. Dengan kata lain, ziarah kubur tidak hanya sebagai asupan nutrisi bagi batin, tapi juga penuh gizi pengetahuan dan sekaligus bentuk penghormatan atas dedikasi dan kontribusi mereka semasa hidup.

Jawaban saya demikian itu belum tentu bisa diterima oleh orang lain. Bila masih muncul pertanyaan, nyatanya kerap muncul pertanyaan bernada gugatan sampai sekarang yakni kenapa saya gemar ziarah kubur, biasanya saya menjawab memakai jurus guyonan ala Gus Dur, seperti yang saya kemukakan di awal tulisan. 

*Kota Jambi, 6 Mei 2023.

0 Komentar